C. BEBERAPA AJARAN POKOK SYI'AH YANG BERKAITAN DENGAN PAHAM MAHDI ATAU MAHDIISME
Bahasan ini penulis membatasi pada ajaran
pokok Syi'ah yang berkaitan erat dengan doktrin Mahdiisme, yaitu pada
masalah Imamah, al-Gaibah, dan 'Aqidah ar-Raj'ah.
1. MASALAH KEIMAMAN
Masalah keimaman bagi kaum Syi'ah adalah
sangat fundamental, terutama bagi Syi'ah Isna 'Asyariyyah atau Syi'ah
Dua belas. Masalah keimaman, mereka jadikan sebagai rukun atau saka guru
agama, dan nas-nas keimaman, mereka pandang sebagai mutawatir. Oleh
karena ia merupakan anugerah Tuhan yang harus diberikan kepada
hamba-Nya, maka yang demikian itu merupakan kewajiban Tuhan baik secara
rasional maupun tekstual.
Secara rasional, seorang Imam harus
mengayomi ummat atau memelihara kemaslahatannya serta melindunginya dari
berbagai kezaliman dan kemaksiatan. Selain itu seorang imam juga harus
menjaga kelestarian Syari'at Islam dari usaha-usaha pemalsuan, dan oleh
sebab itu, perlu adanya seorang Mufassir (Imam) dari sisi Tuhan guna
menafsirkan dan mengambil hukum dari ayat-ayat al-Quran. Alasan kedua
ini senada dengan argumen tentang kehadiran al-Mahdi al-Ma'hud dalam
Ahmadiyah, yang dipandang sebagai Mujaddid atau penafsir al-Quran sesuai
dengan tuntutan dan perkembangan zaman.
Secara tekstual, keimaman Syi'ah adalah
didasarkan pada hadis Gadir Khum, yang diyakini sebagai mutawatir. Di
Gadir Khum inilah menurut aliran ini, Nabi bersama-sama sahabatnya
beristirahat sepulang mereka dari menunaikan ibadah haji dana di tempat
ini, Nabi di depan mereka, menunjuk 'Ali ibn Abi Talib sebagai
penggantinya. Salah satu di antara riwayatnya ialah apa yang
diriwayatkan oleh at-Tabrani dalam al-Kabir:
" ... Ya Allah! Barangsiapa yang beriman
padaku dan membenarkan aku hendaknya ia menjadikan 'Ali ibn Abi Talib
sebagai pemimpinnya, maka sesungguhnya kepemimpinannya adalah
kepemimpinanku, dan kepemimpinanku adalah kepemimpinan Allah."
Dengan nas semacam ini, keimaman itu
diberikan secara berkesinambungan dari imam yang satu kepada imam yang
lain, dan oleh karenanya keimaman itu tidak akan keluar dari keturunan
Ahlul-Bait.
Tradisi keimaman Syi'ah Isna
'Asyariyyah, tampaknya masih berjalan terus sampai sekarang, terutama
dalam melaksanakan tugas-tugas keimaman yaitu perlu diangkatnya seorang
Mandataris Imam, selama Imam Mahdi itu belum muncul kembali. Jabatan ini
dalam dekade terakhir dipegang oleh Ayatullah Ruhullah Khumaini.
Menurut pendapatnya, ajaran para imam adalah sejajar dengan al-Quran
yang wajib ditaati dan dilaksanakan. Selama Imam Mahdi belum muncul, ia
diwakili oleh seorang mandataris yang berhak. Kedudukan al-Mahdi dalam
pandangan Syi'ah disejajarkan dengan Rasulullah, sebagaimana dinyatakan
dalam riwayat Jafar: "Barangsiapa mengakui semua imam dan mengingkari
Imam Mahdi, dia seperti mengakui semua nabi tetapi ia mengingkari Nabi
Muhammad.
2. MASALAH KEGAIBAN IMAM
Masalah kegaiban imam dalam kepercayaan
Syi'ah berkaitan erat dengan kepercayaan tentang akan kembalinya
imam-imam Syi'ah yang telah wafat kedunia, yang diistilahkan dengan
[]. Kepercayaan ini bermula dari suatu anggapan bahwa imam
yang mereka cintai itu tidak mati, tetapi hanya menghilang untuk
sementara waktu. Hal ini mengingatkan kita pada pernyataan Ibn Saba'
sewaktu 'Ali ibn Abi Talib wafat, ia menyatakan:
"Seandainya kalian membawa otak 'Ali kepadaku seribu kali, aku tidak akan membenarkan kematiannya"
Imam itu mempunyai masa kegaiban.
"Apabila telah sampai kepadamu," demikian kata Abu Ja'far, "berita
tentang kegaiban imam dari seorang yang (mempercayai) hal itu, maka
janganlah kalian mengingkarinya." Demikianlah kepercayaan kaum Syi'ah
terhadap imam mereka.
Teori tentang kegaiban imam, tampaknya
dicipta untuk mempertahunkan eksistensi suatu aliran tertentu yang
terancam kehancuran, akibat persaingan ketat diantara sekte-sekte yang
ada saat itu. Dengan demikian teori tersebut lebih bersifat politis
daripada bersifat keagamaan, karena aliran ini menghadapi masa kevakuman
imam yang cukup serius. Semula kaum Syi'ah hanya bersikap menunggu,
akan tetapi kemudian muncul ide baru bagaimana cara berkomunikasi dengan
seorang imam yang sedang gaib. Ide tersebut muncul bersamaan dengan
timbulnya ambisi tokoh-tokoh non-Ahlul Bait yang ingin memainkan peranan
imam sesudah Imam Muhammad ibn Hasan al-'Askari. Kemudian muncullah dua
macam teori tentang al-Bab dan teori mengenai Mandataris Imam.
Teori tentang al-Bab, bermula dari
aliran Syaikhiyyah yang mengajarkan bahwa Imam Mahdi itu selalu
mengejawantah dan muncul di setiap tempat dalam wujud seorang laki-laki
yang disebut sebagai al-Mu'minul-Kamil atau al-Bab atau al-Wali. Teori
ini kemudian dikembangkan oleh 'Ali Muhammad asy-Syirazi bekas murid
al-Kazim ar-Rasti penganut aliran tersebut. Muhammad Abu Zahrah
menjelaskan, bahwa asy-Syirazi mengaku dirinya adalah al-Bab (pintu
perantara) antara [] (Imam Mahdi yang sedang gaib) dengan
kaum Syi'ah yang ingin mendapat ilmu atau petunjuk darinya. Akhimya
lahirlah aliran baru yang dikenal sebagai aliran al-Babiyyah.
Teori kedua adalah tentang Mandataris
Imam, tampaknya teori ini adalah pengembangan dari teori yang pertama
diatas. Hanya saja teori kedua ini berasal dari 'Ali ibn Muhammad
as-Samin, ia mengaku telah menyodorkan secarik kertas yang telah
ditandatangani oleh al-Mahdi, kepada Muhammad al-Hasan sewaktu as-Samiri
akan meninggal, ia memberitahukan kepada Muhammad al-Hasan, bahwa
al-Mahdi tidak akan muncul kembali sampai datang saat yang telah
ditentukan oleh Tuhan, yaitu sesudah hati manusia menjadi beku dan
kecurangan telah merajalela di atas bumi. Sehingga dalam kepercayaan
tersebut terdapat istilah al-Gaibah as-Sugra atau gaib sementara, dimana
al Mahdi mempunyai empat orang duta, dan duta yang terakhir adalah
as-Samiri. Kedua, al-Gaibah al-Kubra yaitu gaib untuk waktu yang lama.
Selama al-Mahdi absen, ia diwakili oleh seorang yang dikenal sebagai
Mandataris Imam, dan jabatan ini merupakan peringkat pertama dalam
hirarki Syi'ah Dua belas.
3. MASALAH 'AQIDAH AR-RAJ'AH
Masalah 'Aqidah ar-Raj'ah yaitu
kepercayaan Syi'ah, tentang akan kembalinya seorang imam yang telah
wafat, adalah bermula dari kepercayaan orang-orang Yahudi terhadap kisah
'Uzair dan kisah Nabi Harun. Mereka berkeyakinan, bahwa Nabi Harun
dibunuh oleh Nabi Musa di padang Tih, karena kedengkiannya kepada Nabi
Harun. Sementara kaum Yahudi mengatakan bahwa Harun akan kembali lagi ke
dunia, sedangkan yang lain berkeyakinan bahwa ia tidak wafat, dia hanya
gaib dan akan kembali lagi. Adanya kesamaan antara kepercayaan kaum
Yahudi dengan kepercayaan Syi'ah, sangat dimungkinkan sesudah kedua
belah pihak terjadi kontak langsung secara akrab. Diantara penulis
Muslim seperti: Muhammad Abu Zahrah, Ahmad Amin, Ihsan Ilahi Zahir,
berpendapat bahwa 'Aqidah Raj'ah tersebut diterima kaum Syi'ah lewat Ibn
Saba' dan ajaran golongan Saba'iyyah.
Akan tetapi, Muhammad al-Bahi mengajukan
argumen psikologis tentang terbentuknya 'Aqidah Raj'ah di kalangan kaum
Syi'ah. Menurut pendapatnya, kepercayaan tersebut bermula dari
keyakinan yang didasarkan pada kecintaan kaum Syi'ah terhadap imam-imam
mereka yang telah wafat. Akibat kesedihan yang memuncak, kecintaan
mereka semakin mendalam, dan mereka amat mendambakan kehadiran imam-imam
yang mereka cintai itu. Akhimya mereka ragu-ragu akan kematiannya, dia
hanya absen dan mereka tetap ingin menunggunya. Karena kecintaan yang
kuat, lahirlah perenungan yang kuat pula, sekalipun kadang-kadang apa
yang diyakininya itu bertolak belakang dengan kenyataan yang sebenarnya.
Selanjutnya dijelaskan bahwa perenungan yang mengasyikkan jiwa disertai
dengan keinginan kuat untuk menjumpai seorang (imam) yang dicintai itu,
kemudian beralihlah dari kegaiban kepada harapan akan kehadirannya
kembali, dan akhirnya terbentuklah 'Aqidah Raj'ah di kalangan kaum
Syi'ah.
Ketegangan jiwa akibat wafatnya seorang
pemimpin yang dicintai, sering menimbulkan perubahan sikap atau tingkah
laku seseorang, apabila ketegangan tersebut sulit diatasi. Keadaan
semacam ini rupanya pernah dialami oleh 'Umar ibn Khattab sewaktu
mendengar berita Rasulullah wafat. Ia tidak mengakui Nabi telah wafat,
dengan pedang terhunus ia mengancam siapa saja yang berani mengatakan
bahwa Nabi telah tiada. Akan tetapi, perubahan sikap demikian itu,
tampaknya hanya bersifat sementara. Kasus seperti apa yang dialami 'Umar
tersebut, rupanya banyak pula dialami oleh manusia lainnya. Dan bahkan
jauh sebelum agama Yahudi lahir, bangsa Chaldea sudah pernah mengalami
kasus seperti itu, yaitu tidak mau mengakui kematian Qabil sewaktu
dibunuh oleh saudaranya, Habil. Malahan diyakini, ia akan kembali lagi
ke dunia. Demikian pula halnya dengan kaum Nasrani, mereka meyakini
bahwa Yesus yang mati di tiang salib, bangkit kembali dan terus naik ke
langit dan duduk di sisi Tuhan, dia akan datang kembali ke dunia untuk
memenuhi bumi dengan kedamaian dan kesucian.
Dari keterangan diatas, dapatlah
disimpulkan bahwa pendapat al-Bahi tersebut memandang berpengaruhnya
ajaran Yahudi di kalangan Syi'ah hanyalah sebagai faktor yang
mempercepat proses lahirnya 'aqidah Raj'ah saja, sedangkan kepercayaan
seperti itu merupakan gejala umum jiwa manusia dan tidak terbatas pada
sekelompok manusia tertentu. Adapun munculnya 'Aqidah Raj'ah dalam suatu
kelompok, terbatas pada para pencinta pimpinan atau imam, mereka
menderita kesedihan yang hebat sebagai akibat wafatnya pimpinan yang
dicintai tersebut.
Masalah al-Gaibah yang berkaitan erat
dengan 'Aqidah ar-Raj'ah tidak bisa dipisahkan dari kepercayaan Syi'ah
terhadap al-Mahdi. Tokoh ini merupakan idola pemimpin Syi'ah yang
ditunggu-tunggu kehadirannya oleh penganut Syi'ah Duabelas. Rupanya
sekte ini saja yang masih gigih mempertahankan paham Mahdi, sedangkan
sekte-sekte lainnya yang semula memiliki kepercayaan yang serupa semakin
lama semakin memudar bersama dengan memudarnya pengaruh sekte-sekte
tersebut. Tetapi tidak demikian halnya dengan sekte Syi'ah Zaidiyyah.
Sekte ini secara tegas menolak paham Mahdi, kecuali golongan
al-Jarudiyyah yang merupakan subsekte Syi'ah Zaidiyyah yang telah
menyimpang jauh dari doktrin kezaidiyyahannya.
Dengan demikian, aliran Syi'ah dalam
perjalanan sejarahnya, banyak dipengaruhi oleh ajaran-ajaran non-Islam
dan hanya Syi'ah Zaidiyyah yang masih menunjukkan keortodokannya, bila
dibandingkan dengan sekte Syi'ah lainnya. Keterbukaan sikap kaum Syi'ah
dalam menghadapi penetrasi budaya dan kepercayaan non-Islam yang pernah
berakar dalam suatu masyarakat sebelum Islam datang, agaknya merupakan
salah satu faktor penyebab tergesemya ajaran Islam ortodoks dalam
kehidupan beragama di satu pihak, dan di pihak lain faktor terbentuknya
paham Mahdi dengan berbagai macam versinya.
Kemahdian Syi'ah Tujuh tampak lebih
nyata daripada kemahdian Syi'ah Dua belas, sehingga sekte yang disebut
belakangan ini mencipta teori tentang al-Bab dan teori tentang
Mandataris Imam, dengan demikian ide kemahdiannya lebih lama bertahan
daripada yang lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar