--------------------------------------------------------
Ini adalah Argumentasi Saya untuk menanggapi pertanyaan salah seorang pembaca blog ini
Sdr. Mascara De Muhammz (Facebooker)
--------------------------------------------------------
Ini adalah Argumentasi Saya untuk menanggapi pertanyaan salah seorang pembaca blog ini
Sdr. Mascara De Muhammz (Facebooker)
--------------------------------------------------------
RADIKALISME.
Menurut pendapat saya, “radikalisme” mempunyai konotasi khusus yang mengarah pada suatu pemahaman atas tindakan yang dilakukan secara “Berani”, “Sepihak”, dan “Spontan” dengan mengesampingkan maksud dan tujuannya.
Radikal, sebuah kata yang memiliki makna negatif yang mengarah pada 'pengrusakan' atau 'penghancuran' suatu sistem sosial & politik. Radikalisme umumnya muncul karena dipicu dari 'ketidak puasan' dan 'ketidak adilan' oleh suatu kelompok kepada kelompok lain.
Tindakan ini (Radikal) umumnya dipahami oleh masyarakat sebagai tindakan yang tidak bernuansa moralitas yang baik. Ada benarnya juga; bila rasa ketidakpuasan dan ketidakadilan sudah menumpuk dirasakan oleh manusia, bukan tidak mungkin mereka akan menyalurkan perasaannya tersebut dalam bentuk-bentuk aksi dan proaksi yang anarkis.
Sebagai contoh kasus; Kaum buruh yang merasa di zalimi oleh perusahaan tempatnya bekerja, lambat laun menimbulkan gelombang protes yang lebih besar lagi bila mereka membentuk suatu kelompok yang didalamnya memiliki rasa & nasib yang sama sebagai bentuk solidaritas sesama buruh. Tindakan yang mereka ambil bisa saja mengarah pada radikalisme, entah itu terencana atau spontanitas, mereka bisa saja melakukan tindakan kekerasan terhadap buruh lainnya, bahkan mungkin saja mengarah pada pengrusakan fasilitas perusahaan tempat mereka bekerja. Kesimpulannya mereka melakukan tindakan melawan hukum atau melakukan tindakan anarkis, karena memang yang terlihat hanya dapat dinilai dengan sebutan “keras”, “berani”, atau “brutal”.
Radikalisme dapat saja terjadi pada siapapun dan oleh siapapun, karena memang semua tindakan radikal mengesampingkan norma-norma hukum, sekalipun tindakan itu dilakukan oleh aparat penegak hukum maupun militer. Pemicunya adalah seperti yang sudah saya katakan diatas tadi.
Faktor penyebab munculnya radikalisme dalam aksi buruh umumnya karena masalah seputar Upah dan PHK. Begitu juga yang terjadi pada kelompok petani yang melakukan tindakan radikal dalam aksinya, seringkali karena masalah irigasi dan sengketa tanah garapan. Dan banyak kasus lainnya yang bisa kita jadikan rujukan radikalisme. Inilah contoh radikalisme dalam bentuk 'Aksi'.
Radikalisme dapat pula terjadi dalam bentok 'pro-aksi', yang saya maksud disini adalah radikalisme dalam kelompok penguasa terhadap kelompok yang dikuasainya. Sebagai contoh; apa yang terjadi dalam lingkungan geng jalanan/sekolah/kampus pun bisa kita kategorikan radikalisme telah terjadi, pada saat kelompok senior melakukan perploncoan (ospek) kepada kelompok juniornya yang masih baru, seringkali menghalalkan penganiayaan dan intimidasi. Bukankah mengabaikan hak-hak manusia dan norma-norma yang ada itu masuk kategori radikalisme?. Demikian juga apa yang dilakukan kelompok Densus 88 bisa masuk dalam kategori radikalisme dalam tubuh aparat, karena tindakannya yang tidak memiliki norma hukum dalam hal terorisme. Penangkapan orang/kelompok tanpa dilandasi dasar hukum, maka masuk dalam kategori 'radikal', karena mereka cenderung membuang HAM & Kesucian, Vonis “Tembak-Mati” diterapkan bagi siapapun, entah itu belum teridentifikasi, belum masuk DPO atau belum jadi tersangka sekalipun, bahkan baru katanya dan belum kenal orangnya-pun tetap mereka 'ciduk' tanpa proses hukum, yang kadang berujung pada salah tangkap. Ironis. Inilah beberapa contoh radikalisme yang dilakukan secara tertutup dalam lingkungan 'penguasa'.
Adapula radikalisme dalam hal 'perencanaan', yang saya maksud disini adalah 'Agenda', 'Rencana-Kerja', 'Proyek-Rahasia' atau apapun namanya yang mengarah pada radikalisme tertentu yang 'tak kasat mata' untuk dilakukan kepada kelompok lainnya. Sekalipun hal ini belum dilakukan, namun rencana-rencana yang telah disusun bisa dikategorikan pula bersifat radikal. Sebagai contoh; rencana-rencana dan agenda Kristenisasi & Pemurtadan umat Islam oleh kelompok misionaris Kristen, rencana ini berisi hal-hal yang sama sekali tidak menggubris soal hak asasi manusia poin kebebasan beragama, juga melanggar norma agama dari agama Islam dan kelompok Kristen itu sendiri. Rencana-rencana yang besifat provokasi ini bisa dibilang sebagai bentuk radikalisme.
Jadi, itulah wajah radikalisme yang umumnya telah kita ketahui bersama. Lantas siapa yang salah dalam masalah tersebut? Kesalahan manusia dalam bertindak secara radikal adalah wajar, karena ketidakpuasan dan ketidakadilan itulah yang selalu ada dalam perasaan setiap orang. Dan memang tidak semua orang mengungkapkan perasaan kecewanya dalam bentuk 'action' atau tindakan nyata terhadap lingkungannya, sebagian orang hanya bisa memendamnya dalam lubuk hati, dan sebagian orang mencurahkannya dengan ungkapan kata-kata dan tulisan. Semua manusia memiliki pedoman yang diyakininya sendiri untuk mengontrol segala bentuk kekecewaan dalam perasaannya tersebut.
Hanya manusia yang mengamalkan pedoman syetan-lah yang berbuat semaunya sendiri tanpa mempedulikan lingkungan sekitarnya.
Dalam Islam pedoman untuk masalah radikalisme ini tidak ada. Karena radikalisme memang tidak berisi aturan dan norma-norma yang terkandung didalamnya. Sedangkan dalam Islam kondisi seperti ini masih berisi aturan dan norma yang diterapkan dalam segala tindakannya. Konsep jihad dalam Islam bukanlah dikatakan sebagai konsep radikalisme, karena sangat jauh menyamakan persepsi radikal dengan jihad Islam. Dalam jihad, aksi berani dan brutal tidak semena-mena seperti aksi radikalisme tanpa aturan/norma. Merusak dan menghancurkan segalanya bisa saja dilakukan dalam tindakan radikalisme, seperti merusak fasilitas-fasilitas umum, membunuh orang tanpa alasan, menganiaya kaum wanita dan anak-anak, dll. Sedangkan jihad Islam berisi norma yang harus ditaati, seperti; dilarang menghancurkan fasilitas publik, pasar, sekolah, rumah sakit dan tempat ibadah, dilarang membunuh orang tua renta, wanita, bayi dan anak-anak, dilarang membunuh orang tanpa alasan yang benar. Maka yang melanggar aturan ini bukanlah disebut jihad.
Sungguh sebuah penistaan terhadap Islam bila mengkaitkan penghancuran pasar dan rumah ibadah adalah bentuk radikal dari jihad Islam. Maaf, Allah telah melarang kita merusak tempat-tempat ibadah. Allah hanya menyuruh untuk melawan musuh-musuhNya saja. Dalam jihad; manusia disuruh melakukan tindakan pembelaan karena alasan agamanya yang dilecehkan, jadi bukan individunya. Sedangkan “Radikalisme” menyuruh melakukan tindakan pembelaan dengan alasan pelecehan terhadap kepentingan dirinya (individunya). Apabila individu manusianya benar-benar merasakan pelecehan tersebut, bukan tidak mungkin dia akan membunuh orang yang melecehkannya tersebut. Sedangkan dalam jihad, membunuh seseorang tanpa alasan agama, sangat dilarang keras, apalagi membunuh sesama saudaranya sendiri. Karena alasan “Agama” inilah yang kadang orang sulit untuk menafsirkan maknanya.
ISLAM-ISME.
Dalam Islam, Agama mencakup seluruh sendi-sendi kehidupan, termasuk kehidupan berbangsa dan bernegara juga ada aturannya. Sedangkan sebagian orang masih menganggap urusan agama berbeda dengan urusan berbangsa dan bernegara. Mereka menganggap urusan bernegara adalah urusan manusia; manusia-lah yang berhak memberi dan membuat aturannya, tidak seperti agama yang sudah ada aturannya dari Tuhan. Mereka merasa bahwa dalam agama tidak ada aturan dan hukum-hukum berbangsa dan bernegara, itu kata mereka ! Sayapun tidak tahu yang dimaksud oleh mereka agama yang mana? Agama yang mana yang tidak berisi aturan berbangsa dan bernegara? Itu perlu dipertanyakan pada mereka untuk dijawab.
Islam sendiri berisi aturan yang universal, yang mencakup seluruh aspek alam semesta dan humanisme, sebuah agama yang didalamnya juga berisi aturan dan norma-norma yang mampu mencegah tindakan radikalisme. Norma “Kesabaran” yang didengungkan agama ini, adalah tindakan pencegahan terhadap meluapnya amarah dan kekecewaan dalam dada manusia, Norma “Kasih-Sayang” adalah pencegahan terhadap meluapnya rasa kebencian dalam hati manusia, dan lain-lain. Semua aspek pencegahan terhadap tindakan keburukan ada dalam agama Islam. Karena Hati-lah yang menjadi motor penggerak dari segala tindakan manusia. Maka diperlukannya aturan-aturan yang dapat mencegah segala keburukan rasa yang dapat bersemayam dalam diri manusia. Hanya agama Islam-lah yang memiliki konsep aturan pencegahan tersebut, sehingga manusia memiliki benteng pertahanan hati dalam menghadapi perasaan-perasaan buruk yang muncul dalam dirinya. Bila semua manusia sudah menjadi seperti ini, bukan mustahil kedamaian lingkungan bakal tercipta, karena tidak akan muncul lagi sifat-sifat yang merusak dalam diri manusia.
Karena konsep Islam beserta syariat-syariatnya belum pernah diterapkan secara menyeluruh di negeri ini atau belum menjadi dasar pedoman bangsa di negeri ini, maka seluruh gambaran tentang kondisi kehidupan yang nyaman, aman, damai dan sejahtera; masih menjadi mimpi buat seluruh orang. Bukankah mereka telah mengakui, menghayati, bahkan mengamalkan dasar pedoman Pancasila sebagai idiologi bangsa ini? Lantas apa yang telah terjadi? Apakah telah ada hasil dari Pancasila menjadikan manusia Indonesia menjadi “Baik” dan selalu berbuat “Kebaikan”...???
Benarkah seluruh warga negara telah sanggup dan nyata-nyata mengamalkan Pancasila? Sekalipun dia seorang Muslim?
Kalau setiap manusia Indonesia lebih mengarah kepada keburukan dan kehancuran, lantas apa yang telah dipegang mereka selama ini menjadi pedoman hidup? Apakah benar mereka tidak berpedoman pada Pancasila? Benarkah Umat Islam tidak menerima Pancasila sebagai pedoman hidup?...sehingga disudutkan sebagai 'orang bandel' dalam NKRI???
Kalau mereka menilai umat Islam sebagai 'orang-orang bandel' karena tidak tunduk pada Pancasila, lantas siapa yang memaksakan Pancasila untuk dipakai umat Islam yang mayoritas ini? Bukankah seharusnya 'mereka' lebih menghormati golongan yang mayoritas?...yang seharusnya pegang kendali? Apakah tindakan 'mereka' ini bisa dikatakan 'radikal' terhadap mayoritas? ..karena memaksakan idiologi kepada mayoritas?...Karena 'mereka' ingin berkuasa atas mayoritas??
Ya, mayoritaslah yang harus 'mereka' ikuti. (Katanya “Demokrasi” lebih utama?????????)
Mengapa 'mereka' tidak memberikan kepada mayoritas ini yang 'Pegang Kendali' negara ini? Berikan saja kepada mayoritas ini untuk menerapkan konsepnya yang dianggap benar itu untuk menjadi sebuah dasar hukum & sistem dinegeri NKRI ini (jika 'mereka' pun mengakui kebaikan konsep Islam). Seharusnya 'mereka' tidak perlu takut dengan kondisi negeri ini bila konsep Islam diterapkan sebagai idiologi dan dasar berbangsa/bernegara. Tidak akan ada suatu kelompok penguasa yang membawa negerinya sendiri kedalam kehancuran, karena mereka berada didalamnya pula, tidak akan mungkin itu. Lantas ketakutan apalagi dari 'mereka' terhadap mayoritas negeri ini??? Kalau boleh saya ajukan pertanyaan, sesungguhnya “Apa yang Kalian Takutkan dengan Konsep Islam???”
Dalam berbangsa dan bernegara, Islam punya 'rule of law' dan 'nation concept'.
Dalam beragama, Islam juga punya konsep yang jelas untuk mengatur orang-orang non-muslim hidup dalam lingkungan negara yang sama, yakni konsep : “Lakum dinnukum Wa liiyadin” yang artinya “Untukmulah agamamu, dan untukkulah agamaku”. Ini adalah konsep toleransi beragama yang dipakai umat Islam hingga saat ini. Tidak ada penghasutan, pemaksaan dan intimidasi yang mengakibatkan orang non muslim memeluk agama Islam. Jadi rasanya terlalu berlebihan, jika mereka (non-muslim) menganggap bahwa bila Islam berkuasa, mereka akan dipaksa masuk Islam dan hidup mereka pasti terancam oleh Islam,....
(Inikah ketakutan mereka bila NKRI berubah menjadi negara Islam?)
Koreksi kembali ketakutan anda wahai non-muslim !
“Ini negara Pancasila bung, bukan negara Islam ! “ (begitulah dalih mereka)
Atau bagaimana dengan orang Islam sendiri? Ketakutan apa yang menyebabkan mereka enggan menerapkan konsep agamanya sendiri untuk bangsa dan negara?
Apakah mereka takut dengan konsep “Qishas”? Ataukah kaum Muslimah takut dengan konsep “Poligami”? Atau ada ketakutan lain, sehingga sebagian umat Islam masih keberatan untuk menerapkan syari'at Islam dinegeri ini?
Bagaimana dengan Pancasila? Ingin mengamalkannya sebagai falsafah negara?
Bagaimana dengan Al-Qur'an & Al-Hadist? Ingin mengamalkannya sebagai falsafah hidup?
Manakah yang lebih baik, mengamalkan konsep Pancasila, atau mengamalkan konsep Islam?
Ataukah Anda harus memilih kedua-duanya; Pancasila untuk negara...ku, Islam untuk agama...ku.
Jika ini yang anda amalkan, berarti anda telah memisahkan Agama dengan Negara, dan menyatakan diri bahwa Agama terpisah dari Negara, sehingga anda akan menganggap masalah Negara bukan domain Agama, dan Agama tidak diperlukan dalam sebuah Negara.
(Konsep seperti ini mirip faham Atheis !)
Menurut pendapat saya, “radikalisme” mempunyai konotasi khusus yang mengarah pada suatu pemahaman atas tindakan yang dilakukan secara “Berani”, “Sepihak”, dan “Spontan” dengan mengesampingkan maksud dan tujuannya.
Radikal, sebuah kata yang memiliki makna negatif yang mengarah pada 'pengrusakan' atau 'penghancuran' suatu sistem sosial & politik. Radikalisme umumnya muncul karena dipicu dari 'ketidak puasan' dan 'ketidak adilan' oleh suatu kelompok kepada kelompok lain.
Tindakan ini (Radikal) umumnya dipahami oleh masyarakat sebagai tindakan yang tidak bernuansa moralitas yang baik. Ada benarnya juga; bila rasa ketidakpuasan dan ketidakadilan sudah menumpuk dirasakan oleh manusia, bukan tidak mungkin mereka akan menyalurkan perasaannya tersebut dalam bentuk-bentuk aksi dan proaksi yang anarkis.
Sebagai contoh kasus; Kaum buruh yang merasa di zalimi oleh perusahaan tempatnya bekerja, lambat laun menimbulkan gelombang protes yang lebih besar lagi bila mereka membentuk suatu kelompok yang didalamnya memiliki rasa & nasib yang sama sebagai bentuk solidaritas sesama buruh. Tindakan yang mereka ambil bisa saja mengarah pada radikalisme, entah itu terencana atau spontanitas, mereka bisa saja melakukan tindakan kekerasan terhadap buruh lainnya, bahkan mungkin saja mengarah pada pengrusakan fasilitas perusahaan tempat mereka bekerja. Kesimpulannya mereka melakukan tindakan melawan hukum atau melakukan tindakan anarkis, karena memang yang terlihat hanya dapat dinilai dengan sebutan “keras”, “berani”, atau “brutal”.
Radikalisme dapat saja terjadi pada siapapun dan oleh siapapun, karena memang semua tindakan radikal mengesampingkan norma-norma hukum, sekalipun tindakan itu dilakukan oleh aparat penegak hukum maupun militer. Pemicunya adalah seperti yang sudah saya katakan diatas tadi.
Faktor penyebab munculnya radikalisme dalam aksi buruh umumnya karena masalah seputar Upah dan PHK. Begitu juga yang terjadi pada kelompok petani yang melakukan tindakan radikal dalam aksinya, seringkali karena masalah irigasi dan sengketa tanah garapan. Dan banyak kasus lainnya yang bisa kita jadikan rujukan radikalisme. Inilah contoh radikalisme dalam bentuk 'Aksi'.
Radikalisme dapat pula terjadi dalam bentok 'pro-aksi', yang saya maksud disini adalah radikalisme dalam kelompok penguasa terhadap kelompok yang dikuasainya. Sebagai contoh; apa yang terjadi dalam lingkungan geng jalanan/sekolah/kampus pun bisa kita kategorikan radikalisme telah terjadi, pada saat kelompok senior melakukan perploncoan (ospek) kepada kelompok juniornya yang masih baru, seringkali menghalalkan penganiayaan dan intimidasi. Bukankah mengabaikan hak-hak manusia dan norma-norma yang ada itu masuk kategori radikalisme?. Demikian juga apa yang dilakukan kelompok Densus 88 bisa masuk dalam kategori radikalisme dalam tubuh aparat, karena tindakannya yang tidak memiliki norma hukum dalam hal terorisme. Penangkapan orang/kelompok tanpa dilandasi dasar hukum, maka masuk dalam kategori 'radikal', karena mereka cenderung membuang HAM & Kesucian, Vonis “Tembak-Mati” diterapkan bagi siapapun, entah itu belum teridentifikasi, belum masuk DPO atau belum jadi tersangka sekalipun, bahkan baru katanya dan belum kenal orangnya-pun tetap mereka 'ciduk' tanpa proses hukum, yang kadang berujung pada salah tangkap. Ironis. Inilah beberapa contoh radikalisme yang dilakukan secara tertutup dalam lingkungan 'penguasa'.
Adapula radikalisme dalam hal 'perencanaan', yang saya maksud disini adalah 'Agenda', 'Rencana-Kerja', 'Proyek-Rahasia' atau apapun namanya yang mengarah pada radikalisme tertentu yang 'tak kasat mata' untuk dilakukan kepada kelompok lainnya. Sekalipun hal ini belum dilakukan, namun rencana-rencana yang telah disusun bisa dikategorikan pula bersifat radikal. Sebagai contoh; rencana-rencana dan agenda Kristenisasi & Pemurtadan umat Islam oleh kelompok misionaris Kristen, rencana ini berisi hal-hal yang sama sekali tidak menggubris soal hak asasi manusia poin kebebasan beragama, juga melanggar norma agama dari agama Islam dan kelompok Kristen itu sendiri. Rencana-rencana yang besifat provokasi ini bisa dibilang sebagai bentuk radikalisme.
Jadi, itulah wajah radikalisme yang umumnya telah kita ketahui bersama. Lantas siapa yang salah dalam masalah tersebut? Kesalahan manusia dalam bertindak secara radikal adalah wajar, karena ketidakpuasan dan ketidakadilan itulah yang selalu ada dalam perasaan setiap orang. Dan memang tidak semua orang mengungkapkan perasaan kecewanya dalam bentuk 'action' atau tindakan nyata terhadap lingkungannya, sebagian orang hanya bisa memendamnya dalam lubuk hati, dan sebagian orang mencurahkannya dengan ungkapan kata-kata dan tulisan. Semua manusia memiliki pedoman yang diyakininya sendiri untuk mengontrol segala bentuk kekecewaan dalam perasaannya tersebut.
Hanya manusia yang mengamalkan pedoman syetan-lah yang berbuat semaunya sendiri tanpa mempedulikan lingkungan sekitarnya.
Dalam Islam pedoman untuk masalah radikalisme ini tidak ada. Karena radikalisme memang tidak berisi aturan dan norma-norma yang terkandung didalamnya. Sedangkan dalam Islam kondisi seperti ini masih berisi aturan dan norma yang diterapkan dalam segala tindakannya. Konsep jihad dalam Islam bukanlah dikatakan sebagai konsep radikalisme, karena sangat jauh menyamakan persepsi radikal dengan jihad Islam. Dalam jihad, aksi berani dan brutal tidak semena-mena seperti aksi radikalisme tanpa aturan/norma. Merusak dan menghancurkan segalanya bisa saja dilakukan dalam tindakan radikalisme, seperti merusak fasilitas-fasilitas umum, membunuh orang tanpa alasan, menganiaya kaum wanita dan anak-anak, dll. Sedangkan jihad Islam berisi norma yang harus ditaati, seperti; dilarang menghancurkan fasilitas publik, pasar, sekolah, rumah sakit dan tempat ibadah, dilarang membunuh orang tua renta, wanita, bayi dan anak-anak, dilarang membunuh orang tanpa alasan yang benar. Maka yang melanggar aturan ini bukanlah disebut jihad.
Sungguh sebuah penistaan terhadap Islam bila mengkaitkan penghancuran pasar dan rumah ibadah adalah bentuk radikal dari jihad Islam. Maaf, Allah telah melarang kita merusak tempat-tempat ibadah. Allah hanya menyuruh untuk melawan musuh-musuhNya saja. Dalam jihad; manusia disuruh melakukan tindakan pembelaan karena alasan agamanya yang dilecehkan, jadi bukan individunya. Sedangkan “Radikalisme” menyuruh melakukan tindakan pembelaan dengan alasan pelecehan terhadap kepentingan dirinya (individunya). Apabila individu manusianya benar-benar merasakan pelecehan tersebut, bukan tidak mungkin dia akan membunuh orang yang melecehkannya tersebut. Sedangkan dalam jihad, membunuh seseorang tanpa alasan agama, sangat dilarang keras, apalagi membunuh sesama saudaranya sendiri. Karena alasan “Agama” inilah yang kadang orang sulit untuk menafsirkan maknanya.
ISLAM-ISME.
Dalam Islam, Agama mencakup seluruh sendi-sendi kehidupan, termasuk kehidupan berbangsa dan bernegara juga ada aturannya. Sedangkan sebagian orang masih menganggap urusan agama berbeda dengan urusan berbangsa dan bernegara. Mereka menganggap urusan bernegara adalah urusan manusia; manusia-lah yang berhak memberi dan membuat aturannya, tidak seperti agama yang sudah ada aturannya dari Tuhan. Mereka merasa bahwa dalam agama tidak ada aturan dan hukum-hukum berbangsa dan bernegara, itu kata mereka ! Sayapun tidak tahu yang dimaksud oleh mereka agama yang mana? Agama yang mana yang tidak berisi aturan berbangsa dan bernegara? Itu perlu dipertanyakan pada mereka untuk dijawab.
Islam sendiri berisi aturan yang universal, yang mencakup seluruh aspek alam semesta dan humanisme, sebuah agama yang didalamnya juga berisi aturan dan norma-norma yang mampu mencegah tindakan radikalisme. Norma “Kesabaran” yang didengungkan agama ini, adalah tindakan pencegahan terhadap meluapnya amarah dan kekecewaan dalam dada manusia, Norma “Kasih-Sayang” adalah pencegahan terhadap meluapnya rasa kebencian dalam hati manusia, dan lain-lain. Semua aspek pencegahan terhadap tindakan keburukan ada dalam agama Islam. Karena Hati-lah yang menjadi motor penggerak dari segala tindakan manusia. Maka diperlukannya aturan-aturan yang dapat mencegah segala keburukan rasa yang dapat bersemayam dalam diri manusia. Hanya agama Islam-lah yang memiliki konsep aturan pencegahan tersebut, sehingga manusia memiliki benteng pertahanan hati dalam menghadapi perasaan-perasaan buruk yang muncul dalam dirinya. Bila semua manusia sudah menjadi seperti ini, bukan mustahil kedamaian lingkungan bakal tercipta, karena tidak akan muncul lagi sifat-sifat yang merusak dalam diri manusia.
Karena konsep Islam beserta syariat-syariatnya belum pernah diterapkan secara menyeluruh di negeri ini atau belum menjadi dasar pedoman bangsa di negeri ini, maka seluruh gambaran tentang kondisi kehidupan yang nyaman, aman, damai dan sejahtera; masih menjadi mimpi buat seluruh orang. Bukankah mereka telah mengakui, menghayati, bahkan mengamalkan dasar pedoman Pancasila sebagai idiologi bangsa ini? Lantas apa yang telah terjadi? Apakah telah ada hasil dari Pancasila menjadikan manusia Indonesia menjadi “Baik” dan selalu berbuat “Kebaikan”...???
Benarkah seluruh warga negara telah sanggup dan nyata-nyata mengamalkan Pancasila? Sekalipun dia seorang Muslim?
Kalau setiap manusia Indonesia lebih mengarah kepada keburukan dan kehancuran, lantas apa yang telah dipegang mereka selama ini menjadi pedoman hidup? Apakah benar mereka tidak berpedoman pada Pancasila? Benarkah Umat Islam tidak menerima Pancasila sebagai pedoman hidup?...sehingga disudutkan sebagai 'orang bandel' dalam NKRI???
Kalau mereka menilai umat Islam sebagai 'orang-orang bandel' karena tidak tunduk pada Pancasila, lantas siapa yang memaksakan Pancasila untuk dipakai umat Islam yang mayoritas ini? Bukankah seharusnya 'mereka' lebih menghormati golongan yang mayoritas?...yang seharusnya pegang kendali? Apakah tindakan 'mereka' ini bisa dikatakan 'radikal' terhadap mayoritas? ..karena memaksakan idiologi kepada mayoritas?...Karena 'mereka' ingin berkuasa atas mayoritas??
Ya, mayoritaslah yang harus 'mereka' ikuti. (Katanya “Demokrasi” lebih utama?????????)
Mengapa 'mereka' tidak memberikan kepada mayoritas ini yang 'Pegang Kendali' negara ini? Berikan saja kepada mayoritas ini untuk menerapkan konsepnya yang dianggap benar itu untuk menjadi sebuah dasar hukum & sistem dinegeri NKRI ini (jika 'mereka' pun mengakui kebaikan konsep Islam). Seharusnya 'mereka' tidak perlu takut dengan kondisi negeri ini bila konsep Islam diterapkan sebagai idiologi dan dasar berbangsa/bernegara. Tidak akan ada suatu kelompok penguasa yang membawa negerinya sendiri kedalam kehancuran, karena mereka berada didalamnya pula, tidak akan mungkin itu. Lantas ketakutan apalagi dari 'mereka' terhadap mayoritas negeri ini??? Kalau boleh saya ajukan pertanyaan, sesungguhnya “Apa yang Kalian Takutkan dengan Konsep Islam???”
Dalam berbangsa dan bernegara, Islam punya 'rule of law' dan 'nation concept'.
Dalam beragama, Islam juga punya konsep yang jelas untuk mengatur orang-orang non-muslim hidup dalam lingkungan negara yang sama, yakni konsep : “Lakum dinnukum Wa liiyadin” yang artinya “Untukmulah agamamu, dan untukkulah agamaku”. Ini adalah konsep toleransi beragama yang dipakai umat Islam hingga saat ini. Tidak ada penghasutan, pemaksaan dan intimidasi yang mengakibatkan orang non muslim memeluk agama Islam. Jadi rasanya terlalu berlebihan, jika mereka (non-muslim) menganggap bahwa bila Islam berkuasa, mereka akan dipaksa masuk Islam dan hidup mereka pasti terancam oleh Islam,....
(Inikah ketakutan mereka bila NKRI berubah menjadi negara Islam?)
Koreksi kembali ketakutan anda wahai non-muslim !
“Ini negara Pancasila bung, bukan negara Islam ! “ (begitulah dalih mereka)
Atau bagaimana dengan orang Islam sendiri? Ketakutan apa yang menyebabkan mereka enggan menerapkan konsep agamanya sendiri untuk bangsa dan negara?
Apakah mereka takut dengan konsep “Qishas”? Ataukah kaum Muslimah takut dengan konsep “Poligami”? Atau ada ketakutan lain, sehingga sebagian umat Islam masih keberatan untuk menerapkan syari'at Islam dinegeri ini?
Bagaimana dengan Pancasila? Ingin mengamalkannya sebagai falsafah negara?
Bagaimana dengan Al-Qur'an & Al-Hadist? Ingin mengamalkannya sebagai falsafah hidup?
Manakah yang lebih baik, mengamalkan konsep Pancasila, atau mengamalkan konsep Islam?
Ataukah Anda harus memilih kedua-duanya; Pancasila untuk negara...ku, Islam untuk agama...ku.
Jika ini yang anda amalkan, berarti anda telah memisahkan Agama dengan Negara, dan menyatakan diri bahwa Agama terpisah dari Negara, sehingga anda akan menganggap masalah Negara bukan domain Agama, dan Agama tidak diperlukan dalam sebuah Negara.
(Konsep seperti ini mirip faham Atheis !)
-------------
Demikianlah argumentasi saya, semoga jawabannya bisa anda simpulkan sendiri.
Demikianlah argumentasi saya, semoga jawabannya bisa anda simpulkan sendiri.
Terimakasih.
-------------
-------------
Tidak ada komentar:
Posting Komentar