Berbicara
tentang fungsi hukum, maka yang menjadi pokok kajian adalah sejauhmana
hukum dapat memberikan peranan yang positif dalam masyarakat, baik
dalam arti terhadap setiap individu, maupun dalam arti masyarakat
secara keseluruhan. Hukum sebagai kaidah, atau hukum sebagai teori.
Dalam
hubungan ini, banyak ahli yang telah mengemukakan pendapatnya, seperti
Lawrence M. Friedman yang dikutip oleh Soleman B. Taneko (1992: 37) yang
menyatakan bahwa "Fungsi Hukum itu meliputi :
1. Pengawasan/Pengendalian Sosial (Social Control).
2. Penyelesaian Sengketa (Dispute Settlement).
3. Rekayasa Sosial (Social Engineering, Redistributive, atau Innovation)".
Disini
nampak bahwa menurut ahli tersebut di atas, pada dasarnya hukum
mempunyai tiga fungsi yang harus diperankan dalam suatu masyarakat.
Dalam hubungan ini, juga oleh Soerjono Soekanto (1992) mengemukakan
fungsi hukum yang terdiri dari :
- Untuk memberikan pedoman kepada warga masyarakat, bagaimana mereka harus bertingkah laku atau bersikap dalam menghadapi masalah-masalah dalam masyarakat yang terutama menyengkut kebutuhan-kebutuhan pokok.
- Untuk menjaga keutuhan masyarakat yang bersangkutan.
- Memberikan pegangan kepada masyarakat yang bersangkutan untuk mengadakan pengendalian sosial (Social Control)".
Jika
kita menelaah kedua pendapat yang dikemukakan di atas mengenai fungsi
hukum, maka pada dasarnya kedua pendapat tersebut adalah sama,
kendatipun dalam formulasi yang berbeda.
Secara kuantitatif fungsi hukum yang terdiri tiga seperti tersebut di atas, oleh Soleman B. Taneko (1992), justru mengemukakan bahwa fungsi hukum mencakup lebih dari tiga jenis seperti ungkapannya yang menyatakan bahwa "Adapun fungsi hukum yang dimaksudkan ialah antara lain meliputi:
- Memberikan pedoman/pengarahan pada warga masyarakat untuk berperilaku.
- Pengawasan/Pengendalian Sosial (Social Control).
- Penyelesaian sengketa (Dispute Settlement).
- Rekayasa Sosial (Social Engineering)".
Kendatipun
dalam pendapat yang terakhir menyebutkan empat fungsi hukum, namun
fungsi hukum yang disebutkan terakhir, yaitu sebagai rekayasa sosial,
pada dasarnya tercakup atau inklusif pada fungsi hukum lainnya.
Dikatakan demikian, karena fungsi hukum sebagai pedoman atau pengarahan
masyarakat, akan berdampak pula sebagai upaya untuk melakukan perubahan
dalam masyarakat, sebagaimana makna fungsi hukum sebagai alat rekayasa
sosial.
Dengan
demikian, kiranya dapat dimaklumi, bahwa hukum di tengah-tengah
masyarakat mempunyai peranan yang sangat penting, terutama dilihat dari
segi fungsi yang diembannya, dan diarahkan kepada terciptanya suatu
kondisi yang sangat diperlukan oleh masyarakat dalam pergaulan hidupnya.
Fungsi Hukum sebagai Alat Rekayasa Sosial
Dalam
uraian terdahulu, telah dikemukakan beberapa pendapat ahli yang
menjelaskan tentang jenis fungsi hukum di dalam masyarakat. Salah satu
fungsi hukum yang akan dibahas secara singkat disini adalah fungsi hukum
sebagai alat rekayasa sosial.
Walaupun
tidak semua ahli yang dikemukakan pendapatnya secara langsung menyebut
alat rekayasa sosial sebagai salah satu fungsi hukum, namun dapat
dimaklumi, jika fungsi ini juga tercakup dalam rumusan yang dikemukakan
para ahli dimaksud.
Untuk
lebih meyakinkan akan adanya fungsi hukum sebagai alat rekayasa sosial
ini, perlu diketengahkan pendapat Rusli Effendi (1991: 81), yang
menegaskan bahwa "Suatu masyarakat di manapun di dunia ini, tidak ada
yang statis. Masyarakat manapun senantiasa mengalami perubahan, hanya
saja ada masyarakat yang perubahannya pesat dan ada pula yang lamban. Di
dalam menyesuaikan diri dengan perubahan itulah, fungsi hukum sebagai a tool of engineering, sebagai perekayasa sosial, sebagai alat untuk merubah masyarakat ke suatu tujuan yang diinginkan bersama, sangat berarti".
Penegasan
Rusli Effendy tersebut di atas, menunjukkan bahwa hukum sebagai alat
rekayasa sosial sangat diperlukan dalam proses perubahan masyarakat yang
di manapun senantiasa terjadi, apalagi dalam kondisi kemajuan yang
menuntut perlunya perubahan-perubahan yang relatif cepat.
Fungsi Hukum sebagai alat rekayasa sosial ini, juga sering disebut sebagai a tool of engineering
yang pada prinsipnya merupakan fungsi hukum yang dapat diarahkan untuk
merubah pola-pola tertentu dalam suatu masyarakat, baik dalam arti
mengokohkan suatu kebiasaan menjadi sesuatu yang lebih diyakini dan
lebih ditaati, maupun dalam bentuk perubahan lainnya.
Perubahan
lainnya dimaksud, antara lain menghilangkan suatu kebiasaan yang memang
sudah dianggap tidak sesuai dengan kondisi masyarakat, maupun dalam
membentuk kebiasaan baru yang dianggap lebih sesuai, atau dapat
mengarahkan masyarakat ke arah tertentu yang dianggap lebih baik dari
sebelumnya.
Sejalan
dengan ini, Soleman B. Taneko mengutip pendapat Satjipto Rahardjo
(1993) menyatakan bahwa "Hukum sebagai sarana rekayasa sosial, innovasi,
sosial engineering, menurut Satjipto Rahardjo, tidak saja digunakan
untuk mengukuhkan pola-pola kebiasaan dan tingkah laku yang terdapat
dalam masyarakat, melainkan juga untuk mengarahkan pada tujuan-tujuan
yang dikehendaki, menghapuskan kebiasaan-kebiasaan yang dipandang tidak
perlu lagi, menciptakan pola-pola kelakuan baru dan sebagainya".
Dalam
kaitan ini, dapat dimaklumi bahwa ditinjau dari segi eksistensi
perubahan yang merupakan sesuatu yang harus terjadi, maka fungsi hukum
menjadi semakin penting dan menentukan, terutama lagi dalam era
reformasi yang digulirkan dewasa ini, atau era pembangunan yang
berkesinambungan.
Fungsi
hukum sebagai alat rekayasa sosial yang semakin penting dalam era
pembangunan tersebut, ditegaskan oleh Muchtar Kusumaatmadja seperti yang
dikutip oleh Soleman B. Taneko (1993: 36) mengemukakan bahwa "Di
Indonesia fungsi hukum di dalam pembangunan adalah sebagai sarana
pembangunan masyarakat. Hal ini didasarkan pada anggapan bahwa adanya
ketertiban dalam pembangunan merupakan suatu yang dianggap penting dan
sangat diperlukan. Di samping itu, hukum sebagai tata kaidah dapat
berfungsi untuk menyalurkan arah-arah kegiatan warga masyarakat ke
tujuan yang dikehendaki oleh perubahan tersebut. Sudah tentu bahwa
fungsi hukum di atas seyogianya dilakukan, di samping fungsi hukum
sebagai sistem pengendalian sosial".
Ini
berarti bahwa disamping fungsi hukum sebagai alat pengendalian sosial,
juga salah satu fungsi lainnya yang sangat penting dan bahkan justru
harus dilaksanakan dalam era pembangunan, adalah fungsinya sebagai alat
rekayasa sosial. Tentu saja sebagai alat rekayasa harus diarahkan kepada
hal-hal yang positif dan bukan sebaliknya.
Walaupun
sejumlah ahli memberikan pandangan positif terhadap fungsi hukum
sebagai sarana rekayasa sosial ini, namun fungsi tersebut tidak luput
dari kritikan atau kelemahannya. Terhadap tanggapan dimaksud, seperti
dikemukakan oleh Daniel S. Lev yang dikutip oleh Achmad Ali (1996: 104),
dengan menyatakan bahwa "membicarakan hukum sebagai rekayasa sosial itu
berarti memberikan kekuasaan yang amat penuh kepada pemerintah. Kita
selalu menggunakan istilah itu sebagai sesuatu yang netral, padahal
dipakainya istilah itu sebenarnya tidak netral. Istilah itu dapat
dipakai untuk tujuan yang baik dan dapat juga dipakai untuk tujuan
yang buruk. Istilah itu sendiri mempunyai dua arti, pertama sebagai
suatu prosedur, suatu cara untuk mengubah masyarakat, dan yang kedua
yang teramat penting adalah secara materiil, yaitu masyarakat apa yang
dikehendaki. Itu tidak mudah, kita harus bertanya macam masyarakat apa
yang dikehendaki oleh pemerintah dan oleh warga masyarakat".
Pandangan
yang dikemukakan terakhir di atas, menunjukkan bahwa fungsi hukum
sebagai alat rekayasa sosial mempunyai arti yang tidak selalu positif,
dan bahkan dapat diartikan negatif, terutama karena ketidakjelasan arah
yang akan dituju oleh hukum dalam merekayasa masyarakat yang
bersangkutan.
Dengan
mengemukakan sejumlah contoh, Achmad Ali (1996) menyatakan adanya
kerugian dan keuntungan fungsi hukum sebagai alat rekayasa sosial,
seperti yang diungkapkannya bahwa "Contoh dampak positif penggunaan
hukum sebagai rekayasa sosial antara lain :
- Putusan Mahkamah Agung Amerika Serikat pada tahun 1954 yang menetapkan bahwa orang kulit hitam harus dipersamakan dengan orang kulit putih.
- Undang-Undang dan Peraturan-Peraturan lain mengenai lingkungan hidup.
- dan sebagainya.
Dampak
negatif dari penggunaan hukum sebagai rekayasa sosial adalah yang hanya
membawa keuntungan bagi sebagian kecil warga masyarakat dunia, justru
merugikan sebagian besar warga masyarakat lainnya".
Dengan
pandangan tersebut, maka dapat dikatakan, bahwa fungsi hukum sebagai
sarana atau alat rekayasa sosial dalam aplikasinya perlu dilakukan
secara ektra hati-hati, sehingga sejauh mungkin tidak membawa dampak
negatif sebagaimana yang dikhawatirkan, dan bahkan jika perlu dalam
pelaksanaannya benar-benar tidak akan melahirkan dampak seperti
tersebut.
Belajar
pada pengalaman dan dari sejumlah contoh yang dianggap negatif
kaitannya dengan fungsi hukum sebagai alat rekayasa sosial ini, maka
memang masih ada upaya yang dilakukan agar implikasi fungsi hukum
tersebut tidak terarah kepada hal-hal yang negatif.
Dalam
bukunya, Achmad Ali mengemukakan pandangan Daniel S. Lev yang pada
dasarnya memberikan sejumlah pertimbangan, jika akan melaksanakan fungsi
hukum sebagai alat rekayasa sosial. Dengan kata lain, agar rekayasa
sosial tidak mengarah kepada sesuatu yang dinilai negatif, perlu
dilakukan langkah-langkah tertentu seperti yang dikemukakan dalam
tulisan dimaksud.
Namun
yang paling penting dalam kaitan ini adalah perlunya semua pihak yang
terkait dengan aplikasi hukum di tengah masyarakat, benar-benar
konsisten, baik dalam arti kejujuran, kesamaan pandangan, kerjasama, dan
berbagai prinsip efektivitas lainnya.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar