Pemakaian istilah al-Mahdi yang dimaksud
dalam kajian ini, bermula dari sekte Syi'ah Kaisaniyyah yang banyak
terpengaruh dan menyerap pikiran Ibn Saba'. Kata al-Mahdi adalah ism
maf'ul dari [] seperti: [].
Kata ini bisa berarti, Allah telah
memberitahukan, menunjukkan atau menjelaskan jalan kepadanya. Dengan
demikian, orang yang telah mendapat petunjuk itu disebut al-Mahdi. Dalam
hubungan ini ada pula yang berpendapat bahwa sigat kata al-Mahdi itu
adalah maf'ul (dalam bentuk mabni lil-majhul dari [] dan
kata al-Mahdi berarti orang yang diberi petunjuk Allah. Hanya saja kata
tersebut, dalam bentuknya seperti itu, bermakna fa'il, yakni orang yang
terpilih untuk memberi petunjuk kepada manusia. Memang sigat [] tidak terdapat dalam al-Quran, yang ada adalah sigat al-fa'il,
sebagaimana dalam firman Allah:
Dan sesungguhnya Allah adalah Pemberi petunjuk bagi orang-orang beriman ke jalan yang lurus. (Q.S. al-Hajj: 54)
Juga dalam firman-Nya:
... Dan cukuplah Tuhanmu menjadi Pemberi petunjuk dan Penolong. (Q.S. al-Furqan: 31).
Ayat-ayat tersebut tidak ada hubungannya
sama sekali dengan masalah al-Mahdi al-Muntazar. Akan tetapi, sementara
ummat Islam, ayat-ayat di atas dijadikan sebagai dasar tema pembahasan
tentang al-Mahdi yang mereka tunggu-tunggu serta menghubungkannya dengan
hadis-hadis Mahdiyyah.
Dalam hubungan ini, Ahmad Amin
menjelaskan, bahwa dalam al-Quran hanya ada kata [] dan
kata [] sedangkan kata yang terdapat dalam sebagian
kitab-kitab hadis adalah untuk menyipati pribadi 'Ali ibn Abi Talib.
Seperti sabda Nabi yang dikutip dari kitab Usdul-Gabah:
" ... Dan jika kalian mengangkat 'Ali
sebagai pemimpin, namun aku melihat kalian tidak melakukan itu, kalian
akan mendapatinya sebagai seorang pemberi petunjuk yang membawa kalian
ke jalan yang lurus."
Kemudian pengertian bahasa agama ini
berubah menjadi pengertian baru yaitu akan munculnya seorang imam yang
ditunggu-tunggu, yang akan memenuhi bumi ini penuh dengan keadilan
sebagaimana bumi telah dipenuhi oleh kecurangan. Selanjutnya ia
berpendapat bahwa kelompok yang pertama-tama menggunakan pengertian yang
terakhir ini adalah Syi'ah Kaisaniyyah. Selanjutnya perlu
ditambahkan disini bahwa kata al-Mahdi secara harfiah berarti orang yang
telah diberi petunjuk atau the guided one. Karena semua petunjuk itu
berasal dari Tuhan, maka arti kata tersebut menjadi "seorang yang telah
diberi petunjuk Tuhan" atau the divinely-guided one, dengan cara yang
menakjubkan dan sangat pribadi. Dengan demikian, orang yang disebut
Mahdi atau al-Mahdi, benar-benar telah mendapat bimbingan Allah. Di masa
lalu, nama ini pun dipakai oleh pribadi-pribadi tertentu, dan
dimasa-masa selanjutnya nama Mahdi dipakai orang secara eskatologis.
Adapun menurut istilah, al-Mahdi adalah tokoh laki-laki dari keturunan
Ahlul-Bait yang akan muncul di akhir zaman. Dia akan menegakkan agama
dan keadilan dan diikuti oleh ummat Muslim, akan membantu 'Isa al-Masih
yang turun ke dunia untuk membunuh dajjal, dan akan menjadi imam sewaktu
salat bersama-sama Nabi Isa a.s. Demikianlah pengertian al-Mahdi yang
dikenal secara umum di kalangan ummat Islam.
Akan tetapi pengertian al-Mahdi menurut
paham Syi'ah ialah seorang imam (Syi'ah) yang ditunggu-tunggu. Ia akan
datang memenuhi bumi dengan keadilan karena bumi ini telah dipenuhi oleh
kecurangan. Ini berbeda dengan paham Ahmadiyah. Menurut aliran ini
al-Mahdi ialah seorang (Mirza Ghulam Ahmad) yang merupakan penjelmaan
atau pengejawantahan dari al-Mahdi dan al-Masih a.s., dan diangkat oleh
Tuhan sebagai mujaddid atau pembaharu di abad XIV H. Ini menurut paham
Ahmadiyah Lahore. Sedangkan menurut paham Ahmadiyah Qadian, Mirza Ghulam
Ahmad disamping sebagai al-Mahdi juga adalah nabi.
Uraian diatas menunjukkan bahwa
kepercayaan kaum Ahmadiyah terhadap al-Mahdi ini bermula dari pengakuan
Mirza Ghulam Ahmad itu sendiri, sesudah ia menyelidiki sebuah makam yang
ditemukannya di Srinagar, Punjab, India. Menurut penyelidikan mereka,
makam tersebut adalah makam Yus Asaf yang diyakini sebagai Isa al-Masih,
sesudah pengembaraannya yang panjang dari Palestina ke Kashmir, India.
Dan sesudah penemuan makam tersebut, barulah dicari hadis-hadis
Mahdiyyah yang relevan sebagai dasar keyakinan aliran ini. Paham
kemahdian Ahmadiyah diatas, berbeda dengan paham kemahdian Syi'ah yang
timbul dari 'Aqidah ar-Raj'ah dan masalah al-Gaibah. Oleh karena kaum
Syi'ah tidak mau mengakui kematian imam-imam mereka, dan karena pengaruh
ajaran ibn Saba', maka berkembanglah pemikiran di kalangan mereka
tentang imam yang bersembunyi (gaib). Dalam kaitan ini, Ahmad Amin
menjelaskan bahwasanya masalah ar-Raj'ah itu bermula dari ucapan Ibn
Saba', yang menyatakan bahwa Muhammad SAW akan kembali lagi ke dunia,
adalah mengherankan, orang yang percaya akan kembalinya Isa a.s., tetapi
ia mendustakan kembalinya Muhammad.
Dalam salah satu pernyataannya yang
lain, ia tidak mengakui kematian 'Ali, bahwa yang terbunuh itu bukan
'Ali tetapi, setan yang menjelma sebagai 'Ali, dia naik ke langit
sebagaimana Isa ibn Maryam. Imam yang bersembunyi tersebut akan muncul
lagi ke dunia untuk menegakkan keadilan. Dengan demikian, akhirnya,
muncul pula pemikiran tentang al-Mahdi, dan kemudian dibuatlah
hadis-hadis Mahdiyyah.
Adapun arti kata Syi'ah, ialah sahabat, penolong, pengikut, atau berarti golongan. Seperti firman Allah:
... Dan benar-benar Ibrahim adalah termasuk golongannya... (Q.S. as-Saffat: 83).
Secara istilahi, al-Mahdi Lidinillah Ahmad menjelaskan:
Syi'ah adalah golongan yang membantu
'Ali dalam menumpas pemberontakan yang dimotori oleh Talhah, Zubair,
bersama-sama A'isyah, serta pemberontakan Mu'awiyah dan kaum Khawarij.
Para pendukung 'Ali tersebut, sebagian besar mengakui kekhilafahan Abu
Bakr, 'Umar, dan 'Usman sampai terjadinya penyimpangan yang menimbulkan
huru-hara. Sebagian lagi, mereka yang mengakui 'Usman sebagai pemimpin
mereka. Dan golongan yang paling sedikit jumlahnya ialah mereka yang
mengunggulkan 'Ali sebagai khalifah sesudah Rasul wafat, daripada tokoh
sahabat lainnya.
Istilah Syi'ah sebagai yang dikembangkan
oleh al-Mahdi Lidinillah di atas, mencakup seluruh corak ke-Syi'ah-an
pada umumnya, dan tampaknya istilah tersebut lebih cocok untuk golongan
Syi'ah Zaidiyyah saja. Dalam hubungan ini, istilah Syi 'ah sebagai yang
dikemukakan oleh Dr. Ahmad Amin dalam Duhal-Islam III, tampak lebih
luas. Syi'ah menurut pendapatnya adalah golongan yang berkeyakinan bahwa
'Ali dan keturunannya adalah orang yang paling berhak menjabat khalifah
daripada Abu Bakr, 'Umar, dan 'Usman. Dan bahwasanya Nabi telah
menjanjikan kekhilafahan sesudahnya kepada 'Ali, dan setiap imam
menjanjikan kekhilafahan tersebut kepada penerusnya.
Selanjutnya tentang arti kata
'Ahmadiyah' berasal dari kata 'Ahmad.' Kata ini berbentuk ism'alam yang
searti dengan kata 'mahmud,' artinya orang yang terpuji. Namun menurut
Mirza Ghulam Ahmad, bahwa kata 'Muhammad' artinya, berkaitan dengan
sifat jalal atau kebesaran, karena itu, Rasulullah dalam menghadapi
musuh-musuhnya dengan cara berperang. Sedang kata 'Ahmad' lebih
berkonotasi dengan sifat jamal atau keindahan. Maksudnya bahwa Nabi saw.
itu menyebarkan kedamaian dan keharmonisan di dunia (tidak menempuh
jalan kekerasan), sifat ini menurut pendapatnya, lebih dimanifestasikan
sewaktu Nabi tinggal di Madinah.
Apabila kata "Ahmad" ditambah dengan
"ya" nisbah, maka jadilah kata []. Kata inilah yang oleh
Mirza dijadikan sebagai nama aliran yang didirikannya di akhir abad
ke-19. Aliran baru ini mengajarkan bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah
al-Mahdi, al-Masih, Mujaddid, dan sebagai Nabi. Nama Ahmadiyah dipakai
secara resmi sebagai nama aliran tersebut, sejak 4 November 1900,
sewaktu pendirinya membayangkan bahwa pengikutnya akan menjadi sekte
baru dalam Islam. Nama 'Ahmadiyah' sebenarnya diambil dari salah satu
nama Rasulullah, bukan diambil dari nama pendiri aliran tersebut.
B. SEJARAH LAHIRNYA SYI'AH
1. LATAR BELAKANG SEJARAHNYA
Masalah khalifah sesudah Rasul wafat,
merupakan fokus perselisihan diantara tiga golongan besar, yaitu:
Golongan Ansar, Muhajirin, dan Bani Hasyim. Selain itu, sebenarnya masih
ada kelompok terselubung yang cukup potensial dalam mewujudkan
ambisinya sebagai penguasan tunggal, ialah golongan Bani Umayyah. Sikap
golongan terakhir ini, tercermin pada sikap tokoh utamanya yaitu Abu
Sufyan yang enggan membai'at Khalifah Abu Bakr, sekembalinya dari
Saqifah menuju masjid Nabawi bersama-sama dengan ummat Islam lain,
sebagai yang dilakukan oleh kaum Bani Hasyim.
Prakarsa pemilihan khalifah di Saqifah
yang dimotori oleh Sa'ad ibn 'Ubbadah adalah benar-benar menggugah
kembali bangkitnya semangat fanatisme golongan dan permusuhan antar suku
yang pernah terjadi sebelum Islam. Kiranya dapat dipahami bahwa
pemilihan khalifah tersebut, tanpa keikutsertaan 'Ali sebagai wakil Bani
Hasyim, tampaknya membawa kekecewaan mereka yang menginginkan hak
legitimasi kekhilafahan di tangan 'Ali, yang saat itu sedang mengurus
jenazah Nabi. Mereka beralasan bahwa 'Ali adalah lebih berhak dan lebih
utama menggantikannya, karena dia adalah menantunya, dan selain itu ia
juga seorang yang mula-mula masuk Islam sesudah Khadijah, istri
Rasulullah. Selanjutnya tak seorang pun yang mengingkari perjuangan,
keutamaan, dan ilmu pengetahuan yang dimilikinya. Diantara mereka yang
berpendapat demikian adalah salah seorang dari golongan Ansar yaitu
Munzir ibn Arqam, ia menyatakan dalam suatu pertemuan di Saqifah: " ...
Kami tidak menolak keutamaan orang-orang yang kalian sebutkan (AbuBakr,
Umar, dan'Ali), sebenarnya ada diantara mereka itu, seorang yang
seandainya ia menuntut (kekhilafahan), tak seorang pun yang akan
menentangnya ('Ali ibn Abi Talib)
Peristiwa pembai'atan Abu Bakr pada
tahun 12 H (634 M), tanpa sepengetahuan 'Ali, tampaknya melahirkan
berbagai pendapat yang kontroversial tentang siapa diantara tokoh-tokoh
sahabat itu yang lebih berhak menduduki jabatan khalifah. Selain itu,
juga merupakan awal terbentuknya pemikiran golongan ketiga yakni Bani
Hasyim, disamping golongan Muhajirin dan Ansar. Oleh karenanya tidak
mengherankan jika saat itu ada orang yang ingin membai'at 'Ali ibn Abi
Talib. Keinginan tersebut secara tegas ditolak 'Ali dan sebagai
akibatnya, para pendukung 'Ali menunda-nunda pembai'atan mereka pada
Khalifah Abu Bakr.
Memang benar, bahwa sesudah 'Ali
membai'at Khalifah pertama ini, isu politik tentang hak legitimasi
Ahlul-Bait, sebagai pewaris kekhilafahan sesudah Nabi, berangsur-angsur
mereda sampai berakhirnya masa pemerintahan Khalifah 'Umar ibn Khattab.
Peredaan isu politik ini, mungkin sekali disebabkan oleh keberhasilan
kedua khalifah tersebut dalam mempersatukan potensi ummat Islam untuk
menghadapi musuh-musuh baru yang bermunculan saat itu.
Munculnya Bani Umayyah dalam
pemerintahan 'Usman, sebagai kekuatan politik baru, telah mengundang
reaksi keras ummat Islam, terhadap kebijaksanaan Khalifah, terutama
sesudah enam tahun yang terakhir pemerintahannya. Kelemahan Khalifah
ketiga ini terletak pada ketidakmampuannya membendung ambisi kaum
kerabatnya yang dikenal sebagai kaum aristokrat Mekkah yang selama 20
tahun memusuhi Nabi. Sebagai akibatnya, isu politik tentang hak
legitimasi Ahlul-Bait memanas kembali.
Sebagaimana diketahui dalam sejarah,
tindakan politik Khalifah yang memberhentikan para gubernur yang
diangkat oleh Khalifah 'Umar, dan mengangkat gubernur-gubernur baru dari
keluarga 'Usman sendiri, rupanya membawa kekecewaan dan keresahan ummat
secara luas. Seperti: Pengangkatan Marwan ibn Hisyam sebagai sekretaris
Khalifah, Mu'awiyah sebagai Gubernur Syria,'Abdullah ibn Sa'ad ibn
Surrah sebagai wali di Mesir, dan ia masih saudara seibu dengan
Khalifah, dan Walid sebagai Gubernur Kufah. Mereka dikenal sebagai
penguasa yang lebih berorientasi pada kepentingan pribadi dan
kelompoknya, daripada berorientasi pada kepentingan dan aspirasi rakyat.
Sikap politik seperti ini tampaknya merupakan faktor penyebab timbulnya
protes-protes sosial yang keras yang sangat kurang menguntungkan pada
pemerintahannya sendiri.
Setelah 'Usman wafat, 'Ali adalah calon
utama untuk menduduki jabatan khalifah. Pembai'atan khalifah kali ini,
segera mendapat tantangan dari dua orang tokoh sahabat yang berambisi
menduduki jabatan penting tersebut. Kedua tokoh itu adalah Talhah dan
Zubair yang mendapat dukungan dari 'A'isyah, untuk mengadakan aksi
militer yang dikenal dengan perang Jamal. Akhirnya kedua tokoh tersebut
terbunuh, sedangkan 'A'isyah, oleh Khalifah 'Ali dikembalikan ke
Madinah.
Aksi militer tersebut, tampaknya sebagai
akibat kegagalan kedua tokoh itu dalam memenuhi ambisinya. Disamping
itu, keduanya merasa dipaksa oleh sekelompok orang dari Kufah dan Basrah
untuk membai'at 'Ali, dibawah ancaman pedang terhunus. Alasan terakhir
ini rupanya dijadikan alasan baru untuk menuntut Khalifah, mereka
berjanji akan taat dan patuh, jika Khalifah menghukum semua orang yang
terlibat dalam peristiwa pembunuhan Usman ibn 'Affan. Tuntutan tersebut
senada dengan tuntutan Mu'awiyah, yaitu agar Khalifah 'Ali mengadili
Muhammad ibn Abu Bakr, anak angkatnya, yang mereka pandang sebagai biang
keladi peristiwa terbunuhnya 'Usman. Dengan demikian, Khalifah 'Ali
dihadapkan pada posisi yang cukup sulit di awal pemerintahannya.
Tampaknya tuntutan Talhah dan Zubair
tersebut, dipolitisasikan oleh Muawiyah untuk memojokkan 'Ali, yang
dipandang sebagai saingan utamanya. Untuk membangkitkan semangat
antipati dan permusuhan terhadap Khalifah 'Ali, Mu'awiyah menggantungkan
baju 'Usman yang berlumuran darah beserta potongan jari istrinya, yang
dibawa lari dari Madinah ke Syria oleh Nu'man ibn Basyar. Posisi 'Ali
yang sulit ini, ditambah lagi dengan tindakan pemecatannya terhadap
Gubernur Damaskus, Mu'awiyah ibn Abi Sufyan, adalah sebagai faktor yang
mempercepat berkobamya perang Siffin. Perang ini mengakibatkan munculnya
golongan Khawarij, musuh 'Ali yang paling ekstrem, sesudah terjadinya
upaya perdamaian dari pihak Mu'awiyah dengan ber-tahkim pada al-Qur-an,
setelah pasukannya terdesak oleh pasukan 'Ali dibawah panglima Malik
al-Astar. Siasat licik Mu'awiyah yang dimotori oleh 'Amr ibn 'As ini,
sebenarnya telah diketahui oleh 'Ali. Sayang sekali usaha menghadapi
siasat licik ini terhalang oleh sebagian besar pasukannya sendiri yang
memaksanya menerima tawaran damai tersebut. Akhirnya, kedua belah pihak
sepakat untuk berdamai, dan masing-masing harus diwakili oleh seorang
juru runding. Pihak Mu'awiyah diwakili oleh 'Amr ibn 'As, sedangkan
pihak 'Ali diwakili Abu Musa al-Asy'ari.
Kekalahan diplomasi pihak 'Ali di
Daumatul-Jandal, sebagaimana dalam penuturan sejarah, adalah disebabkan
oleh sikap Abu Musa yang amat sederhana dan mudah percaya kepada siasat
'Amr. Bahkan menurut pendapat Syed Amir 'Ali, Abu- Musa ini secara
diam-diam memusuhi 'Ali. 'Amr ibn 'As tampaknya dengan mudah meyakinkan
Abu Musa, bahwa untuk kejayaan ummat Islam, 'Ali dan Mu'awiyah harus
disingkirkan. Dengan perangkap 'Amr ini Abu Musa sebagai wakil yang
lebih tua, dipersilakan naik mimbar lebih dahulu guna mengumumkan hasil
perundingan mereka, dan secara sungguh-sungguh Abu Musa menyatakan
pemecatan 'Ali sedangkan 'Amr yang naik mimbar kemudian, menyatakan
kegembiraannya atas pemecatan 'Ali tersebut, kemudian ia mengangkat
Mu'awiyah sebagai penggantinya. Sekalipun pihak 'Ali kalah total,
namun 'Ali tetap memegang jabatan khalifah sampai ia terbunuh di mesjid
Kufah, oleh seorang Khawarij bernama Ibn Muljam, tahun 41 H/661 M.
Pembelotan kaum Khawarij yang disebabkan
oleh peristiwa tahkim atau arbitrase antara 'Ali dengan Mu'awiyah,
semakin mempersulit dan memperlemah posisi Khalifah 'Ali terutama sekali
sesudah penumpasan pasukan 'Ali terhadap kaum separatis ini di
Nahrawan. Perang di Nahrawan, menyebabkan dendam mereka semakin memuncak
terhadap Khalifah. Dalam hubungan ini, Donaldson menjelaskan bahwa kaum
Khawarij membentuk pasukan berani mati yang terdiri: 'Abdur-Rahman ibn
Muljam untuk membunuh 'Ali, Hajjaj ibn 'Abdullah as-Sarimi untuk
membunuh Mu'awiyah, dan Zadawaih untuk membunuh 'Amr ibn 'As. Akan
tetapi, dua petugas yang disebut belakangan ini gagal mencapai
maksudnya. Dengan demikian, posisi Mu'awiyah semakin kuat.
Dalam menghadapi dilema politik. 'Ali
lebih tampak sebagai seorang panglima perang daripada sebagai seorang
politikus. Ia lebih suka menempuh jalan kekerasan, sekalipun harus
banyak memakan korban, sedangkan dengan jalan diplomasi yang pernah
ditempuhnya, ia tampak lebih banyak didikte oleh pihak lawan. Tipe
perjuangan 'Ali ini rupanya dikembangkan oleh sekte Syi'ah Zaidiyyah.
Para pendukung dan pengikut setia
Khalifah 'Ali apabila dilihat dari aspek akidah mereka, tidak jauh
berbeda dengan akidah ummat Islam pada umumnya saat itu. Sudah barang
tentu, mereka belum mengenal sama sekali apalagi memiliki
doktrin-doktrin seperti yang dimiliki oleh kaum Syi'ah sebagaimana yang
kita kenal dalam sejarah, selain pendirian mereka bahwa 'Ali lebih utama
memangku jabatan Khalifah sesudah Nabi . Jumlah mereka relatif lebih
kecil. Dengan demikian, pengikut setia 'Ali dalam mencapai cita-cita
perjuangannya saat itu belum berorientasi pada suatu doktrin tertentu,
maka saat itu dapat dikatakan bahwa Syi'ah belum lahir. Ini berbeda
dengan aliran Khawarij, semboyan: "Tiada hukum yang wajib dipatuhi
selain hukum Allah," sejak keberadaan sekte ini, telah dijadikan sebagai
doktrin dan pengikutnya selalu berorientasi pada ajaran itu. Oleh
karenanya dipertanyakan, kapan lahirnya Syi'ah itu?
Mengenai lahirnya Syi'ah, terdapat
beberapa pendapat yang kontroversial. Pendapat al-Jawad yang dikutip
oleh Prof. H. Abu Bakar Atjeh dalam bukunya Perbandingan Mazhab Syi'ah,
menjelaskan bahwa lahirnya Syi'ah adalah bersamaan dengan lahirnya nash
(hadis) mengenai pengangkatan 'Ali ibn Abi Talib oleh Nabi sebagai
khalifah sesudahnya nash yang dimaksud antara lain, mengenai kisah
perjamuan makan dan minum yang diselenggarakan oleh Nabi di rumah
pamannya, Abu Talib, yang dihadiri oleh 40 orang sanak keluarganya.
Dalam perjamuan itu beliau menyatakan: "...Inilah dia ('Ali) saudaraku,
penerima wasiatku dan khalifahku untuk kalian, oleh karena itu, dengar
dan taati (perintahnya) ..." Pernyataan ini disampaikan oleh Nabi
sesudah 'Ali menerima tawaran beliau sebagai khalifahnya.
Nash seperti ini, jelas tidak terdapat
dalam kitab Sahih al-Bukhari dan Sahih Muslim, karena itu golongan Sunni
menolak nash tersebut bila dijadikan dalil untuk mengklaim kekhilafahan
bagi 'Ali sebagaimana yang dikehendaki oleh kaum Syi'ah. Sebaliknya,
tidak dimuatnya nas-nas semacam itu, demikian Syarafuddin al-Musawi,
oleh kedua imam hadis tersebut dalam kitab sahihnya merupakan manipulasi
golongan Sunni terhadap hadis-hadis sahih yang berkaitan dengan
kekhilafahan 'Ali, karena nas itu dikhawatirkan akan menjadi senjata
kaum Syi'ah untuk menyerang paham mereka. Abu Zahrah berpendapat
bahwa Syi'ah tumbuh di Mesir masa pemerintahan 'Usman, karena negeri ini
merupakan tanah subur untuk berkembangnya paham tersebut, kemudian
menyebar ke Irak dan di sinilah mereka menetap.
Selain itu, adalah wajar apabila ada
yang berpendapat, bahwa lahirnya Syi'ah itu sewaktu Nabi sakit keras,
pamannya, 'Abbas, menyarankan kepada 'Ali dan mengajaknya menghadap Nabi
untuk meminta wasiatnya, siapakah orang yang akan menggantikan
kepemimpinan beliau, namun maksud tersebut ditolak 'Ali dengan tegas,
dan ia pun bersumpah tidak akan memintanya. Selanjutnya masih ada
pendapat yang mengatakan bahwa lahirnya Syi'ah itu bersamaan dengan
terjadinya perang Jamal, perang Siffin, dan perang di Nahrawan, karena
pada saat itu, seorang tidak dapat dikatakan sebagai Syi'ah kecuali
orang yang mengunggulkan kekhilafahan 'Ali daripada 'Usman ibn 'Affan,
sebagai yang telah disinggung diatas.
Apabila dilihat ciri-ciri dari beberapa
pendapat diatas, maka pendapat pertama tampak sama sekali tidak
realistis, sedangkan tiga pendapat yang terakhir, rupanya lebih
menitikberatkan pada adanya sikap dan tindakan-tindakan nyata sebagai
pendukung dan pengikut setia 'Ali semasa hidupnya. Akan tetapi, apabila
kelahiran Syi'ah dilihat sebagai suatu aliran keagamaan yang bersifat
politis secara utuh, maka ia harus dilihat pula dari aspek ajaran atau
doktrin politiknya, yaitu tentang hak legitimasi kekhilafahan pada
keturunan 'Ali dengan Fatimah, puteri Rasulullah, sebab dari segi
doktrin inilah identitas Syi'ah tampak lebih jelas, berbeda dengan
identitas sekte-sekte Islam lainnya. Dan munculnya doktrin Syi'ah
seperti ini adalah bermula sejak timbulnya tuntutan penduduk Kufah -
pendukung 'Ali - agar masalah kekhilafahan dikembalikan kepada keluarga
Khalifah atau Ahlul-Bait dari tangan orang-orang yang dianggap telah
merampasnya. Dari penerapan doktrin ini, penulis berpendapat bahwa
lahirnya Syi'ah itu bersamaan waktunya dengan pengangkatan Hasan ibn
'Ali ibn Abi Talib sebagai imam kaum Syi'ah. Adapun aktivitas para
pendukung dan pengikut setia 'Ali pada periode sebelumnya, hanyalah
merupakan faktor yang mempercepat proses tumbuhnya benih-benih Syi'ah
yang sudah siap tumbuh dan berkembang.
2. PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN SEKTE-SEKTE SYI'AH
Dalam kajian ini, penulis lebih
menitikberatkan pada bahasan yang berkaitan dengan perkembangan
sekte-sekte Syi'ah secara garis besar, serta hubungannya dengan paham
Mahdiyyah.
Pada masa Hasan ibn 'Ali, posisi kaum
Syiah semakin goyah karena derasnya fitnah, perselisihan, dan perpecahan
di kalangan mereka, yang sengaja ditanamkan oleh golongan Saba'iyyah,
pengikut Ibn Saba'. Lemahnya daya juang dan kurang wibawanya Hasan
adalah menjadi faktor yang mempersulit posisi golongan Syi'ah. Usaha
Hasan dalam memerangi golongan Saba'iyyah, terutama sesudah kegagalannya
menumpas gerakan Mu'awiyah, sungguh hasilnya sangat mengecewakan. Pada
saat itulah Hasan mulai ditinggalkan oleh kaumnya, demikian Ihsan Ilahi
Zahir, sehingga sebagian pengikutnya bergabung dengan golongan
Saba'iyyah, sebagian lagi berpaling pada Mu'awiyah, dan golongan
Khawarij. Oleh karena itu, Hasan pun kemudian memilih jalan damai
dengan pihak Mu'awiyah. Selanjutnya ia mundur dari jabatan khalifah
secara formal pada tahun 41 H/661 M, dengan demikian secara de jure, ia
menjabat selama sepuluh tahun, akan tetapi secara de facto, ia berkuasa
hanya enam bulan tiga hari.
Sesudah Hasan wafat, diangkatlah
saudaranya, Husain ibn 'Ali sebagai Imam. Putera 'Ali kedua ini tampak
memiliki semangat dan daya juang sebagai yang dimiliki bapaknya, namun
sayang, ia harus tewas di ujung pedang tentara Yazid di padang Karbela
secara memilukan, pada tanggal 1 Oktober 680 M.
Kematian Husain ini merupakan bencana
bagi kaum Syi'ah, sehingga makamnya dipandang sebagai tempat yang
keramat serta memiliki keistimewaan dan keluarbiasaan, lantaran
kecintaan mereka terhadap Husain, dan oleh karena itu, mereka
mentradisikan ziarah umum ke makamnya setiap bulan Muharam.
Kematian Husain tersebut bermula dari
banyaknya surat penduduk Kufah yang menyatakan janji setianya kepada
putera 'Ali ini. Aksi militer yang dilancarkan Husain, lantaran dia
lebih mempercayai janji orang Kufah daripada ia mempertimbangkan
saran-saran para penasihatnya yang cukup berpengalaman dan mengetahui
benar tabiat orang Kufah yang telah mengkhianati keluarganya. Dan
karenanya, kematian Husain sebagai syahid, menimbulkan unsur baru dalam
moral agama di kalangan Syi'ah Kufah. Yaitu mereka merasa sangat berdosa
atas kematian Husain dan mereka berkeinginan untuk menebus dosa mereka
dengan mengangkat senjata menuntut bela atas kematiannya pada penguasa
Umayyah. Golongan tersebut menamakan dirinya at-Tawawabun (orang-orang
bertobat).
Golongan terakhir ini berkeyakinan bahwa
mati berperang karena membela kepentingan Ahlul-Bait adalah mati
syahid. Disinilah mereka mengidentikkan loyalitasnya terhadap 'Ali dan
keturunannya, sama dengan loyalitasnya terhadap Nabi atau agama.
Ketidakpuasan kaum mawali dari Persia
terhadap penguasa Umayyah, mendorong mereka dan memberi arah yang sama
sekali baru, kepada kegiatan-kegiatan sosio-politik kaum Syi'ah,
demikian Fazlur Rahman, sehingga pimpinan Syi'ah, mungkin sekali ia
orang Arab, tetapi para pengikutnya beralih dari bangsa Arab ke bangsa
Persia. Sejak itulah kaum Syi'ah mengalami perubahan besar dan mulai
mengarahkan gerakannya, dari gerakan politik semata kepada gerakan
keagamaan yang bercorak kemazhaban. Selanjutnya Ihsan Ilahi Zahir
menjelaskan bahwa sesudah Syi'ah terikat oleh unsur-unsur asing yang
melindas, maka Syi'ah terlepas dari kebiasaan bangsa Arab yang terdidik
secara Islami, dan sekalipun mereka kaum Syi'ah masih berada dalam
lingkaran Islam, namun bukan-Islam yang ortodoks, akan tetapi, Islam
dalam bentuknya yang baru.
Pada saat yang sama, Syi'ah mulai
membawa pikiran-pikiran asing secara terselubung, aliran ini juga
merupakan wadah dari berbagai aspirasi, dan tempat berlindungnya
musuh-musuh Islam yang ingin merusak dari dalam sehingga ia mudah
terpecah belah menjadi sub-sub sekte yang banyak sekali.
Diantara kelompok-kelompok yang
memasukkan ajaran-ajaran nenek moyang mereka kedalam ajaran Syi'ah ialah
golongan Yahudi, Nasrani, Zoroaster, dan Hindu. Mereka itu berkeinginan
melepaskan negerinya dari kekuasaan Islam dengan menyembunyikan niat
jahat mereka dan menunjukkan sikap berpura-pura mencintai Ahlul-Bait
sebagai kedok.
Seperti ajaran Syi'ah tentang: 'Aqidah
ar-Raj'ah, ucapan sementara golongan ini bahwa api neraka tidak akan
membakar mereka kecuali sedikit saja. Demikian pula diantara mereka ada
yang mengatakan bahwa hubungan al-Masih dengan Tuhan, sifat ketuhanan
yang menyatu dengan sifat kemanusiaan seperti pada diri seorang imam,
juga ada yang mengatakan bahwa kenabian atau kerasulan itu tidak akan
terhenti untuk selamanya. Selanjutnya ada pula diantara mereka yang
menjisimkan Tuhan, berbicara tentang Tanasukh atau Reinkarnasi dan Hulul
dan lain sebagainya.
Tampaknya figur Husain, bagi kaum Syi'ah
mempunyai keistimewaan tersendiri; terutama bagi Syi'ah Persia. Hal itu
mungkin sekali karena Husain adalah cucu rasul di satu pihak, sedangkan
istrinya Syahr Banu puteri Yazdajird III, mantan raja Persia di pihak
lain. Sebelum Islam, di Persia telah berkembang suatu tradisi yang
bertolak dan pandangan tentang "Hak Ketuhanan" atau Divine right yang
berarti bahwa dalam diri raja Persia telah mengalir darah ketuhanan.
Dengan demikian, raja memiliki kebenaran tindakan yang harus dipatuhi
oleh rakyat. Raja ibarat pengayoman Allah di bumi untuk menegakkan
kemaslahatan hamba-hamba-Nya.
Pandangan seperti ini, demikian Ahmad
Syalabi, masih tetap ada sesudah orang Persia itu memeluk Islam,
sehingga karenanya mereka memandang Ahlul-Bait sebagai orang yang berhak
memerintah dan harus ditaati oleh manusia. Rupanya pandangan seperti
inilah yang membentuk konsep pola keimaman dalam Syi'ah.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
faktor sosio-religio-kultural yang membentuk Syi'ah seperti sekarang ini
adalah akibat penetrasi budaya dan kepercayaan non-Islam yang pernah
berakar pada suatu masyarakat di suatu negeri, dan pernah memiliki
peradaban yang lebih maju daripada bangsa penakluknya. Biasanya kaum
Syi'ah membentuk pola kehidupan keagamaan yang berbeda dan bahkan sering
bertentangan serta menghilangkan corak keagamaan aslinya. Kepercayaan
hasil perpaduan antara dua tradisi keagamaan yang berbeda, yaitu Islam
dan non-Islam, yang melahirkan praktek keagamaan baru dalam Islam
merupakan bid'ah yang sangat dicela oleh Nabi, sebagaimana sabdanya:
"... Maka sesungguhnya sebaik-baik
ajaran adalah kitab Allah (al-Quran) dan petunjuk yang terbaik adalah
petunjuk Muhammad saw., dan perkara yang terjahat ialah perkara baru
yang dicipta dalam agama (bid'ah). Dan setiap bid'ah adalah sesat".
(Hadis riwayat Muslim).
Sebagaimana diketahui dalam sejarah,
agama Nasrani setelah memasuki kerajaan Romawi, juga mengalami distorsi
yang jauh lebih mengarah pada perombakan terhadap ajaran Nabi Isa a.s.
Munculnya ajaran Paulus sebagai perpaduan antara ajaran Nasrani dengan
kepercayaan dan kebudayaan Romawi, berakibat munculnya praktek-praktek
keagamaan baru yang diikuti oleh lahirnya berbagai sekte keagamaan.
Demikian pula dengan sekte-sekte Syi'ah yang muncul sesudah Husain
wafat.
Adapun munculnya sekte-sekte Syi'ah,
bermula dari masalah imamah atau kepemimpinan. Yaitu siapakah yang
berhak menjadi imam sesudah terbunuhnya Husain, oleh karena pada saat
itu belum ada diantara putera-puteranya yang mencapai usia dewasa.
Rupanya kaum Syi'ah sulit menghindari perpecahan, karena timbulnya tiga
kelompok yang berbeda paham.
Golongan pertama, memandang bahwa
keimaman harus berada di tangan keturunan Husain dan tidak boleh lepas
dari mereka, dan keimaman harus melalui nas dari imam baik yang dikenal
maupun yang tersembunyi, golongan ini terpaksa mengangkat putera Husain
yang belum dewasa sebagai imam. Golongan ini kemudian disebut golongan
Imamiyyah.
Adapun golongan kedua, berpendapat bahwa
mengangkat imam yang belum dewasa adalah tidak sah. Mereka tidak yakin
bahwa Husain telah menjanjikan keimaman itu kepada salah seorang
puteranya untuk dibai'at. Oleh karena itu, mereka bersikap
menunggu-nunggu sampai munculnya seorang putera keturunan Husain atau
Hasan yang memiliki ilmu pengetahuan, kezuhudan, keberanian, kesalehan,
keadilan, dan berani mengangkat senjata terhadap penguasa yang zalim.
Oleh karenanya golongan ini disebut dengan al-Waqifah. Mereka
menghentikan aktivitasnya selama 60 tahun sejak terbunuhnya Husain
sampai bangkitnya Zaid ibn 'Ali ibn Husain di Kufah yang memberontak
kepada Hisyam ibn 'Abd al-Malik dari dinasti Umayyah. Kemudian golongan
ini dikenal dengan nama Syi'ah Zaidiyyah.
Golongan ketiga berpendapat bahwa
jabatan imam sesudah Husain, jatuh pada Muhammad ibn al-Hanafiyyah yaitu
saudara seayah dengan Husain, sekalipun dia bukan dari garis Nabi.
Golongan ketiga ini beralasan, demikian al-Mahdi lidinillah Ahmad, bahwa
'Ali ibn Abi Talib meminta kehadiran Muhammad, saat menjelang wafat dan
saat berwasiat kepada putera-puteranya. 'Ali meminta kepada Muhammad
agar mentaati Hasan dan Husain, dan sebaliknya agar keduanya berbuat
baik dan menghormati Muhammad ibn al-Hanafiyyah. Oleh karena itu,
kelompok ini memandang kehadiran Muhammad bersama kedua saudaranya
menerima wasiat 'Ali tersebut, menunjukkan bahwa dia juga memperoleh hak
untuk diangkat sebagai imam. Golongan ketiga ini dikenal dengan nama
Syi'ah Kaisaniyyah. Pendirinya adalah Kaisan bekas budak 'Ali, ada pula
yang mengatakan bahwa dia adalah Mukhtar ibn Abi 'Ubaid, sehingga
golongan ini disebut pula dengan nama Mukhtariyyah.
Perpecahan Syi'ah tersebut, berakibat
langsung terhadap lahirnya sekte-sekte baru dengan corak pemikiran yang
berbeda-beda. Jika golongan Imamiyyah dalam masalah keimaman lebih
menitikberatkan pada keturunan Husain, maka golongan al-Waqifah yang
kemudian dikenal dengan Syi'ah Zaidiyyah, lebih memfokuskan perhatiannya
pada persyaratan-persyaratan yang harus dimiliki oleh seorang imam.
Mereka tidak perduli, apakah dia keturunan Hasan atau keturunan Husain
asalkan dia masih berada di jalur keturunan Nabi. Akan tetapi, bagi
golongan Kaisaniyyah tidak memandang penting jalur keturunan itu dari
Nabi, namun yang terpenting adalah jalur keturunan 'Ali ibn Abi Talib.
A. SYI'AH KAISANIYYAH
Dilihat dari eksistensi dan gerakannya,
golongan ini dapat dikatakan sebagai sekte Syi'ah yang tertua. Mereka
mengadakan aksi militer terhadap penguasa Bani Umayyah, dengan dalih
membela hak-hak kaum tertindas. Ide ini tampaknya didukung oleh kaum
Mawali Irak dan Persia, yang diperlakukan oleh pemerintah Umayyah
sebagai masyarakat kelas dua. Sebagai akibatnya penduduk kedua kota
tersebut tidak simpati lagi pada Bani Umayyah.
Sekte ini mengangkat Muhammad ibn
Hanafiyyah sebagai imam, sedangkan ajarannya bersumber pada ajaran Ibn
Saba' dan golongan Saba'iyyah, seperti ajaran tentang: al-Gaibah,
'Aqidah ar-Raj'ah (keyakinan akan kembalinya seorang imam yang telah
wafat), dan Tanasukh. Al-Syahrasrani menyatakan, bahwa sesudah Muhammad
ibn al-Hanafiyyah yang dikenal sebagai orang yang berpengetahuan luas
dan berpikiran cemerlang mengerti bahwa sekte ini mengajarkan ajaran
bohong dan sesat, ia pun segera berlepas tangan dari kesesatan dan
kebid'ahan mereka, serta pengkultusan-pengkultusan pengikut aliran ini
terhadap dirinya. Mereka beranggapan bahwa dia memiliki berbagai
keluarbiasaan atau al-Makhariqul-Mumawwahah yakni keluarbiasaan yang
mereka buat-buat untuk Muhammad ibn al-Hanafiyyah.
Sesudah ia wafat, jabatan imam beralih
kepada puteranya, Abu Hasyim, kemudian lahirlah subsekte baru yang
dikenal dengan al-Hasyimiyyah. Setelah Abu H-asyim wafat timbul masalah
siapa pemegang jabatan imam sesudahnya. Jabatan ini tampaknya menjadi
rebutan diantara kelompok-kelompok yang berambisi, sehingga timbul
pendapat yang kontroversial.
Dalam hubungan ini asy-Syahrastani
menjelaskan bahwa kelompok yang berselisih itu ada yang mengatakan,
sebenarnya Abu Hasyim telah mewasiatkan keimanan itu kepada Muhammad ibn
'Ali ibn 'Abdullah ibn 'Abbas, saat ia hendak wafat dalam perjalanan
pulang dari Syria. Selanjutnya penerima wasiat ini terus mewasiatkan
keimaman ini kepada anak keturunannya, sehingga jadilah kekhilafahan itu
jatuh ke tangan Bani 'Abbas. Kelompok lain mengatakan bahwa jabatan
imam itu jatuh pada kemenakan Abu Hasyim, Hasan ibn 'Ali ibn Muhammad
al-Hanafiyyah. Akan tetapi, ada pula yang mengatakan, keimaman itu
dilimpahkan kepada saudara Abu Hasyim sendiri yaitu 'Ali, baru kemudian,
'Ali mewasiatkan pada puteranya, Hasan. Adapun kelompok terakhir
mengatakan, bahwa keimaman itu telah lepas dari Abu Hasyim, karena ia
telah mewasiatkannya kepada 'Abdullah al-Kindi, oleh karenanya
menurut golongan ini, ruh Abu Hasyim telah berpindah ke dalam diri
'Abdull-ah al-Kindi, sehingga berkembanglah paham Reinkarnasi di
kalangan pengikutnya.
B. SYI'AH ZAIDIYYAH
Sekte ini berdiri sesudah berselang 60
tahun setelah Husain wafat, di bawah pimpinan Imam Zaid ibn 'Ali. Sekte
tersebut memiliki persyaratan khusus dalam memilih seorang imam yaitu
seorang yang 'Alim, Zahid (sangat berhati-hati dengan masalah dunia),
pemberani, pemurah, dan mau berjihad di jalan Allah guna menegakkan
keimaman taat pada agama baik dia dari putera Hasan atau Husain.
Dalam masalah kekhilafahan atau
keimaman, golongan ini rupanya lebih moderat. Mereka bisa menerima Imam
Mafdul yakni imam yang dinominasikan, disamping adanya Imam al-Afdal
atau imam yang lebih utama. Pikiran seperti ini, tentunya karena pendiri
sekte Zaidiyyah, pernah berguru kepada Wasil ibn 'Ata, pendiri
Mu'tazilah. Oleh sebab itu, aliran ini tidak menyalahkan atau membenci
khalifah-khalifah sebelum 'Ali ibn Abi Talib. Pendirian tentang
[kata-kata Arab] yaitu sahnya imam yang dinominasikan disamping adanya
seorang imam yang lebih utama, tampaknya mendapat reaksi keras dari
Syi'ah Kufah dan menolak pendirian tersebut. Itulah sebabnya mereka
disebut golongan Syi'ah Rafidah.
Sebagaimana diketahui, umumnya kaum
Syi'ah berprinsip bahwa 'Ali ibn Abi Talib adalah satu-satunya orang
yang lebih berhak menjadi Khalifah sesudah Nabi, tetapi mereka berbeda
paham tentang siapa yang berhak menjadi imam sesudah Husain wafat.
Perbedaan-perbedaan paham itu rupanya menjadi faktor yang mewarnai
identitas kelompok masing-masing. Sebagai contoh sekte Zaidiyyah, karena
doktrinnya yang keras dalam mencapai cita-cita perjuangannya, lebih
suka menempuh jalan kekerasan, sehingga pemimpinnya banyak yang
mengalami nasib sama dengan nasib Husain ibn 'Ali. Zaid juga menjadi
korban kecurangan penduduk Kufah karena kurang memperhatikan saran-saran
dari Salman ibn Kuhail, 'Abdullah ibn Hasan, dan saran dari saudaranya
sendiri Muhammad al-Baqir. Selanjutnya dijelaskan bahwa pada saat dia
berada di ujung pedang Yusuf ibn 'Umar Gubernur Irak, Zaid pun
ditinggalkan oleh orang-orang Kufah. Sesudah ia wafat pada 122H,
jabatan imam beralih kepada puteranya, Yahya, yang menyingkir ke
Khurasan. Kemudian ia mengadakan pemberontakan terhadap pemerintahan
Walid ibn Yazid dan mengalami nasib sama dengan nasib ayahnya. Sesudah
itu keimaman dipegang oleh Muhammad ibn 'Abdullah ibn Hasan yang dikenal
dengan an-Nafsuz-Zakiyyah, bersama-sama dengan Ibrahim, dan keduanya
terbunuh sesudah mereka mengadakan aksi militer di Madinah. Seandainya
sekte ini tidak menempuh jalan kekerasan dalam mengembangkan ide-ide
doktrinalnya yaitu dengan menyebarkan karya-karya ijtihad para imam
mereka, tentu keberadaan sekte ini lebih berakar dan berpengaruh dalam
masyarakat.
Selanjutnya dijelaskan bahwa sesudah
terbunuhnya Ibrahim di Basrah, sekte Zaidiyyah ini sudah tidak
terorganisasikan lagi sampai munculnya Nasir al-Atrus yang menda'wahkan
mazhab Zaidiyyah di daerah Dailam dan Jabal, dua daerah yang kemudian
menjadi basis Syi'ah Zaidiyyah. Sebagaimana sekte-sekte yang lain,
golongan Zaidiyyah pun mengalami perpecahan menjadi beberapa subsekte.
Diantara sektenya yang menyimpang jauh dari doktrin Zaidiyyah adalah
al-Jarudiyyah. Pengikutnya memandang Muhammad an-Nafsuz-Zakiyyah sebagai
al-Mahdi.
C. SYI'AH IMAMIYYAH
Aliran ini menjadikan semua urusan agama
harus berpangkal pada Imam, sebagaimana halnya kaum Sunni mengembalikan
seluruh persoalan agama pada al-Quran dan Sunnah atau ajaran Nabi.
Menurut paham Imamiyyah, manusia sepanjang masa tidak boleh sunyi dari
imam, karena masalah keagamaan dan keduniaan selalu membutuhkan
bimbingan para imam. Bahkan mereka mengatakan, tidak ada yang lebih
penting dalam Islam, melainkan menentukan seorang imam. Kebangkitannya
adalah untuk melenyapkan perselisihan dan menetapkan kesepakatan. Oleh
karena itu, ummat ini tidak boleh mengikuti pendapatnya sendiri dan
menempuh jalannya sendiri yang berbeda-beda yang mengakibatkan
perpecahan.
Aliran ini berkeyakinan bahwa keimaman
'Ali ibn Abi Talib sesudah wafat Nabi adalah dengan nas yang jelas dan
benar. Ibn Khaldun menjelaskan bahwa keimaman bagi mereka, tidak hanya
merupakan kemaslahatan umum yang harus diserahkan kepada ummat untuk
menentukannya, bahkan imam merupakan tiang agama dan tatanan Islam yang
tidak mungkin dilupakan oleh Nabi untuk menentukannya. Dan ia harus
seorang yang ma'sum (suci dari segala dosa) dan nas itu sendiri menurut
mereka, ada yang secara tegas dan ada pula yang samar-samar.
Konsep keimaman mereka, bagi sekte
Zaidiyyah, sebagaimana dijelaskan Ibn Khaldun dalam Muqaddimah-nya,
pengangkatan seorang imam bukan ditetapkan oleh nas, tetapi dengan
pemilihan oleh Ahlul-Halli wal-'Aqd yaitu semacam dewan yang diberi
wewenang mengangkat dan menetapkan seorang imam. Jika Syi'ah Imamiyyah
menerima kekhilafahan Abu Bakr dan 'Umar, maka berarti mereka harus
menerima paham Sunni, dan secara tidak langsung mereka harus mengakui
pula kekhilafahan Bani Umayyah yang mereka kategorikan sebagai kelompok
Sunni. Oleh karena itu, kekhilafahan kedua tokoh diatas, harus mereka
tolak keabsahannya. Kecintaan kaum Syi'ah terhadap 'Ali dan Ahlul-Bait
yang menjurus ke arah kultus individu di satu pihak, dan kebencian
mereka terhadap Bani Umayyah karena penindasannya pada Ahlul-Bait di
pihak lain, bermula dari dendam permusuhan lama antara Bani Hasyim
dengan Bani Umayyah sebelum Islam.
Di sisi lain, rupanya hubungan kaum
Mawali Persia dengan keturunan Ali ibn Abi Talib, dengan cara
menunjukkan kecintaan serta pembelaan mereka terhadap hak-hak
Ahlul-Bait, tampaknya menjadi faktor penyebab retaknya keluarga Bani
Hasyim. Perpecahan itu ditandai dengan lahirnya kelompok pendukung
keturunan 'Ali ibn Abu Talib di satu pihak, yang dikenal dengan golongan
Syi'ah, dan munculnya Bani 'Abbas di pihak lain. Jika keturunan 'Ali
selalu gagal merebut kekuasaan politik pada masa pemerintahan dinasti
Umayyah, maka keturunan 'Abbas, lewat Syi'ah Kaisaniyyah, berhasil
merebutnya dan mendirikan dinasti 'Abbasiyyah. Sebagaimana diketahui
dalam sejarah, untuk mempertahankan eksistensi dan kekuasaannya kelompok
terakhir ini, memandang kelompok pertama sebagai saingan politiknya
sebagaimana halnya orang-orang Umayyah, sehingga penguasa baru tersebut
tidak bisa terlepas dari sikap dan tindak kekerasan terhadap saudara
sesukunya (Bani Hasyim) seperti yang pernah dilakukan oleh dinasti
Umayyah terhadap lawan-lawan politiknya.
Sebagai yang telah disinggung diatas,
perpecahan Syi'ah Imamiyyah bermula dari masalah siapa yang berhak
menjadi imam sesudah Husain wafat? Menurut sekte ini karena saat itu
dapat dikatakan dalam keadaan darurat, maka mereka memandang sah
pengangkatan 'Ali ibn Husain yang dijuluki dengan Zainal-'Abidin,
sekalipun ia belum dewasa. Imam ini selamanya tinggal di Madinah sampai
wafatnya di tahun 94 H, dan ia pun tidak pernah mengadakan aksi
kekerasan terhadap penguasa Bani Umayyah. Sekte ini sesudah 'Ali ibn
Husain wafat, enggan mengakui Zaid ibn 'Ali sebagai Imam, tetapi
mengangkat saudaranya Muhammad al-Baqir. Dalam usia 19, ia menduduki
jabatan imam tersebut di akhir masa pemerintahan al-Walid, namun ia
tetap tinggal di Madinah sebagaimana ayahnya. Sepeninggal al-Baqir,
jabatan imam dipegang oleh puteranya, Ja'far as-Sadiq. Silsilah imam
ini, dari jalur ayahnya sampai kepada Nabi; sedangkan dari jalur ibunya,
Ummu Farwah, sampai kepada Abu Bakr as.-Siddiq. Ketenarannya sebagai
guru dan pemikir besar di zamannya, diakui oleh semua pihak yang
mengenal kemasyhurannya, terutama di bidang ilmu fiqh dan hadis.
Sejumlah muridnya telah memberikan andil
besar dalam memajukan Ilmu Fiqh dan Ilmu Kalam, seperti: Abu Hanifah
dan Anas ibn Malik. Menurut riwayat lain juga terdapat nama-nama seperti
Wasil ibn 'Ata yang dikenal sebagai tokoh dan pendiri Mu'tazilah, dan
Jabir ibn Hayyan sebagai ahli kimia yang masyhur. Karena kemasyhurannya
itu, beberapa tokoh Syi'ah abad modern seperti Syarafuddin al-Mu-sawi,
'Ali Syariati dan lain sebagainya , menunjukkan klaim terhadap ummat
Islam non Syi 'ah supaya mereka mengakui dan menerima pikiran-pikiran
hasil ijtihad Imam Ja'far as-Sadiq sebagai mazhab ke-5 dalam Islam,
namun demikian, karya-karya besar Imam ini, di perguruan tinggi Timur
Tengah, seperti Universitas al-Azhar di Mesir, telah dijadikan bidang
studi sendiri dalam Ilmu Fiqh.
'Ulama' besar dari kalangan Ahlul-Bait
ini menyatakan berlepas tangan dari segala kebohongan dan kebodohan
ucapan serta tindakan kaum Syi'ah Rafidah yang dihubungkan pada dirinya,
seperti ucapan mereka tentang: al-Gaibah, ar-Raj'ah, al-Bada',
Tanasukh, Hulul, dan at-Tasybih atau penyerupaan Tuhan dengan manusia.
Penolakannya terhadap kebid'ahan-kebid'ahan kaum Syi'ah dinyatakan
dengan tegas sebagai berikut:
"Semoga Allah mengutuk mereka (kaum
Syi'ah), sesungguhnya kami tidak membiarkan para pendusta yang
senantiasa membuat kedustaan atas nama kami. Maka cukuplah bagi kami,
Allah sebagai pengaman dari semua para pendusta. Dan semoga Allah
menyangatkan panasnya siksa pada diri mereka."
Dari uraian diatas, nyatalah bahwa
tokoh-tokoh Ahlul-Bait yang diangkat sebagai Imam oleh kaum Syi'ah, pada
umumnya tinggal di Madinah dan mereka jauh dari para pengikutnya yang
bertebaran di berbagai negeri. Tampaknya tidak seorang pun di antara
para Imam itu yang menyimpang dari ajaran Islam, dan bahkan mereka tidak
suka menyerang pribadi Abu Bakr atau 'Umar, malahan mereka
menghormatinya. Oleh karena itu, sikap para Imam yang lurus dan tegas
terhadap segala penyelewengan para pengikutnya, dapat diduga sebagai
salah satu faktor yang menambah kejengkelan mereka dan sebagai
reaksinya, kaum Syi'ah tidak segan-segan mencatut nama baik imam-imam
mereka untuk menguatkan pendirian atau paham masing-masing. Tidak
mustahil, jika kaum Syi'ah kemudian mendirikan sub-sub sekte yang
ekstrem dengan menyerap ajaran-ajaran non-Islam dan kemudian mereka
membuat cerita-cerita fiksi tentang kehebatan dan keluarbiasaan
imam-imam mereka.
Perpecahan Syi'ah Imamiyyah sesudah
Ja'far as-Sadiq wafat, semakin meluas dan perpecahan ini tampaknya
berpangkal, siapa di antara enam puteranya yang lebih berhak
menggantikannya. Maka mulailah muncul sub-sub sekte baru seperti:
An-Nawusiyyah, yang memandang Ja'far as-Sadiq sebagai al-Qa'im atau
al-Mahdi demikian pula halnya dengan al-Musawiyah, pengikut Musa
al-Kazim yang berkeyakinan bahwa Musa tidak mati, ia hanya gaib saja dan
akan kembali lagi ke dunia, dan tidak akan ada lagi seorang imam
sesudahnya. Oleh karena itu, sekte yang terakhir ini disebut juga dengan
al-Qat'iyyah. Dalam bahasan ini akan dibicarakan dua subsekte yang
terpenting, dan keduanya mempunyai corak kemahdian yang berbeda satu
sama lain
1. SYI'AH ISMAILLIYYAH
Aliran ini dikenal pula dengan Syi'ah
Sab'iyyah atau Syi'ah Batiniyyah. Disebut demikian, karena pengikut
sekte berkeyakinan bahwa Imam yang ketujuh bagi mereka adalah Isma'il
atau karena pendirian mereka yang menyatakan bahwa setiap yang lahir,
pasti ada yang batin dan setiap ayat yang turun pasfi ada Ta'wil
atauTafsir Batiniyyah-nya.
Syi'ah Isma'iliyyah ini muncul sesudah
tahun 200 H, menurut penuturan al-Mahdi Lidinillah Ahmad yang mengutip
pernyataan al-Hakim dan kesepakatan para penulis Muslim, bahwa orang
yang mula-mula membangun mazhab ini ialah anak-anak orang Majusi dan
sisa-sisa pengikut aliran Huramiyyah. Mereka dihimpun oleh suatu
perkumpulan yang bekerja sama dengan orang-orang yang ahli tentang Islam
dan filsafat. Motif mereka tidak lain, karena mereka ingin membuat tipu
daya guna merusak Islam dengan menyusupkan para propagandisnya kedalam
masyarakat Syi'ah yang masih awam, karena mereka iri terhadap kejayaan
Islam. Untuk pertama kalinya sekte ini lahir di Irak, kemudian ia
mengalihkan gerakannya ke Persia, Khurasan, India, dan Turkistan. Di
daerah-daerah tersebut, ajaran-ajarannya bercampur dengan kepercayaan
versi lama dan pemikiran Hindu. Dalam hubungan ini Fazlur Rahman
menjelaskan bahwa Syi'ah Isma'iliyyah ini giat berpropaganda di sekitar
abad II H/IX M - V H/XI M, sehingga ia pernah menjadi aliran terkuat di
dunia Islam, sejak dari Afrika sampai ke India dengan mengobarkan
revolusi sosial, melalui asimilasi ide-ide dari luar terutama ide
platonisme dan gnostik. Dari sinilah sekte tersebut menyusun sistem
filsafat diatas mana dibangun suatu agama baru, setelah merongrong
struktur keagamaan ortodoks.
Isma'il yang wafat mendahului ayahnya,
diyakini keimamannya melalui nas dari ayahnya, Ja'far as-Sadiq. Pengikut
sekte ini mengingkari kematiannya dan ia dipandang sebagai al-Qa'im
(yang bangkit) sampai ia menguasai bumi dan menegakkan urusan manusia.
Sesudah Isma'il, jabti Fatimiyyah.
Sesudah sekte ini merasa kuat posisinya,
berakhirlah Imam Mastur dan muncullah 'Abdullah ibn Muhammad al-Habib
yang mengaku sebagai Imam Mahdi yang dijanjikan. Diantara subatan imam
diteruskan oleh anaknya, Muhammad al-Maktum dan selanjutnya jabatan
tersebut diteruskan oleh puteranya, Muhammad al-Habib, kemudian oleh
penggantinya, 'Abdullah al-Mahdi. Dalam propagandanya ia mendapat sukses
karena jasa Abu 'Abdullah as-Syi'i, sesudah ia lolos dari tempat
penahanannya di Sijilmasah, ia dapat menguasai daerah Kairuwan dan
Magrib (Afrika). Dalam perkembangan selanjutnya, anak keturunan al-Mahdi
ini akhirnya dapat menguasai Mesir dan mendirikan dinassektenya yang
paling agresif adalah golongan Qaramitah yang dipelopori oleh Hamdan ibn
Qarmat dipenghujung abad ke-3 H/9 M. Gerakannya bertujuan, di bidang
politik, membantu berdirinya dinasti Fatimiyyah di Mesir, sedangkan di
bidang sosial, membangun masyarakat yang didasarkan atas asas
kebersamaan. Mereka hidup dalam suatu komune yang hampir menyerupai
sistem kehidupan masyarakat komunis. Kepercayaan aliran ini terhadap
al-Mahdi, tidak jauh berbeda dengan keyakinan Syi'ah Isna 'Asyariyyah.
Hanya saja pengikut sekte Qaramitah ini menganggap Muhammad ibn Isma'il
sebagai al-Mahdi atau al-Qa'im. Ia masih hidup dan tidak akan mati serta
akan kembali lagi ke dunia dan memenuhi bumi dengan keadilan. Menurut
keyakinan mereka, berita kemahdiannya telah disampaikan oleh imam-imam
pendahulunya.
Selain aliran Qaramitah, muncul pula
golongan Druziyyah, yang dipimpin dan didirikan oleh ad-Durzi. Tampaknya
aliran ini rapat hubungannya dengan Syi'ah al-Hakimiyyah yang lahir di
masa al-Hakim bin Amrillah al-Fatimi yang memerintah Mesir di tahun 386
H. Dialah yang didewa-dewakan sebagai tuhan.
Dalam hubungan ini, menurut salah satu
riwayat, dia adalah Hamzah ad-Durzi yang datang dari Persia ke Mesir,
kemudian membujuk al-Hakim agar dirinya diperbolehkan untuk
mempropagandakan paham baru yaitu bahwa al-Hakim adalah tuhan, sehingga
manusia mau menyembahnya. Sangat boleh jadi, ajaran tentang Hulul dan
Tanasukh versi aliran Druziyyah ini, dipengaruhi oleh ajaran al-Hallaj
(858 - 922 M), yang dalam konsep filsafat ketuhanannya, menjelaskan
bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat kemanusiaan (an-Nasut), dan manusia
pun memiliki sifat-sifat ketuhanan (al-Lahut). Kemudian ajaran ini oleh
ad-Durzi diterapkan pada diri al-Hakim yang dipropagandakan sebagai
tuhan.
Doktrin esoteris ciptaan Syi'ah
Batiniyyah yang inovatif, terutama dalam menginterpretasikan ayat-ayat
al-Quran, adalah benar-benar jauh dari ruh Islam dan mengingatkan kita
pada aliran kebatinan Gatholoco di Jawa. Sekte ini pada masa Aga Khan,
sewaktu Inggris berkuasa di India, demikian Ahmad Syalabi menjelaskan,
dijadikan sebagai alat untuk menghancurkan Islam dan menguasai ummat
Islam dengan hak dan kewajiban yang saling menguntungkan kedua belah
pihak. Taktik Inggris ini rupanya sama dengan yang dilakukannya
terhadap golongan Ahmadiyah, yaitu untuk membantu kepentingan Inggris di
India. Dalam kerjasamanya dengan Inggris, aliran Batiniyyah atau
Isma'iliyyah ini, mendapat kebebasan menyebarkan pahamnya di
koloni-koloni Inggris, dan sebagai imbalannya, aliran ini harus patuh
pada Inggris.
2. SYI'AH ISNA 'ASYARIYYAH
Aliran ini lebih luas pengaruhnya dan
lebih kuat posisinya sampai hari ini bila dibandingkan dengan pengaruh
dan posisi aliran-aliran Syi'ah lainnya. Mayoritas pengikut sekte ini
tinggal di Iran dan Irak. Aliran ini didirikan sesudah abad ke-3 H, akan
tetapi ada pula yang berpendapat, bahwa ia lahir sesudah hilangnya
Muhammad al-Mahdi al-Muntazar secara misterius pada tahun 260 H.
Keimaman pada sekte ini, sesudah Ja'far
as-Sadiq, adalah Musa al-Kazim, sesudah itu jabatan imam dipegang oleh
puteranya, 'Ali Rida. Dialah satu-satunya Imam Syi'ah dari Ahlul-Bait
yang diangkat sebagai putera mahkota oleh Khalifah al-Ma'mun dari
dinasti 'Abbasiyyah. Kemudian keimaman sesudahnya beralih kepada
puteranya Muhammad at-Taqi, dan selanjutnya ia pun digantikan oleh
puteranya 'Ali an-Naqi atau al-Hadi. Ia tinggal di Madinah dan memberi
pengajaran di sana. Akibat kritik-kritiknya yang tajam terhadap Khalifah
al-Mu'tasim, ia dipenjarakan di Samarra sampai wafatnya tahun 254 H/
868 M dalam usia 40 tahun. Selanjutnya keimaman beralih kepada
puteranya, Hasan al-'Askari, yang dikenal sebagai Imam yang tekun dan
menguasai beberapa bahasa.
Pada masa keimamannya, perpecahan Syi'ah
Isna 'Asyariyyah ini semakin meluas, dan banyak diantara para
pengikutnya, terutama kaum 'Alawiyyun (pengikut 'Ali ibn Abi Talib)
mendakwahkan dirinya sebagai imam. Menurut asy-Syahrastani, Hasan
al-'Askari wafat dalam usia 28 tahun (260 H/874 M) di Samarra.
Kemudian diangkatlah puteranya, Muhammad ibn Hasan al'Askari sebagai
imam yang ke-12, yang dimitoskan sebagai al-Mahdi al-Muntazar karena ia
dianggap hilang secara mimana para penguasanya mengklaim bahwa diri
mereka adalah masih keturunan Musa al-Kazim. Mereka menjadikan ajaran
sekte ini sebagai mazhab resmi pemerintahan Safawi di Persia. Pada masa
Syah Isma'il, ia memerintahkan kepada para Khatib dan Mu'azzin mengubah
formula khutbah dan azisterius, sejak ia dalam usia kanak-kanak. Dia
akan kembali lagi ke dunia dan memenuhinya dengan keadilan, sebagaimana
bumi ini dipenuhi oleh kecurangan.
Demikian menurut keyakinan pengikut
Syi'ah Isna 'Asyariyyah. Aliran ini sejak berdirinya sampai hilangnya
Imam ke- 12, tampaknya kurang terorganisasikan. Akan tetapi, demikian
Gibb dan Kramers menjelaskan bahwa dalam perkembangan selanjutnya,
aliran ini pernah mengalami kemajuan pesat, terutama setelah berdirinya
dinasti Safawiyah dannya, yaitu dengan menyebutkan nama-nama kedua belas
Imam mereka dalam khutbah dan menambahkan kalimat []
dalam azannya, formula semacam ini tentunya dimaksudkan untuk
menunjukkan ciri khas kesyi'ahan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar