Diangkatnya Nabi Isa dan akan turunnya beliau di akhir zaman merupakan aqidah para shahabat, para tabi’in, para ulama serta para imam Ahlus Sunnah sepanjang zaman.
Ibnu Katsir berkata: “Telah mutawatir
hadits-hadits dari Rasulullah bahwa Nabi Isa akan turun sebelum hari
kiamat sebagai imam yang adil dan hakim yang bijaksana (Tafsir Ibnu
Katsier, juz 7 hal. 223)
Berkata Shiddiq Hasan Khan:
“Hadits-hadits tentang turunnya Isa sangat banyak. Telah disebutkan oleh
Imam Asy-Syaukani, di antaranya ada 29 hadits antara shahih, hasan dan
hadits lemah yang terdukung. Di antaranya ada yang disebut bersama kisah
Dajjal, ada pula yang disebut bersama hadits-hadits tentang Imam Mahdi,
ditambah lagi atsar-atsar yang diriwayatkan oleh para shahabat yang
tentunya memiliki hukum marfu’ sampai kepada Rasulullah, karena perkara
Dajjal bukanlah masalah ijtihad”. Kemudian beliau menyebutkan semua
hadits tentang Dajjal. Setelah itu beliau berkata: “Seluruh apa yang
kami nukilkan ini telah mencapai derajat mutawatir sebagaimana dipahami
oleh orang-orang yang memiliki ilmu” (Al-Idza’ah, hal. 160, melalui
nukilan Yusuf al-Waabil dalam Asyratu as-Sa’ah)
Telah ditulis oleh para ulama hadits
tentang Isa, ternyata didapati dari 25 para shahabat dinukil dari mereka
oleh 30 tabiin dan dinukil dari tabi’in oleh atba’ut tabi’in lebih
banyak lagi.
Berkata Abu Thayyib Muhammad Syamsul Haq
al‘Adhim Abadiy: “Telah mutawatir berita-berita dari Nabi tentang
turunnya Isa dari langit dengan jasadnya ke bumi ketika telah dekat hari
kiamat. Ini merupakan madzhab ahlus sunnah. (Aunul Ma’bud, 11/457)
Berkata Syaikh Ahmad Syakir: “Turunnya
Isa di akhir zaman adalah perkara yang tidak diperselisihkan sedikit pun
oleh kaum muslimin, karena tersebutnya berita-berita yang shahih dari
Nabi tentangnya. Ini perkara yang sudah dimaklumi dalam agama secara
aksiomatis, dan tidak beriman orang yang mengingkarinya. (Footnote
Tafsir ath-Thabari dengan tahqiq Mahmud Syakir, cet. Daarul Ma’arif,
Mesir, juz 6 hal. 460).
Berkata Syaikh Muhammad Nashiruddin
al-Albani: “Ketahuilah bahwa hadits-hadits tentang Dajjal, dan turunnya
Isa adalah berita-berita yang mutawatir, waka kita wajib beriman
dengannya. Jangan tertipu dengan orang-orang yang menyatakan
hadits-hadits tersebut adalah hadits ahad, karena mereka adalah
orang-orang yang bodoh tentang ilmu ini. Tidak ada di antara mereka yang
menelusuri dan meneliti hadits-hadits tersebut dengan jalan-jalannya.
Kalau saja ada yang mau menelitinya, niscaya dia akan mendapati
hadits-hadits tentang ini mutawatir, sebagaimana telah dipersaksikan
oleh para ulama seperti Ibnu Hajar dan lain-lainnya.
Sungguh sangat disayangkan munculnya
orang-orang yang lancang, terlalu berani berbicara pada perkara-perkara
yang bukan pada bidangnya. Apalagi urusannya adalah urusan aqidah dan
agama. (Takhrij Syaikh al-Albani terhadap Syarh Aqidah ath-Thahawiyah
oleh Ibnu Abil Izzi al-Hanafi, hal. 501)
Para ulama memasukkan masalah turunnya
Isa dalam kitab-kitab aqidah dan prinsip-prinsip sunnah yang mereka
susun seperti Abu Ja’far ath-Thahawi dalam Aqidah ath-Thahawiyah, Abu
Bakar Muhammad bin Husein al-Aajurri dalam asy-Syari’ah dan Imam Ahmad
dalam ushuulus Sunnahnya.
Berkata Qadli ‘Iyad: “Turunnya Isa dan
dibunuhnya Dajjal olehnya adalah haq dan shahih menurut para ulama ahlus
sunnah, karena hadits-hadits yang shahih dalam masalah ini. Dan tidak
ada sesuatu pun yang bisa diingkari dalam syari’at maupun dalam akal
yang sehat. Maka Wajib menetapkannya. (Lihat Syarh Shahih Muslim oleh
Imam Nawawi, jilid 18, hal. 75)
Bantahan terhadap para pengingkar dengan alasan bahwa Rasulullah adalah penutup para nabi.
Berkata Imam Nawawi: “Perkara ini telah
diingkari oleh sebagian mu’tazilah, aliran Jahmiyah dan orang-orang yang
mencocoki mereka dengan menganggap bahwa hadits-hadits ini tertolak
dengan ayat Allah:
Dan dia adalah penutup para nabi. (al-Ahzaab: 40)
Dan dia adalah penutup para nabi. (al-Ahzaab: 40)
Dan dengan ucapan Nabi:
Tidak ada nabi setelahku. (HR. Muslim)
Dan dengan ijma’ kaum muslimin bahwa
tidak ada nabi setelah nabi kita Muhammad. Dan bahwasanya syariat Islam
ini kekal sampai hari kiamat dan tidak dimansuhkan (tidak dibatalkan).
Ini adalah pendalilan yang rusak, karena
tidaklah yang dimaksud dengan turunnya Isa adalah turun sebagai Rasul
yang membawa syariat yang baru, yang membatalkan syariat kita. Tidak ada
dalam hadits-hadits ini maupun yang lainnya dalil yang menunjukkan hal
tersebut. Bahkan telah shahih hadits-hadits tersebut dan dalam Kitabul
Iman dan lain-lainnya bahwa Nabi Isa turun sebagai hakim yang adil
dengan hukum syariat kita. Dan menghidupkan perkara-perkara
syariat-syariat kita yang sudah mulai ditinggalkan oleh manusia. (Syarh
Shahih Muslim, Imam Nawawi, juz 18, hal. 278)
Imam adz-Dzahabi memasukkan Isa dalam
kitabnya Tajridu As-mai ash-Shahabah (tentang nama-nama shahabat Nabi),
kemudian beliau berkata: “Isa adalah seorang shahabat dan sekaligus
seorang nabi. Karena ia sempat bertemu dan melihat Nabi pada malam Isra’
dan Mi’raj. Maka beliau adalah shahabat Rasulullah yang paling terakhir
wafatnya. (Tajridu Asmai ash-Shahabah Hal. 432; melalui nukilan Yusuf
al-Waabil dalam Asyrathu as-Sa’ah, hal. 356)
Berkata Imam al-Qurthubi: “Suatu kaum
berpendapat bahwa dengan turunnya Isa berarti akan terangkat beban
syariat (nabi Muhammad–pen.), karena Isa turun sebagai Rasul yang
terakhir di zaman tersebut, memerintahkan mereka dengan wahyu dari
Allah. maka tentunya yang ini adalah batil dan tertolak karena Allah
menyatakan bahwa Rasulullah adalah penutup para nabi (dalam Q.S.
al-Ahzaab ayat 40). Dan juga terbantah dengan hadits: “Tidak ada nabi
setelahku” (Shahih Muslim) dan hadits: “Saya adalah penutup” (Shahih
Bukhari). Yang dimaksud adalah beliau adalah nabi terakhir dan
penutupnya".
Oleh karena itu jangan dianggap bahwa
Isa turun sebagai rasul dengan syariat yang baru selain syariat
Rasulullah. Bahkan beliau turun sebagai pengikut Nabi Muhammad
sebagaimana dikabarkan dalam hadits, ketika Rasulullah bersabda kepada
Umar:
“Jika saja Musa masih hidup, niscaya tidak ada pilihan lain baginya kecuali mengikutiku”.
Maka turunnya Isa dalam keadaan telah
mengetahui perintah Allah sejak di langit sebelum turunnya. Yaitu
mengetahui ilmu syariat ini untuk menghukumi di antara manusia dan
beramal bagi dirinya. Maka berkumpullah orang-orang beriman mengikutinya
dan dia menghukumi mereka dengan syariat Islam. (at-Tadzkirah, hal.
67-68, melalui nukilan Yusuf al-Waabil dalam Asyrathu as-Sa’ah, hal.
360-361).
Bantahan bagi para pengingkar dengan alasan ayat Allah dalam surat Ali Imran ayat 55: Inni Mutawaffiika
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah: “Adapun ucapan Allah yang menyatakan:
Ketika Allah berfirman kepada Isa: “Aku me”wafat”kanmu dan mengangkatmu kepada-Ku serta mensucikanmu dari orang-orang kafir…(Ali Imran: 55)
bukanlah berarti mematikan Isa, karena kalau yang dimaksudkan adalah kematian, maka berarti Isa sama dengan orang-orang mukmin lainnya, yakni dicabutnya ruh mereka dan dibawanya ke langit. Hal ini berarti Nabi Isa tidak memiliki keistimewaan apapun. Demikian pula ucapan Allah “wa muthahiruka minaladziina kafaru”, kalau ruhnya terpisah dari jasadnya berarti jasadnya tetap di bumi seperti badannya para nabi yang lain…. (Majmu’ Fatawa, juz IV hal. 322-323)
Ketika Allah berfirman kepada Isa: “Aku me”wafat”kanmu dan mengangkatmu kepada-Ku serta mensucikanmu dari orang-orang kafir…(Ali Imran: 55)
bukanlah berarti mematikan Isa, karena kalau yang dimaksudkan adalah kematian, maka berarti Isa sama dengan orang-orang mukmin lainnya, yakni dicabutnya ruh mereka dan dibawanya ke langit. Hal ini berarti Nabi Isa tidak memiliki keistimewaan apapun. Demikian pula ucapan Allah “wa muthahiruka minaladziina kafaru”, kalau ruhnya terpisah dari jasadnya berarti jasadnya tetap di bumi seperti badannya para nabi yang lain…. (Majmu’ Fatawa, juz IV hal. 322-323)
Berarti jasadnya tetap disalib dan
dihinakan oleh orang-orang kafir, yang tentunya berarti tidak disucikan
dari orang-orang kafir dan ini adalah mustahil. Karena Allah dalam ayat
di atas menyatakan “Dan Aku mensucikanmu dari orang-orang kafir”.
Bahkan kalimat wafat dalam bahasa Arab
memiliki beberapa makna, karena diambil dari kata-kata qaabiduka yang
bermakna menggenggam atau mengambil. Maka bisa bermakna mengambil ruh
dan jasadnya (seperti Isa), atau mengambil ruh tanpa jasadnya (yaitu
kematian) atau mengambil kesadarannya dalam keadaan ruh dan jasadnya
masih di tempatnya (yakni ketika tidur) sebagaimana Allah pergunakan
kalimat wafat dalam ayat-ayat berikut:
Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang) jiwa (orang) yang belum mati di waktu tidurnya …(az-Zu-mar: 42)
Dan Dialah yang “menidurkan”mu di malam hari dan Dia mengetahui apa yang kamu kerjakan pada siang hari… (al-An’aam: 60)
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
selanjutnya: “…Oleh karena itu berkata para ulama bahwa makna
mutawaffiika adalah qaabidluka (mengambil kamu), yakni mengambil ruh dan
jasadmu. Tidak mesti lafadz tuwaffa bermakna mengambil ruh saja tanpa
jasad. Tidak mesti pula jasad dengan ruh bersama-sama. Keduanya harus
dipahami sesuai dengan konteks kalimatnya. (Majmu’ Fatawa, juz IV hal.
323)
Kita katakan: bahwa konteks kalimat
dalam ayat tentang Isa di atas sangat jelas. Karena Allah menyebut
seiring dengan kalimat wafat kalimat raafi’uka yang bermakna
mengangkatmu.
Ibnu Jarir ath-Thabari menafsirkan makna
wafat dalam ayat di atas sebagai berikut: “Yang lebih utama dari
pendapat-pendapat ini untuk dikatakan shahih menurut kami adalah ucapan
yang berkata bahwa makna mutawaffiika adalah “Aku memegangmu dan
mengangkatmu (ruh dan jasadnya) kepada-Ku”, karena mutawatirnya
hadits-hadits dari Rasulullah yang memberitakan bahwa Isa akan turun dan
membunuh Dajjal. (Tafsir ath-Thabari, juz 3, hal. 291)
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:
“Tidak akan terjadi hari kiamat hingga
Nabi Isa ‘alaihissalam turun (ke bumi) menjadi seorang hakim yang
bijaksana dan pemimpin yang adil, menghancurkan salib, membunuh
babi-babi, meletakkan upeti, harta melimpah-ruah hingga tidak ada
seorangpun yang menerimanya.”
Hadits di atas diriwayatkan oleh Al-Imam
Ahmad rahimahullahu dalam Musnad-nya no. 10001 dan 10522; Al-Imam
Al-Bukhari rahimahullahu dalam Kitabul Buyu’ bab Qatlil Khinziri no.
2222, Kitabul Mazhalim bab Kasri Ash-Shalib wa Qatlil Khinziri no. 2476,
Kitab Ahaditsil Anbiya` bab Nuzuli ‘Isa bin Maryam no. 3448, 3449;
Al-Imam Muslim rahimahullahu dalam Kitabul Iman bab Nuzuli Isa bin
Maryam Hakiman Bisyariati Nabiyyina Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa
sallam no. 242; Al-Imam At-Tirmidzi rahimahullahu dalam Kitabul Fitan
‘an Rasulillah, no. 2233; Al-Imam Abu Dawud rahimahullahu dalam Kitabul
Malahim no. 3766; Ibnu Majah rahimahullahu dalam Kitabul Fitan no. 6048.
(CD Program Mausu’atul Hadits Asy-Syarif Al-Kutubut Tis’ah, Fathul
Bari, Syarh An-Nawawi cet. Darul Hadits)
Hikmah turunnya Nabi Isa ‘alaihissalam pada waktu yang dekat dengan hari kiamat dan bukan waktu yang lainnya.
Hikmah turunnya Nabi Isa ‘alaihissalam pada waktu yang dekat dengan hari kiamat dan bukan waktu yang lainnya.
Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullahu dalam kitabnya At-Tadzkirah (hal. 562-563) menyebutkan beberapa kemungkinan:
Pertama: Keinginan orang-orang Yahudi
untuk membunuh dan menyalibnya. Dan perkara ini berjalan sebagaimana
yang Allah Subhanahu wa Ta’ala beritakan dalam Al-Qur`an, mereka mengaku
telah membunuh Nabi Isa ‘alaihissalam, menisbahkan sihir dan perkara
yang Allah Subhanahu wa Ta’ala tiadakan (dan Allah Subhanahu wa Ta’ala
sucikan beliau dari semua itu), kepada beliau ‘alaihissalam. Kemudian
Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan kepada mereka kehinaan sejak mulia
dan nampaknya Islam. Hal ini berlanjut hingga saat dekatnya hari kiamat.
Kemudian muncullah Dajjal sebagai tukang sihir yang paling utama.
Orang-orang Yahudi kemudian membaiatnya hingga pada akhirnya kaum
muslimin memerangi mereka dan tidak mereka dapati tempat persembunyian
hingga pohon, batu, maupun dinding pun menyerukan tempat di mana mereka
bersembunyi. Hingga mereka dihadapkan kepada dua perkara: masuk Islam
atau dibunuh. Dan begitulah yang berlaku atas setiap orang kafir dari
semua golongan, hingga tidak tertinggal di muka bumi ini seorang kafir
pun.
Kedua: turunnya Nabi Isa ‘alaihissalam
menunjukkan pada dekatnya ajal beliau, bukan dalam rangka membunuh
Dajjal. Karena tidak sepantasnya bagi makhluk yang diciptakan dari tanah
untuk meninggal di langit. Akan tetapi perkaranya berjalan sebagaimana
yang Allah Subhanahu wa Ta’ala firmankan:
“Dari bumi (tanah) itulah Kami
menjadikan kamu dan kepadanya Kami akan mengembalikan kamu dan
daripadanya Kami akan mengeluarkan kamu pada kali yang lain.” (Thaha:
55)
Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala turunkan
Nabi Isa ‘alaihissalam untuk dikuburkan di bumi sebagaimana para nabi
yang lain. Itulah sebab diturunkannya Nabi Isa ‘alaihissalam, meskipun
bersamaan di waktu itu muncul Dajjal.
Ketiga: didapatkan dalam Injil tentang
keutamaan umat Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana yang
tersebut dalam ayat:
“Demikianlah sifat-sifat mereka (umat Muhammad) dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil.” (Al-Fath: 29)
Kemudian Nabi Isa ‘alaihissalam berdoa
agar Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan dirinya termasuk dari umat
Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala
pun mengabulkan doanya, kemudian mengangkatnya ke langit sampai
diturunkannya kembali pada akhir zaman sebagai seorang mujaddid
(pembaharu) agama Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bersamaan
itu pula muncullah Dajjal dan beliau pun membunuhnya.
Para ulama berselisih pendapat dalam menanggapi lafadz Al-Masih hingga mencapai 23 pendapat. Di antaranya:
1. Ibnu ‘Abbas radhiallahu 'anhuma menyatakan:
“Tidaklah beliau mengusap seseorang yang berpenyakit kecuali sembuh. Tidak pula mayat kecuali hidup kembali.”
“Tidaklah beliau mengusap seseorang yang berpenyakit kecuali sembuh. Tidak pula mayat kecuali hidup kembali.”
2. Dinamai Al-Masih karena bagusnya wajah beliau (tampan) karena kata Al-Masih secara bahasa bermakna wajah yang tampan.
3. Ada yang berpendapat dinamai Al-Masih
karena beliau mengembara. Kadang berada di Syam, di Mesir, menyusuri
pantai dan lain-lain.
4. Al-Hafizh Abu Nu’aim rahimahullahu dalam kitabnya Dala`ilun Nubuwwah menjelaskan:
“Ibnu Maryam dinamai Al-Masih, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala menghapuskan dosa-dosa darinya.”
“Ibnu Maryam dinamai Al-Masih, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala menghapuskan dosa-dosa darinya.”
Pada tempat lain beliau berkata:
“Dinamai demikian karena Jibril ‘alaihissalam mengusap beliau dengan
barakah. Hal ini sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
“Dan Dia menjadikan aku sebagai seorang yang diberkati di mana saja aku berada.” (Maryam: 31)
Wallahu a’lam bish-shawab
2 komentar:
I know this if off topic but I'm looking into starting my own weblog and was curious what all is needed to get setup? I'm assuming having a blog like yours would cost a pretty penny?
I'm not very web savvy so I'm not 100% sure. Any
recommendations or advice would be greatly appreciated.
Cheers
Feel free to visit my website - ab glider
I think your website is good, try adding a few widgets that support the content of your website. With the widget, visitors can linger in your web it. With the widget can also facilitate visitors to locate and read your article on the web. That's all I can suggest to you.
Posting Komentar