FAHAM MAHDI AHMADIYAH
Apabila paham Mahdi atau Mahdiisme
Syi'ah itu lebih ditandai oleh motif-motif politik, maka paham Mahdi
Ahmadiyah yang lahir di ujung abad ke-19, tampaknya lebih bermotif
pembaharuan pemikiran dalam Islam, terutama dalam menghadapi bahaya
Kristenisasi sebagai akibat penjajahan Inggris di India. Dengan
demikian, ide kemahdian Ahmadiyah berbeda dengan ide kemahdian Syi'ah
yang mencita-citakan terwujudnya kekuasaan politik di dunia Islam di
bawah pimpinan al-Mahdi.
Mahdiisme Ahmadiyah rupanya tidak bisa terlepas dari kaitannya dengan masalah kehadiran kembali 'Isa- al-Masih di akhir zaman, dimana ia ditugaskan oleh Tuhan untuk membunuh Dajjal, mematahkan tiang salib, yaitu mematahkan argumen-argumen agama Nasrani dengan dalil-dalil atau bukti-bukti yang meyakinkan, serta menunjukkan kepada para pemeluknya kebenaran Islam. Disamping itu ia pun ditugaskan untuk menegakkan kembali syari'at Nabi Muhammad, sesudah ummatnya mengalami kemerosotan dalam kehidupan beragama. Menurut paham aliran ini, 'Isa dan al-Mahdi adalah satu pribadi, bukan sebagaimana yang dipahami orang pada umumnya. Oleh karena itu, mereka hanya mengambil salah satu dari beberapa hadis-hadis Mahdiyyah yang sesuai dengan keyakinan aliran ini, dan mereka - para pengikut paham Ahmadiyah - memandang hadis Mahdiyyah yang mereka pegangi sebagai otentik seperti hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah:
"Tiada seorang pun (sebagai) al-Mahdi selain 'Isa."
Hadis tersebut mereka pahami dan mereka hubungkan dengan pribadi Mirza Ghulam Ahmad sebagai pengejawantahan 'Isa al-Masih dan al-Mahdi, yang berasal dari India. Tentunya para pengikut paham Ahmadiyah ini secara tegas menolak hadis-hadis Mahdiyyah lainnya yang mengandung maksud berbeda dengan paham mereka. Apabila kemahdian Ahmadiyah meniru sifat-sifat atau watak Nabi 'Isa, maka dalam mencapai tujuannya, aliran ini tidak suka menempuh jalan kekerasan, akan tetapi dengan jalan damai, sebagaimana yang ditempuh oleh kaum misionaris Kristen. Menegakkan Islam dengan jalan kekerasan atau perang, menurut paham pengikut aliran ini, adalah tidak penting bahkan tidak perlu. Sebab menegakkan agama (Islam) dengan perang, hanyalah merupakan jihad atau perang kecil yang dikenal dengan []. Akan tetapi, yang terpenting adalah jihad akbar [] yaitu perang melawan hawa nafsu.
Sifat kemahdian Ahmadiyah tersebut, berlainan dengan sifat kemahdian Syi'ah yang jauh lebih agresif. Pada umumnya, pengikut paham Mahdi Syi'ah mendasarkan paham kemahdiannya pada aqidah raj'ah dengan menunggu-nunggu kehadiran kembali pemimpin mereka yang telah wafat, khususnya dari keturunan mereka yang telah wafat, khususnya dari keturunan Ahlul-Bait. Sedangkan paham Mahdi Ahmadiyah tidak didasarkan pada aqidah raj'ah, karenanya pengikut aliran ini tidak memandang penting silsilah al-Mahdi itu berasal dari keturunan Ahlul-Bait. Menurut paham yang terakhir ini, al-Mahdi itu tidak harus keturunan Ahlul Bait atau dari bangsa Arab, akan tetapi siapa saja yang dikehendaki dan diangkat oleh Tuhan baik dengan jalan wahyu atau ilham. Jika kemahdian Syi'ah selalu dikaitkan dengan masalah keimaman, maka kemahdian Ahmadiyah selalu dihubungkan dengan masalah kenabian, dan kemungkinan masih diturunkannya wahyu sesudah Nabi Muhammad. Persepsi yang demikian ini, apa pun alasan yang mereka ajukan, tetap akan ditolak oleh golongan Islam lainnya, khususnya golongan Sunni.
Dari perbedaan-perbedaan yang prinsip ini, kehadiran aliran Ahmadiyah di tengah-tengah pengikut Sunni, tidak bisa mereka terima pada awal kemunculannya. Bahkan sampai hari ini pun aliran tersebut tidak diakui sebagai kelompok Muslim, oleh Rabitah al-'Alam al-Islami. Untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas, terlebih dahulu perlu diuraikan beberapa masalah yang berkaitan dengan Mahdiisme Ahmadiyah.
A. SEJARAH LAHIRNYA AHMADIYAH
1. LATAR BELAKANG SEJARAH LAHIRNYA AHMADIYAH
Lahirnya aliran Ahmadiyah merupakan serentetan peristiwa sejarah dalam Islam, yang kemunculannya tidak terlepas dari situasi dan kondisi ummat Muslim sendiri pada saat itu.
Sejak kekalahan Turki 'Usmani dalam serangannya ke benteng Wina tahun 1683, pihak Barat mulai bangkit menyerang kerajaan tersebut, dan serangan itu lebih efektif lagi di abad ke-18. Selanjutnya di abad berikutnya bangsa Eropa didorong oleh semangat revolusi industri dan ditunjang oleh berbagai penemuan baru, mereka mampu mencipta senjata-senjata modern. Secara agresif mereka dapat menjarah daerah-daerah Islam di satu pihak, sedangkan di pihak lain ummat Muslim sendiri masih tenggelam dalam kebodohan dan sikap yang apatis dan fatalistis. Akhirnya Inggris dapat merampas India dan Mesir, Perancis dapat menguasai Afrika Utara, sedangkan bangsa Eropa lainnya dapat menjarah daerah-daerah Islam lainnya.
Mahdiisme Ahmadiyah rupanya tidak bisa terlepas dari kaitannya dengan masalah kehadiran kembali 'Isa- al-Masih di akhir zaman, dimana ia ditugaskan oleh Tuhan untuk membunuh Dajjal, mematahkan tiang salib, yaitu mematahkan argumen-argumen agama Nasrani dengan dalil-dalil atau bukti-bukti yang meyakinkan, serta menunjukkan kepada para pemeluknya kebenaran Islam. Disamping itu ia pun ditugaskan untuk menegakkan kembali syari'at Nabi Muhammad, sesudah ummatnya mengalami kemerosotan dalam kehidupan beragama. Menurut paham aliran ini, 'Isa dan al-Mahdi adalah satu pribadi, bukan sebagaimana yang dipahami orang pada umumnya. Oleh karena itu, mereka hanya mengambil salah satu dari beberapa hadis-hadis Mahdiyyah yang sesuai dengan keyakinan aliran ini, dan mereka - para pengikut paham Ahmadiyah - memandang hadis Mahdiyyah yang mereka pegangi sebagai otentik seperti hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah:
"Tiada seorang pun (sebagai) al-Mahdi selain 'Isa."
Hadis tersebut mereka pahami dan mereka hubungkan dengan pribadi Mirza Ghulam Ahmad sebagai pengejawantahan 'Isa al-Masih dan al-Mahdi, yang berasal dari India. Tentunya para pengikut paham Ahmadiyah ini secara tegas menolak hadis-hadis Mahdiyyah lainnya yang mengandung maksud berbeda dengan paham mereka. Apabila kemahdian Ahmadiyah meniru sifat-sifat atau watak Nabi 'Isa, maka dalam mencapai tujuannya, aliran ini tidak suka menempuh jalan kekerasan, akan tetapi dengan jalan damai, sebagaimana yang ditempuh oleh kaum misionaris Kristen. Menegakkan Islam dengan jalan kekerasan atau perang, menurut paham pengikut aliran ini, adalah tidak penting bahkan tidak perlu. Sebab menegakkan agama (Islam) dengan perang, hanyalah merupakan jihad atau perang kecil yang dikenal dengan []. Akan tetapi, yang terpenting adalah jihad akbar [] yaitu perang melawan hawa nafsu.
Sifat kemahdian Ahmadiyah tersebut, berlainan dengan sifat kemahdian Syi'ah yang jauh lebih agresif. Pada umumnya, pengikut paham Mahdi Syi'ah mendasarkan paham kemahdiannya pada aqidah raj'ah dengan menunggu-nunggu kehadiran kembali pemimpin mereka yang telah wafat, khususnya dari keturunan mereka yang telah wafat, khususnya dari keturunan Ahlul-Bait. Sedangkan paham Mahdi Ahmadiyah tidak didasarkan pada aqidah raj'ah, karenanya pengikut aliran ini tidak memandang penting silsilah al-Mahdi itu berasal dari keturunan Ahlul-Bait. Menurut paham yang terakhir ini, al-Mahdi itu tidak harus keturunan Ahlul Bait atau dari bangsa Arab, akan tetapi siapa saja yang dikehendaki dan diangkat oleh Tuhan baik dengan jalan wahyu atau ilham. Jika kemahdian Syi'ah selalu dikaitkan dengan masalah keimaman, maka kemahdian Ahmadiyah selalu dihubungkan dengan masalah kenabian, dan kemungkinan masih diturunkannya wahyu sesudah Nabi Muhammad. Persepsi yang demikian ini, apa pun alasan yang mereka ajukan, tetap akan ditolak oleh golongan Islam lainnya, khususnya golongan Sunni.
Dari perbedaan-perbedaan yang prinsip ini, kehadiran aliran Ahmadiyah di tengah-tengah pengikut Sunni, tidak bisa mereka terima pada awal kemunculannya. Bahkan sampai hari ini pun aliran tersebut tidak diakui sebagai kelompok Muslim, oleh Rabitah al-'Alam al-Islami. Untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas, terlebih dahulu perlu diuraikan beberapa masalah yang berkaitan dengan Mahdiisme Ahmadiyah.
A. SEJARAH LAHIRNYA AHMADIYAH
1. LATAR BELAKANG SEJARAH LAHIRNYA AHMADIYAH
Lahirnya aliran Ahmadiyah merupakan serentetan peristiwa sejarah dalam Islam, yang kemunculannya tidak terlepas dari situasi dan kondisi ummat Muslim sendiri pada saat itu.
Sejak kekalahan Turki 'Usmani dalam serangannya ke benteng Wina tahun 1683, pihak Barat mulai bangkit menyerang kerajaan tersebut, dan serangan itu lebih efektif lagi di abad ke-18. Selanjutnya di abad berikutnya bangsa Eropa didorong oleh semangat revolusi industri dan ditunjang oleh berbagai penemuan baru, mereka mampu mencipta senjata-senjata modern. Secara agresif mereka dapat menjarah daerah-daerah Islam di satu pihak, sedangkan di pihak lain ummat Muslim sendiri masih tenggelam dalam kebodohan dan sikap yang apatis dan fatalistis. Akhirnya Inggris dapat merampas India dan Mesir, Perancis dapat menguasai Afrika Utara, sedangkan bangsa Eropa lainnya dapat menjarah daerah-daerah Islam lainnya.
Sesudah India menjadi koloni Inggris, tampaknya sikap ummat Muslim yang masih sangat tradisional dan fatalistis, dengan disertai semangat antipati dan fanatisme keagamaan yang berlebihan dalam menghadapi tradisi Barat, menyebabkan mereka semakin terisolasi. Keadaan kaum Muslimin India ini, semakin buruk terutama sesudah terjadinya pemberontakan Mutiny di tahun 1857.
Sebagai akibat pemberontakan tersebut, pihak Inggris menjadi lebih curiga dan bersikap reaksioner terhadap ummat Islam. Inggris berkeyakinan bahwa ummat Islamlah yang menjadi biang keladi pemberontakan tersebut, dan oleh karena itu harus bertanggung jawab. Selain itu ia pun menuduh ummat Muslim ingin mengembalikan hak-hak kemaharajaan Mughal, disamping itu Inggris menganggap oposisi ummat Muslim adalah karena didorong oleh semangat nasionalisme yang menyala-nyala, sedangkan kaum Hindu tampak dapat menyembunyikannya, sehingga mereka dapat diajak bekerja sama dengan pemerintah Inggris. Dengan demikian, posisi kaum Hindu jauh lebih baik bila dibandingkan dengan posisi ummat Islam.
Sebagaimana diketahui, kaum Hindu dibawah pemerintahan kolonial Inggris, lebih bersikap kooperatif daripada ummat Islam, karena itu sikap nonkooperatif ummat Muslim India saat itu semakin memojokkan posisi mereka serta membawanya kedalam situasi keterasingan di negeri sendiri. Selain itu mereka semakin tenggelam dalam keterbelakangan dan perselisihan dengan sesama Muslim, karena masalah khilafiyyah di satu pihak, dan di pihak lain hubungan diantara mereka terutama yang telah mendapat didikan sistem Barat, semakin jauh jarak yang memisahkannya. Situasi ummat Muslim di India saat itu, boleh jadi tidak jauh berbeda dengan keadaan ummat Muslim Indonesia di zaman pemerintahan kolonial Belanda.
Dalam keadaan demikian, intelektual kaum ulama Islam sebagai digambarkan oleh Maulana Muhammad 'Ali, telah tenggelam sampai ke tingkat yang paling bawah. Sehingga pertarungan antar sesama kelompok Muslim, karena perbedaan paham yang kecil saja telah dipandang sebagai pengabdian terhadap Islam yang paling besar, dan menghukum Muslim lainnya sebagai kafir. Demikianlah situasi ummat Muslim yang melatar belakangi munculnya gerakan Mahdiisme Ahmadiyah. Sebagai yang telah disinggung dimuka, bahwa kemahdian Ahmadiyah berorientasi pada pembaharuan pemikiran. Di sini Mirza Ghulam Ahmad yang mengaku telah diangkat sebagai al-Mahdi dan al-Masih oleh Tuhan, merasa mempunyai tanggung jawab moral untuk memajukan Islam dan ummat Muslim dengan memberi interpretasi baru terhadap ayat-ayat al-Qur-an sesuai dengan tuntutan zamannya, sebagai yang diilhamkan Tuhan kepadanya. Motif Mirza ini tampaknya didorong oleh gencamya serangan kaum misionaris Kristen dan propaganda kaum Hindu terhadap ummat Muslim saat itu.
Dalam hubungan ini, Wilfred Cantwell Smith menggambarkan bahwa Ahmadiyah yang lahir menjelang akhir abad ke-19, ditengah huru-hara runtuhnya masyarakat Islam lama dan infiltrasi budaya dengan sikapnya yang baru, serangan gencar kaum misionaris Kristen (terhadap Islam), dan berdirinya Universitas Aligarh yang baru, maka lahimya Ahmadiyah adalah sebagai protes terhadap keberhasilan kaum misionaris Kristen memperoleh pengikut-pengikut baru. Juga sebagai protes terhadap paham rasionalis dan westernisasi yang dibawa oleh Sayyid Ahmad Khan dengan Aligarh-nya. Disamping itu, di saat yang sama, demikian Smith menambahkan, lahirnya Ahmadiyah juga sebagai protes atas kemerosotan Islam pada umumnya. Sayangnya pembaharuan al-Mahdi Ahmadiyah ini menyentuh keyakinan ummat Muslim yang sangat sensitif, yaitu masih adanya nabi dan wahyu yang diturunkan Tuhan sesudah al-Quran dan sesudah kerasulan Nabi Muhammad. Inilah kiranya yang menyebabkan timbulnya reaksi keras dan permusuhan ummat Muslim terhadap aliran yang baru lahir itu.
2. PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN SEKTE AHMADIYAH
Sejarah berdirinya Ahmadiyah, tidak terlepas dari sejarah Mirza Ghulam Ahmad sendiri sebagai pendiri aliran ini. Ia dilahirkan di Qadian tahun 1835, ayahnya bernama Mina Ghulam Murtada. Menurut riwayat, nenek moyangnya berasal dari Samarkand yang pindah ke India pada tahun 1530, yaitu sewaktu pemerintahan dinasti Mughal, mereka tinggal di Gundaspur, Punjab - India. Di situ mereka membangun kota Qadian. Menurut suatu keterangan, famili Ghulam Murtada masih keturunan Haji Barlas dari dinasti Mughal, dan oleh karenanya didepan nama keturunan keluarga ini terdapat sebutan Mirza.
Tampaknya keluarga Mirza ini, pernah menjadi pembantu setia pemerintah kolonial Inggris di India. Jauh sebelum itu, keluarga tersebut sudah menjalin kerja sama yang erat dengan pimpinan kaum Sikh, Ranjat Singh. Dengan demikian, tidak pelak lagi jika aliran Ahmadiyah bersikap kooperatif dengan pemerintah Inggris. Tentunya sikap kooperatif tersebut, berbeda dengan sikap kooperatif yang dijalankan oleh Sayyid Ahmad Khan, sekalipun keduanya sama-sama mendapat reaksi keras dari ummat Muslim India. Apabila Ahmad Khan menginginkan agar ummat Muslim bisa memperoleh kemajuan dan kesuksesan sebagaimana yang dicapai oleh bangsa Eropa, dengan mendirikan Universitas Aligarh, maka Mirza Ghulam Ahmad dengan Ahmadiyahnya ingin mendapat perlindungan secara politis, sehingga ia bebas menyebarkan ide kemahdiannya dan dapat mempertahankan aliran yang didirikannya.
Disamping itu, pendiri Ahmadiyah juga ingin melestarikan tradisi keluarganya yang telah lama menjalin hubungan mereka dengan pemerintah Inggris, sebagaimana pernyataan Mirza Ghulam Ahmad sendiri:
"Sungguh sejak masa mudaku sampai hari ini, aku dalam usia 60 tahun, aku menjadi orang yang gigih berjuang dengan lisan dan penaku supaya aku dapat memalingkan keikhlasan hati kaum Muslimin kepada pemerintah Inggris karena kebaikannya, dan bersikap lunak kepadanya. Dan aku mengajak mereka, agar mereka menghilangkan pikiran untuk berjihad (terhadap Inggris), dimana pikiran seperti itu masih diikuti oleh sebagian mereka yang bodoh-bodoh, dan pikiran semacam itulah yang mencegah mereka tidak mau patuh kepada pemerintah Inggris."
Demikian pula halnya dengan pernyataan Basyiruddin Mahmud putera Mirza Ghulam Ahmad, yang sewaktu Putera Mahkota Kerajaan Inggris berkunjung ke India, menyatakan:
"Kami atas nama seluruh warga Ahmadiyah mengucapkan Selamat datang atas kunjungan Tuan ke India, dan kami tegaskan kepada Tuan bahwa warga Ahmadiyah adalah setia kepada pemerintah Inggris. Dan insya'allah kesetiaan warga Ahmadiyah ini akan tetap untuk selama-lamanya."
Dalam perjalanan hidupnya, pendiri
aliran ini pernah mendapat pendidikan dasar di kampung sendiri, kemudian
ia meneruskan pelajarannya di kota Batala dekat kota Qadian. Sewaktu
mudanya, ia diasuh sendiri oleh ayahnya dalam mengurus tanah
pertaniannya, kemudian ia menjadi pegawai pada pemerintah Inggris di
Sialkot sejak 1864-1868. Disamping pekerjaan sehari-harinya, sisa waktu
yang ada, ia pergunakan untuk membaca al-Quran. Selama di Sialkot,
demikian Maulana Muhammad 'Ali, ia pernah terlibat dalam suatu
persengketaan dengan kaum misionaris Kristen dan sesudah empat tahun
tinggal disana, ia dipanggil pulang oleh ayahnya untuk bertani. Karena
merasa tidak cocok dengan pekerjaan tersebut, maka sebagian besar
waktunya dipergunakan untuk mempelajari al-Quran. Di saat yang sama, ia
lebih suka menyepi daripada mengejar keduniaan. Kematian ayahnya,
merupakan babak baru dalam sejarah hidupnya, sekarang ia lebih banyak
mencurahkan perhatiannya kepada Islam. Tampaknya ia mulai tertarik pada
pergerakan kaum Hindu, Arya Samaj yang merupakan tantangan baginya serta
mendorongnya untuk menulis beberapa artikel keagamaan, guna menentang
kepercayaan dan pemimpin Hindu dalam berbagai media cetak.
Semangat pembaharuan al-Mahdi Ahmadiyah ini, muncul setelah ia melihat kemunduran Islam dan ummat Muslim di satu pihak,dan gencarnya serangan-serangan kaum Arya Samaj, dan kaum misionaris Kristen terhadap Islam di pihak lain. Karenanya ia merasa terpanggil untuk mengadakan pembaharuan dalam masyarakat. Pada awal kegiatannya, ia diterima oleh masyarakat luas termasuk dari kalangan masyarakat Islam ortodoks. Akan tetapi, sesudah Mirza menyatakan menerima wahyu dan telah diangkat oleh Tuhan sebagai al-Masih dan al-Mahdi, masyarakat berbalik memusuhi dan menghinanya.
Semangat pembaharuan al-Mahdi Ahmadiyah ini, muncul setelah ia melihat kemunduran Islam dan ummat Muslim di satu pihak,dan gencarnya serangan-serangan kaum Arya Samaj, dan kaum misionaris Kristen terhadap Islam di pihak lain. Karenanya ia merasa terpanggil untuk mengadakan pembaharuan dalam masyarakat. Pada awal kegiatannya, ia diterima oleh masyarakat luas termasuk dari kalangan masyarakat Islam ortodoks. Akan tetapi, sesudah Mirza menyatakan menerima wahyu dan telah diangkat oleh Tuhan sebagai al-Masih dan al-Mahdi, masyarakat berbalik memusuhi dan menghinanya.
Bagi kaum Ahmadiyah, Mirza Ghulam Ahmad adalah realitas 'Isa al-Masih dan al-Mahdi yang dijanjikan kemunculannya di akhir zaman. Keyakinan ini mereka jadikan sebagai prinsip akidah dan sekaligus merupakan ciri khas teologi aliran tersebut. Untuk menopang kebenaran keyakinan itu, mereka menggunakan ayat-ayat al-Quran yang berkaitan dengan tanda-tanda hari kiamat, dan mereka tafsirkan sesuai dengan paham mereka. Demikian pula dengan hadis-hadis Nabi, terutama hadis-hadis yang berhubungan dengan turunnya 'Isa al-Masih dan hadis-hadis Mahdiyyah yang relevan dengan prinsip keyakinan diatas, yang mereka tafsirkan dan sesuaikan dengan peristiwa-peristiwa alamiah. Selain itu, untuk memperkuat signifikansi keyakinan tersebut, mereka juga menggunakan ramalan-ramalan yang mereka sebut sebagai ramalan orang suci atau wali.
Sebagai contoh yang cukup menarik dikemukakan di sini, ialah bahwa diantara tanda-tanda kehadiran al-Mahdi adalah terjadinya dua gerhana di bulan Ramadan, dan belum pernah terjadi sejak penciptaan langit dan bumi. Pertama gerhana bulan di malam permulaan bulan Ramadan, dan kedua, gerhana matahari di pertengahan bulan tersebut. Menurut kaum Ahmadiyah, dua peristiwa alamiah yang dinyatakan dalam hadis riwayat al-Daraqutni, benar-benar telah terjadi di daerah Punjab, India, dimana Mirza Ghulam Ahmad dilahirkan. Kejadian gerhana yang aneh ini, menurut pendapat mereka, terjadi pada hari Kamis 13 Ramadan 1311 H/22 Maret 1894 M, sedangkan gerhana matahari terjadi pada hari Jum'at 28 Ramadan 1311 H/6 April 1894 M. Dua peristiwa ini merupakan tanda-tanda alamiah tentang kebenaran pengakuan Mirza sebagai al-Mahdi dan al-Masih. Demikian menurut keyakinan Ahmadiyah. Sebagai pengikutnya, Saleh A. Nahdi mengomentari hadis yang menyatakan: "... Bila kamu melihat di sebelah Timur api berkobar selama tiga atau tujuh hari lamanya, maka harapkanlah kelapangan bagi ummat Muhammad." Api yang berkobar di sebelah Timur diartikan sebagai gunung Krakatau yang meletus tahun 1883. Dengan demikian, kehadiran pendiri aliran ini menurut keyakinan pengikutnya telah diramalkan oleh Rasulullah, kemudian mereka interpretasikan secara rasional dan untuk menguatkan alasan-alasan mereka, dikemukakan pula sebuah hadis riwayat Abu Nu'aim dari Abu Bakr ibn Muqri:
"Al-Mahdi akan muncul dari sebuah kampung bernama Karimah."
Dalam keterangan lain menyebutkan, tempat munculnya al-Mahdi adalah kampung Kadi'ah atau disebut juga dengan nama Kara'ah. Nama-nama tersebut menunjukkan tidak jelasnya tempat di mana al-Mahdi akan muncul, sehingga siapa saja dapat menafsirkannya sesuai dengan keinginannya.
Menurut paham pengikut Ahmadiyah, al-Mahdi yang dimaksud dalam hadis-hadis Mahdiyyah, bukanlah berasal dari Mekkah atau Madinah, akan tetapi dari Persia yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan keturunan Rasulullah. Kalau pun al-Mahdi itu harus dari Ahlul-Bait, maka yang dimaksudkan tidaklah ia mesti mempunyai hubungan darah dengan Nabi, akan tetapi boleh jadi ia seorang yang saleh, taat, dan setia kepada Nabi, seperti yang ditunjukkan oleh Salman al-Farisi sebagai yang diisyaratkan hadis Nabi dalam al-Jami'us-Sagir: "Salman termasuk (keluarga) kami Ahlul-Bait. Walhasil, demikian Maulana Muhammad Sadiq menegaskan, hadis yang menerangkan bahwa Mahdi di akhir zaman itu berasal dari kalangan Ahlul-Bait, hanyalah menyatakan bahwa dia seorang yang sangat setia dan taat kepada Nabi. Sekalipun dia bukan berasal dari keturunan Nabi atau bukan bangsa Arab, tetapi dia seorang yang saleh dan setia kepada Allah dan Rasul-Nya sebagai yang ditunjukkan oleh Mirza, maka menurut paham aliran ini, dialah al-Mahdi yang dijanjikan oleh Nabi. Oleh karena itu, didalam masalah kemahdian, tentunya kaum Ahmadiyah cenderung menolak hadis-hadis Mahdiyyah yang dipegangi oleh kaum Syi'ah.
Pertumbuhan dan perkembangan Ahmadiyah pada dasarnya dapat dibagi dalam tiga fase, yaitu fase kebangkitan, fase perpecahan, dan fase perluasan daerah pengaruhnya.
A. FASE KEBANGKITAN (1880 -1900)
Pada fase ini, Mirza Ghulam Ahmad sebagai pendiri aliran Ahmadiyah, mulai aktif menangkis serangan-serangan kaum propagandis Hindu dan kaum misionaris Kristen terhadap Islam. Disamping itu, ia juga aktif berdakwah dengan mengadakan pembaharuan pemahaman keagamaan di kalangan masyarakat luas. Sudah barang tentu, keyakinan dan ajaran Islam yang didakwahkannya tidak jauh berbeda dengan apa yang dikenal dan diketahui oleh ummat Muslim pada umumnya. Dalam hubungan ini, al-Maududi menjelaskan, bahwa Mirza dalam 1880, pernah menyatakan dirinya sebagai Wali Allah yang paling utama bagi ummat saat itu, sehingga mengundang reaksi yang cukup keras, kemudian ia kembali meredam kemarahan mereka. Ia berusaha menakwilkan pernyataannya itu, agar mereka dapat menerima penjelasannya akan kebenaran apa yang diyakininya itu.
Pada fase ini, Mirza Ghulam Ahmad sebagai pendiri aliran Ahmadiyah, mulai aktif menangkis serangan-serangan kaum propagandis Hindu dan kaum misionaris Kristen terhadap Islam. Disamping itu, ia juga aktif berdakwah dengan mengadakan pembaharuan pemahaman keagamaan di kalangan masyarakat luas. Sudah barang tentu, keyakinan dan ajaran Islam yang didakwahkannya tidak jauh berbeda dengan apa yang dikenal dan diketahui oleh ummat Muslim pada umumnya. Dalam hubungan ini, al-Maududi menjelaskan, bahwa Mirza dalam 1880, pernah menyatakan dirinya sebagai Wali Allah yang paling utama bagi ummat saat itu, sehingga mengundang reaksi yang cukup keras, kemudian ia kembali meredam kemarahan mereka. Ia berusaha menakwilkan pernyataannya itu, agar mereka dapat menerima penjelasannya akan kebenaran apa yang diyakininya itu.
Timbulnya reaksi keras tersebut amatlah mungkin, karena pernyataannya yang dipandang aneh oleh masyarakat yaitu, bahwa untuk membangun suatu ummat yang telah mengalami kemunduran sebagaimana yang ia hadapi waktu itu masih diperlukan wahyu Tuhan (yang baru). Oleh karena itu, ia menyatakan bahwa wahyu itu tidak terbatas dimasa lampau saja, tetapi Tuhan tetap berfirman kepada siapa saja yang dipilih-Nya sampai hari ini. Selain itu, disaat yang sama, ia pun menyatakan bahwa dirinya adalah Mujaddid atau renovator abad ke-14 H, karena ia merasa telah ditunjuk oleh Tuhan untuk mempertahankan Islam.
Di tahun itu pula pernyataan-pernyataannya
yang mengejutkan itu dikumpulkannya sendiri menjadi sebuah buku dan
baru diterbitkan di tahun 1884 yang dikenal dengan Barahin Ahmadiyah.
Dalam buku ini dibicarakan pula tentang kebenaran Islam yang lebih
bersifat apologis terutama berupa tangkisan-tangkisan Mirza Ghulam Ahmad
terhadap serangan-serangan kaum Arya Samaj, Brahmo Samaj, dan kaum
misionaris.
Dalam merealisasikan ide pembaharuannya, Mirza di awal Desember 1888, dengan cara terang-terangan menyatakan dirinya telah mendapat perintah dari Tuhan untuk menerima bai'at dari jamaatnya. Dengan cara ini, rupanya ia ingin menghimpun suatu kekuatan yang dapat menopang misi dan cita-cita kemahdiannya guna menyerukan Islam ke seantero dunia. Menurut keyakinannya, mempertahankan dan mempropagandakan Islam tidak akan berhasil tanpa suatu organisasi yang kuat. Untuk maksud yang terakhir ini, ia memerlukan bai'at atau janji setia dari para pengikutnya. Sesudah diadakan pembai'atan, ia mengorganisasikan mereka menjadi suatu aliran baru dalam Islam dengan nama Jemaat Ahmadiyah.
Nama Ahmadiyah, tampaknya bukan diambil dari nama pendiri aliran ini, akan tetapi menurut Mirza nama tersebut diambil dari salah satu nama-nama Rasulullah, demikian penjelasan Maulana Muhammad 'Ali. Tentunya nama tersebut diambil dari Surah as-Saf: 6, yang isinya memuat informasi Nabi 'Isa kepada Bani Isra'il, bahwa sesudahnya nanti akan datang seorang nabi yang bernama Ahmad. Anehnya, Mirza sendiri kemudian mengklaim nama sebagai yang disebutkan dalam as-Saf: 6 tersebut, adalah dirinya yang diutus oleh Tuhan untuk menunaikan tugas kemahdiannya.
Adapun pernyataan Mirza yang mengejutkan dan sekaligus mengundang reaksi keras adalah sebagai berikut:
"Di antara beberapa pengajaran dan pemahaman yang diberikan kepadaku (oleh Tuhan), ialah bahwa al-Masih ibn Maryam itu telah wafat secara alamiah seperti wafatnya para rasul lain. Dan Tuhan telah memberitahukan kepadaku (dengan firman-Nya);
Dalam merealisasikan ide pembaharuannya, Mirza di awal Desember 1888, dengan cara terang-terangan menyatakan dirinya telah mendapat perintah dari Tuhan untuk menerima bai'at dari jamaatnya. Dengan cara ini, rupanya ia ingin menghimpun suatu kekuatan yang dapat menopang misi dan cita-cita kemahdiannya guna menyerukan Islam ke seantero dunia. Menurut keyakinannya, mempertahankan dan mempropagandakan Islam tidak akan berhasil tanpa suatu organisasi yang kuat. Untuk maksud yang terakhir ini, ia memerlukan bai'at atau janji setia dari para pengikutnya. Sesudah diadakan pembai'atan, ia mengorganisasikan mereka menjadi suatu aliran baru dalam Islam dengan nama Jemaat Ahmadiyah.
Nama Ahmadiyah, tampaknya bukan diambil dari nama pendiri aliran ini, akan tetapi menurut Mirza nama tersebut diambil dari salah satu nama-nama Rasulullah, demikian penjelasan Maulana Muhammad 'Ali. Tentunya nama tersebut diambil dari Surah as-Saf: 6, yang isinya memuat informasi Nabi 'Isa kepada Bani Isra'il, bahwa sesudahnya nanti akan datang seorang nabi yang bernama Ahmad. Anehnya, Mirza sendiri kemudian mengklaim nama sebagai yang disebutkan dalam as-Saf: 6 tersebut, adalah dirinya yang diutus oleh Tuhan untuk menunaikan tugas kemahdiannya.
Adapun pernyataan Mirza yang mengejutkan dan sekaligus mengundang reaksi keras adalah sebagai berikut:
"Di antara beberapa pengajaran dan pemahaman yang diberikan kepadaku (oleh Tuhan), ialah bahwa al-Masih ibn Maryam itu telah wafat secara alamiah seperti wafatnya para rasul lain. Dan Tuhan telah memberitahukan kepadaku (dengan firman-Nya);
"Bahwa al-Masih dan al-Mahdi yang
dijanjikan dan ditunggu-tunggu itu adalah engkau (Mirza) dan Kami
(Allah) melakukan apa yang Kami kehendaki, dan janganlah engkau
tergolong orang-orang yang membuat kedustaan" .
Allah berfirman lagi:
"Sungguh Kami (Allah) menjadikan engkau
sebagai al-Masih ibn Maryam." Maka Allah pun melimpahkan keindahan
rahasia-Nya dan menjadikan aku dapat melihat masalah-masalah yang
sekecil-kecilnya."
Pengakuan sebagai al-Mahdi dan sekaligus merupakan penjelmaan 'Isa al-Masih yang menerima wahyu secara berulang-ulang dan berkesinambungan, demikian Mirza, adalah merupakan pengalaman rohaniah yang menenangkan hatinya. Akan tetapi, justru pengakuan tersebut menggelisahkan ummat Islam, sehingga ia dan para pengikutnya dituduh sebagai pembawa bid'ah dan karenanya mereka dikucilkan dari komunitas Muslim dan bahkan dipandang telah keluar dari Islam.
Dari kenyataan diatas, aliran yang baru lahir ini harus menghadapi gelombang permusuhan yang dahsyat terutama dari intern ummat Muslim sendiri, disamping ia harus menghadapi tantangan dari kaum misionaris Kristen dan para propagandis Hindu. Terpisahnya kaum Ahmadiyah dari komunitas Muslim, mendorong pendiri aliran ini memikirkan nasib para pengikutnya yang dikenal dalam masyarakat sebagai golongan Mirzais atau Qadianis, dan sudah dapat dipastikan bahwa mereka akan menjadi suatu kelompok aliran baru dalam Islam. Nama "Ahmadiyah," oleh Mirza diumumkan penggunaannya secara resmi pada tanggal 4 November 1900, dan sejak itulah nama aliran ini dimasukkan dalam catatan resmi pemerintah kolonial Inggris.
B. FASE MENGHADAPI UJIAN (1900-1908)
Jemaat Ahmadiyah sebagai suatu wadah dan sarana perjuangan untuk mengembangkan ide kemahdian dan mencapai cita-citanya, mulailah para pengikut aliran ini secara terang-terangan di tahun 1900, mendakwahkan Mirza Ghulam Ahmad sebagai "nabi" dan menghormatinya seperti layaknya seorang rasul Tuhan. Dalam hubungan ini al-Maududi menjelaskan bahwa salah seorang propagandisnya, Maulawi 'Abd al-Karim menyatakan dalam khutbah Jumatnya sebagai berikut:
"Ketahuilah olehmu, bahwasanya kamu sekalian jika tidak patuh kepada al-Masihul-Mau'ud (Mirza Ghulam Ahmad) mengenai apa saja yang kalian perselisihkan, dan tidak mengimaninya sebagaimana para sahabat mengimani Rasulullah SAW, maka kalian tergolong orang-orang yang memisahkan diri dari Rasul Allah dan bukan pengikut Ahmadiyah."
Jemaat Ahmadiyah sebagai suatu wadah dan sarana perjuangan untuk mengembangkan ide kemahdian dan mencapai cita-citanya, mulailah para pengikut aliran ini secara terang-terangan di tahun 1900, mendakwahkan Mirza Ghulam Ahmad sebagai "nabi" dan menghormatinya seperti layaknya seorang rasul Tuhan. Dalam hubungan ini al-Maududi menjelaskan bahwa salah seorang propagandisnya, Maulawi 'Abd al-Karim menyatakan dalam khutbah Jumatnya sebagai berikut:
"Ketahuilah olehmu, bahwasanya kamu sekalian jika tidak patuh kepada al-Masihul-Mau'ud (Mirza Ghulam Ahmad) mengenai apa saja yang kalian perselisihkan, dan tidak mengimaninya sebagaimana para sahabat mengimani Rasulullah SAW, maka kalian tergolong orang-orang yang memisahkan diri dari Rasul Allah dan bukan pengikut Ahmadiyah."
Selanjutnya ditambahkan bahwa Mirza membenarkan pernyataan tersebut, namun ia sendiri tidak mengaku sebagai nabi sebagai yang didakwahkan oleh Mubalignya. Sekalipun demikian, tampaknya ia mencoba menjelaskan kepada orang banyak, tentang kenabian yang dimaksudkan oleh juru dakwahnya. Adapun istilah "nabi" yang dimaksud adalah an-Nabiyyun-Naqis atau an-Nabiyyul-Muhaddas. Tampaknya sikap seperti inilah yang menjadi salah satu faktor penyebab terpecahnya aliran ini menjadi dua golongan, sesudah pendirinya wafat.
Dalam perkembangan selanjutnya, terjadilah pergeseran akidah pada diri Mirza Ghulam Ahmad sesudah tahun 1901. Sehubungan dengan masalah ini, al-Maududi menjelaskan bahwa Mirza dalam beberapa tulisannya telah menyatakan kenabian dan kerasulannya dengan menggunakan term tersebut di atas. Selanjutnya dijelaskan bahwa seorang Qadiani bernama Jalalud-Din Syam dalam bukunya Ma'al-Munkirin-Nubuwwah, menerangkan bahwa Mirza sebelum tahun 1901, dalam berbagai tulisannya mengingkari kenabian dirinya dengan mengatakan:
Aku bukan nabi tetapi aku adalah Muhaddas (orang yang diajak berdialog oleh Tuhan). Akan tetapi sesudah tahun itu, Mirza menegaskan bahwa dirinya adalah nabi. Pengakuannya ini dijelaskan pula oleh puteranya, Basyiruddin Mahmud Ahmad, bahwa ayahnya tidak lagi berpegang pada akidahnya semula (sebelum tahun 1901) dan tahun itu adalah merupakan masa pergeseran dari akidahnya yang lama kepada akidahnya yang baru (mengaku sebagai nabi).
Dalam kegiatan dakwahnya di tahun 1904, ia pun mengaku tidak hanya sebagai al-Masih dan al-Mahdi yang dijanjikan, tetapi ia juga mengaku sebagai Krishna. Ia merintis usahanya melalui majalah bulanan berbahasa Inggris seperti Review of Religions from Qadian, sebagai media yang dianggap banyak menarik orang-orang Barat dengan mendapat tantangan melalui berbagai mass media. Memang yang menjadi misi kemahdiannya di berbagai negeri di Barat adalah untuk meluruskan pandangan mereka yang keliru terhadap Islam. Rencananya ini lebih lanjut dikembangkan oleh pengikutnya sesudah ia wafat. Kemudian di tahun 1912 didirikan misi Islam di Inggris, sedangkan di Jerman Barat didirikan pada tahun 1922. Keinginan menyebarkan ide kemahdiannya di Eropa ini, telah ia canangkan dalam karyanya Nurul Haq yang ditulis dua tahun sesudah ia mengaku sebagai al-Masih dan al-Mahdi yang dijanjikan.
Disamping keberhasilan yang dicapai juga tidak ringan tantangan yang dihadapinya dalam mewujudkan ide pembaharuannya, terutama tantangan dari intern ummat Islam. Lahirnya tantangan yang sengit ini adalah disebabkan oleh pembaharuan yang dimajukan Mirza, sangat kontradiktif dengan akidah yang telah dimiliki oleh ummat Islam yaitu masih adanya nabi sesudah Nabi Muhammad SAW. Apapun argumen yang dimajukannya, hal itu sulit dapat diterima oleh mayoritas ummat Islam. Akibat perbedaan yang prinsipal ini, lahirlah permusuhan dan fitnahan, sehingga terjadi saling mengkafirkan antara satu dengan lainnya. Permusuhan ini kemudian diikuti oleh tindakan pemutusan hubungan kekeluargaan antara pengikut Ahmadiyah dengan Muslim lain yang non-Ahmadiyah. Keadaan ini rupanya tidak jauh berbeda dengan peristiwa yang pernah menimpa ummat Islam Indonesia, yaitu antara pengikut Islam Jama'ah dengan mereka yang bukan pengikut Islam Jama'ah. Dalam hubungan ini, Maulana Muhammad 'Ali menggambarkan, bahwa kekerasan dan permusuhan yang dialamatkan kepada aliran yang baru lahir itu, tampaknya mereka tidak mendapat pembelaan dari siapa pun. Mereka dikucilkan melalui fatwa-fatwa Ulama, perkawinan dengan mereka dipandang tidak sah dan barang-barang milik mereka, halal dirampas tanpa dapat dituntut di pengadilan. Akan tetapi, mereka tetap tabah dan berdiri tegar menghadapi ujian yang datang dan golongan Islam, Hindu, dan Kristen itu. Golongan Hindu dipimpin oleh Pandit Lekhram, 'Abdullah Atim dari golongan Kristen, dan Maulana Muhammad Husain dari Batala mewakili golongan 'Ulama Hadis dari kelompok Hanafi, Sunni, dan Syi'ah.
Dalam menghadapi ujian ini Mirza menyatakan:
"Celakalah kaumku! Sungguh mereka tidak mengenalku, mereka mendustakan, mencaci-maki, mengkafirkan, serta melaknatiku sebagai yang dilakukan oleh orang-orang kafir."
Dalam aktivitasnya mempropagandakan tugas kemahdiannya di kalangan kaum Hindu di tahun 1904, ia pun mengatakan, bahwa dia diutus oleh Tuhan, tidak hanya untuk orang Islam dan Kristen, tetapi juga untuk orang-orang Hindu. Disaat itulah Mirza menyatakan dirinya sebagai Krishna. Dengan demikian, sifat kemahdian Ahmadiyah ini tampak jangkauannya lebih luas daripada sifat kemahdian Syi'ah. Sebelum ia wafat di tahun 1905, ia berwasiat pada pengikutnya, agar dibentuk suatu masyarakat yang disebut sebagai Sadar Anjuman Ahmadiyah. Selanjutnya ia pun menunjuk penggantinya yang kemudian diistilahkan sebagai khalifahnya.
Setelah Mirza merasa sudah dekat ajalnya, ia menyerahkan tugas kemahdiannya kepada penggantinya yang masih muda usianya, untuk menyebarkan kebenaran Islam yang telah didakwahkannya, dan dua tahun kemudian, Mirza masih sempat menulis buku seperti Haqiqat al-Wahyi, Barahin Ahmadiyah bagian ke 5, dan Chashmah Ma'rifah dan lain sebagainya. Ia pada akhir April 1908, pergi ke Lahore dan disana ia menyelesaikan bukunya terakhir ini dimaksudkan untuk menjalin hubungan persaudaraan antara orang-orang Hindu dan Islam. Ia menderita sakit diare yang kronis, dan pada 26 Mei 1908, ia menghembuskan nafas terakhir dan jenazahnya dimakamkan di Qadian. Dalam hubungan ini al-Maududi menjelaskan bahwasanya Milza Ghulam Ahmad adalah seorang yang banyak menderita berbagai macam penyakit, sebagaimana yang diceritakan lewat tulisan-tulisan Mirza sendiri dan para pengikutnya.
Dalam kegiatan dakwahnya, aliran Ahmadiyah ini tampaknya cukup mendapat sambutan di kalangan masyarakat Kristen di Barat yang sedang dilanda oleh krisis spiritual di satu pihak, dan di pihak lain masyarakat Barat yang telah memperoleh kemajuan berpikir dan tidak loyal lagi terhadap Gereja, karena ajarannya yang dogmatis dan sulit mereka cerna itu. Hal ini mengingatkan kita pada keberhasilan aliran Baha'i di Eropa dan Amerika Serikat di bawah pimpinan 'Abb-as Afandi yang memfokuskan kegiatan propagandanya di kalangan Kristen dan Yahudi, sesudah aliran ini gagal mempengaruhi ummat Islam.
C. FASE PERPECAHAN DAN PENGEMBANGAN (1908-1924)
Keutuhan dan kesatuan Ahmadiyah, rupanya hanya terbatas pada masa hidup pendirinya, Mirza Ghulam Ahmad, sekalipun aliran ini harus bekerja sesuai dengan wasiatnya yang ada pada Sadr Anjuman Ahmadiyah. Pimpinan Ahmadiyah yang diistilahkan dengan "khalifah" sesudah Mirza wafat, adalah di tangan Maulawi Nuruddin sampai wafatnya tahun 1914. Selama itu Ahmadiyah sebagai gerakan Mahdi telah memperoleh kemajuan pesat dan mulai dikenal di kalangan ummat Islam secara luas. Akan tetapi, bibit perpecahan di kalangan pengikutnya pada saat itu sudah mulai tampak, yaitu munculnya dua pemikiran yang bertolak belakang. Dimana pemikiran pertama berkisar tentang masalah khalifah (pengganti pimpinan), sedangkan pemikiran kedua berkisar pada masalah pengkafiran terhadap sesama Muslim.
Pemikiran pertama, erat hubungannya dengan masalah manajemen pengorganisasian Ahmadiyah sebagai gerakan Mahdi yang memiliki jangkauan luas, baik di kalangan Muslim sendiri maupun non-Muslim. Tampaknya pemikiran ini menjadi salah satu faktor penyebab perpecahan dari dalam. Dan pada pemikiran kedua, tidak hanya berkaitan dengan doktrin Mahdiisme Ahmadiyah saja, akan tetapi juga berhubungan dengan prinsip-prinsip Islam. Pemikiran kedua ini rupanya merupakan sebab utama perpecahan di kalangan Ahmadiyah, terutama sesudah Maulawi Nuruddin wafat. Dalam kaitan ini, Maulana Muhammad 'Ali menjelaskan, bahwa golongan pertama mempertahankan keyakinannya yaitu: Barang siapa yang tidak percaya kepada Mirza Ghulam Ahmad, apakah ia telah mendengar namanya atau tidak, apakah ia (Mirza) sebagai Muslim, atau Mujaddid, atau sebagai al-Masih dan al-Mahdi yang dijanjikan, maka orang itu, dihukumi kafir dan keluar dari Islam, kecuali mereka secara formal telah membai'atnya. Golongan kedua berpendapat, bahwa setiap orang yang telah mengucapkan dua kalimah syahadah, mereka adalah seorang Muslim, sekalipun mereka mengikuti aliran lain dalam Islam, dan tak seorang pun dari mereka keluar dari Islam, kecuali jika ia rnengingkari kerasulan Nabi Muhammad. Adapun masalah kenabian Mirza Ghulam Ahmad, masih tetap merupakan masalah yang dipertentangkan diantara kedua golongan tersebut.
Keutuhan dan kesatuan Ahmadiyah, rupanya hanya terbatas pada masa hidup pendirinya, Mirza Ghulam Ahmad, sekalipun aliran ini harus bekerja sesuai dengan wasiatnya yang ada pada Sadr Anjuman Ahmadiyah. Pimpinan Ahmadiyah yang diistilahkan dengan "khalifah" sesudah Mirza wafat, adalah di tangan Maulawi Nuruddin sampai wafatnya tahun 1914. Selama itu Ahmadiyah sebagai gerakan Mahdi telah memperoleh kemajuan pesat dan mulai dikenal di kalangan ummat Islam secara luas. Akan tetapi, bibit perpecahan di kalangan pengikutnya pada saat itu sudah mulai tampak, yaitu munculnya dua pemikiran yang bertolak belakang. Dimana pemikiran pertama berkisar tentang masalah khalifah (pengganti pimpinan), sedangkan pemikiran kedua berkisar pada masalah pengkafiran terhadap sesama Muslim.
Pemikiran pertama, erat hubungannya dengan masalah manajemen pengorganisasian Ahmadiyah sebagai gerakan Mahdi yang memiliki jangkauan luas, baik di kalangan Muslim sendiri maupun non-Muslim. Tampaknya pemikiran ini menjadi salah satu faktor penyebab perpecahan dari dalam. Dan pada pemikiran kedua, tidak hanya berkaitan dengan doktrin Mahdiisme Ahmadiyah saja, akan tetapi juga berhubungan dengan prinsip-prinsip Islam. Pemikiran kedua ini rupanya merupakan sebab utama perpecahan di kalangan Ahmadiyah, terutama sesudah Maulawi Nuruddin wafat. Dalam kaitan ini, Maulana Muhammad 'Ali menjelaskan, bahwa golongan pertama mempertahankan keyakinannya yaitu: Barang siapa yang tidak percaya kepada Mirza Ghulam Ahmad, apakah ia telah mendengar namanya atau tidak, apakah ia (Mirza) sebagai Muslim, atau Mujaddid, atau sebagai al-Masih dan al-Mahdi yang dijanjikan, maka orang itu, dihukumi kafir dan keluar dari Islam, kecuali mereka secara formal telah membai'atnya. Golongan kedua berpendapat, bahwa setiap orang yang telah mengucapkan dua kalimah syahadah, mereka adalah seorang Muslim, sekalipun mereka mengikuti aliran lain dalam Islam, dan tak seorang pun dari mereka keluar dari Islam, kecuali jika ia rnengingkari kerasulan Nabi Muhammad. Adapun masalah kenabian Mirza Ghulam Ahmad, masih tetap merupakan masalah yang dipertentangkan diantara kedua golongan tersebut.
Sikap para pengikut Mirza ini tampak lebih agresif daripada sikap pendiri aliran tersebut, sebab dia tidak suka mengkafirkan Muslim lain, kecuali kalau dirinya dikafirkan Muslim lain, kecuali kalau dirinya dikafirkan secara terang-terangan, sebagaimana dinyatakan:
"... Maka mereka telah mengkafirkan aku dan mereka telah pula memfatwakan yang demikian itu untuk diriku maka, dengan pengkafiran mereka terhadap diriku, jadilah mereka itu tergolong orang-orang kafir, berdasarkan pada fatwa Nabi Muhammad SAW. Oleh sebab itu, aku tiada mengkafirkan mereka, bahkan mereka sendirilah yang memasukkan diri mereka ke dalam fatwa Rasulullah".
Sejak munculnya dua pendapat yang kontoversial dari intern Ahmadiyah ini, maka secara riilnya di tahun 1914, terpecahlah aliran ini menjadi dua sekte. Pertama adalah sekte Ahmadiya Qadiani, yang dalam ajarannya mencela Muslim lain sebagai kafir, dan sekte ini berkeyakinan bahwa kenabian tetap terbuka sesudah RasuBullah SAW. Sekte ini dipimpin oleh Basyiruddin Mahmud Ahmad. Kelompok ini berpandangan bahwa Mirza Ghulam Ahmad tidak hanya sebagai Mujaddid (pembaharu) saja, tetapi juga sebagai nabi dan rasul yang harus ditaati dan dipatuhi seluruh ajarannya. Dengan demikian, Mahdiisme Ahmadiyah lebih realistis daripada Mahdiisme Syi'ah Isna 'Asyariyyah, sekalipun keduanya masih tetap bertahan sampai hari ini.
Terpilihnya Basyiruddin Mahmud sebagai Khalifah al-Mahdi yang kedua, tampaknya tidak mendapat dukungan penuh dari seluruh Jemaat Ahmadiyah, di saat yang sama, maka muncullah Ahmadiyah tandingan yang disponsori oleh Khawaja Kamaluddin dan Maulawi Muhammad 'Ali yang tidak menyetujui pendirian prinsip golongan pertama yang kemudian dikenal sebagai golongan Qadiani.
Adapun golongan kedua, dikenal sebagai Ahmadiyah Lahore, yang disebut pula dengan Ahmadiyah Anjuman Isha'at Islam, sedangkan di Indonesia, golongan ini dikenal dengan Gerakan Ahmadiyah Indonesia (GAI); Untuk pertama kalinya golongan ini dipimpin oleh Maulawi Muhammad 'Ali. Syafi R. Batuah sebagai pengikut sekte Qadian berpendapat, bahwa lahirnya sekte Ahmadiyah Lahore ini adalah bermula dari kegagalan Maulawi Muhammad 'Ali dalam mencapai ambisinya untuk menjadi Khalifah kedua. Oleh sebab itu, ia dan pengikutnya memisahkan diri dan membentuk sekte baru yang berpusat di Lahore. Akan tetapi, yang menjadi sebab perpecahan itu tampaknya lebih berpusat pada masalah akidah. Sebagai pernyataan R. Batuah sendiri bahwa jika golongan Ahmadiyah Lahore memandang Mirza sebagai al-Masih dan al-Mahdi serta sebagai Mujaddid, maka sekte Qadiani memandangnya, sebagai nabi dan rasul yang harus didengar dan ditaati ajaran-ajarannya. Alasan yang mereka majukan adalah bahwa orang tidak mempercayai al-Masih dan al-Mahdi (Mirza), berarti ia tidak mengikuti seluruh ajaran al-Quran serta tidak mengindahkan pesan Nabi tentang kehadiran al-Mahdi di akhir zaman.
Setelah Ahmadiyah menghadapi perpecahan yang tidak mungkin lagi dihindarkan, akhirnya gerakan Mahdiisme ini terpecah menjadi dua aliran dan tampaknya kedua sekte tersebut sulit dipersatukan kembali. Akan tetapi kedua sekte ini, sangat aktif dan intensif dalam usaha mewujudkan cita-cita kemahdiannya, terutama di kalangan masyarakat Kristen Barat. Pengikut masing-masing sekte mendirikan mesjid-mesjid sebagai pusat kegiatan, menterjemahkan al-Quran berikut dengan komentar-komentarnya kedalam bahasa asing. Selain itu mereka juga menerbitkan buku-buku tentang Islam. Golongan Lahore di bawah pimpinan Maulana Muhammad 'Ali, menerbitkan The Religion of Islam, sedangkan golongan Qadiani dibawah pimpinan Basyiruddin Mahmud, menulis sebuah uraian yang diterjemahkan kedalam bahasa Inggris dengan judul Ahmadiyah or The True Islam, terbit tahun 1924, dan dalam penerbitannya yang terakhir disebut dengan; 8500 Precious Gems from World's Best Literature yang berisi catatan-catatan dari literatur lama dan modern baik dari Islam maupun non-Islam. Demikian pula dimuat masalah-masalah agama dan moral. Dalam tahun 1947 komunitas Ahmadiyah yang berpusat di Qadian, terpaksa harus memindahkan pusat kegiatannya ke Rabwa Pakistan, sewaktu timbul masalah perbatasan antara Pakistan dengan India.
Disamping itu, Gerakan Mahdi Ahmadiyah tampaknya juga aktif mendirikan berbagai lembaga pendidikan serta pusat-pusat kesehatan di berbagai tempat di kawasan Asia dan Afrika. Sebagaimana diketahui, Ahmadiyah masuk ke Indonesia pada tahun 1924, dibawa oleh dua orang mubalignya yaitu Maulana Ahmad dan Mirza Wali Ahmad, mereka memulai kegiatannya di Yogyakarta. Setahun kemudian yaitu tahun 1925, sekte Qadian menyusul, dibawa oleh seorang mubalignya bernama Rahmad 'Ali H.A.O.T. dan mulai mendakwahkan ide kemahdian Mirza, di Tapaktuan, dua tahun kemudian ia pindah ke Padang. Kedua sekte tersebut berlomba untuk menanamkan pengaruhnya, dan rupanya mendapat tanggapan positif dari masyarakat dan mendapat kesuksesan dalam misinya.
B. AJARAN POKOK AHMADIYAH YANG BERHUBUNGAN DENGAN PAHAM MAHDI
1. MASALAH WAHYU
Sebagaimana dalam uraian di atas, kemahdian Ahmadiyah tidak bisa dipisahkan dengan masalah wahyu, sebagaimana kemahdian Syi'ah tidak bisa terlepas dari masalah keimaman. Sebab Mahdi Ahmadiyah, juga mengaku sebagai al-Masih, sedangkan al-Masih sebagai yang diberitahukan dalam hadis sahih, akan turun kembali ke dunia dan dia adalah seorang Nabi yang ditugaskan oleh Tuhan untuk membunuh Dajjal, di akhir zaman. Itulah sebabnya kemahdian Ahmadiyah tidak bisa dipisahkan dengan masalah wahyu, karena wahyu yang disampaikan kepada al-Mahdi adalah untuk menginterpretasikan al-Quran sesuai dengan ide pembaharuannya.
Munculnya paham kewahyuan Ahmadiyah, tidak saja ia membawa pertentangan dan perselisihan di kalangan masyarakat Islam, tetapi juga di kalangan mereka (pengikut) Ahmadiyah sendiri.Menurut paham aliran ini, wahyu Tuhan itu tidak terputus sesudah Rasulullah wafat, dan wahyu yang terhenti itu hanyalah wakyu tasyri'i atau wahyu syari'at. Dalam hubungan ini, seorang propagandis Ahmadiyah dari Sialkot, Nazir Ahmad, menjelaskan bahwa wahyu yang terputus sesudah Rasulullah adalah wahyu tasyri', bukan wahyu mutlaq. Selanjutnya dijelaskan, bahwa yang dimaksud dengan wahyu terakhir ini, tidak dikhususkan hanya untuk para nabi saja, akan tetapi diberikan juga kepada selain mereka. Senada dengan pemahaman di atas, pengikut sekte Lahore mencoba membagi cara-cara Tuhan menyampaikan firman-Nya, sebagaimana yang diungkapkan dalam al-Quran. Cara-cara itu adalah sebagai berikut:
a. Wahyu, yaitu isyarat cepat yang merupakan petunjuk Tuhan yang masuk ke dalam hati seseorang, seperti petunjuk yang diterima oleh ibu Nabi Musa, agar menghanyutkan puteranya, Musa, di sungai Nil. Demikian juga seperti wahyu yang oleh diterima oleh kaum Hawari (murid-murid Nabi 'Isa), atau kaum laki-laki lain. (Lihat S. 28: 7; S. 5: 111; S. 21: 7).
b. Dari belakang hijab atau tirai, yang meliputi: Pertama, dengan ru'yah salihah (mimpi baik), wahyu ini menurut pahamnya, diterima seseorang dalam keadaan setengah sadar. Sebagaimana yang dialami Rasulullah sewaktu mi'raj (Lihat S. 42:51). Kedua, dengan kasysyaf seperti petunjuk Tuhan yang dialami oleh Maryam (ibu Nabi 'Isa) sewaktu berdialog dengan Malaikat Jibril, (Lihat S. 41: 44). Dan ketiga dengan jalan ilham.
c. Mengutus Jibril, wahyu yang disampaikan oleh Jibril ini dikenal dengan wahyu nubuwwah (wahyu kenabian). Wahyu jenis inilah yang telah terhenti, sedangkan jenis wahyu yang lain tetap berlangsung sampai kapan saja.
1. MASALAH WAHYU
Sebagaimana dalam uraian di atas, kemahdian Ahmadiyah tidak bisa dipisahkan dengan masalah wahyu, sebagaimana kemahdian Syi'ah tidak bisa terlepas dari masalah keimaman. Sebab Mahdi Ahmadiyah, juga mengaku sebagai al-Masih, sedangkan al-Masih sebagai yang diberitahukan dalam hadis sahih, akan turun kembali ke dunia dan dia adalah seorang Nabi yang ditugaskan oleh Tuhan untuk membunuh Dajjal, di akhir zaman. Itulah sebabnya kemahdian Ahmadiyah tidak bisa dipisahkan dengan masalah wahyu, karena wahyu yang disampaikan kepada al-Mahdi adalah untuk menginterpretasikan al-Quran sesuai dengan ide pembaharuannya.
Munculnya paham kewahyuan Ahmadiyah, tidak saja ia membawa pertentangan dan perselisihan di kalangan masyarakat Islam, tetapi juga di kalangan mereka (pengikut) Ahmadiyah sendiri.Menurut paham aliran ini, wahyu Tuhan itu tidak terputus sesudah Rasulullah wafat, dan wahyu yang terhenti itu hanyalah wakyu tasyri'i atau wahyu syari'at. Dalam hubungan ini, seorang propagandis Ahmadiyah dari Sialkot, Nazir Ahmad, menjelaskan bahwa wahyu yang terputus sesudah Rasulullah adalah wahyu tasyri', bukan wahyu mutlaq. Selanjutnya dijelaskan, bahwa yang dimaksud dengan wahyu terakhir ini, tidak dikhususkan hanya untuk para nabi saja, akan tetapi diberikan juga kepada selain mereka. Senada dengan pemahaman di atas, pengikut sekte Lahore mencoba membagi cara-cara Tuhan menyampaikan firman-Nya, sebagaimana yang diungkapkan dalam al-Quran. Cara-cara itu adalah sebagai berikut:
a. Wahyu, yaitu isyarat cepat yang merupakan petunjuk Tuhan yang masuk ke dalam hati seseorang, seperti petunjuk yang diterima oleh ibu Nabi Musa, agar menghanyutkan puteranya, Musa, di sungai Nil. Demikian juga seperti wahyu yang oleh diterima oleh kaum Hawari (murid-murid Nabi 'Isa), atau kaum laki-laki lain. (Lihat S. 28: 7; S. 5: 111; S. 21: 7).
b. Dari belakang hijab atau tirai, yang meliputi: Pertama, dengan ru'yah salihah (mimpi baik), wahyu ini menurut pahamnya, diterima seseorang dalam keadaan setengah sadar. Sebagaimana yang dialami Rasulullah sewaktu mi'raj (Lihat S. 42:51). Kedua, dengan kasysyaf seperti petunjuk Tuhan yang dialami oleh Maryam (ibu Nabi 'Isa) sewaktu berdialog dengan Malaikat Jibril, (Lihat S. 41: 44). Dan ketiga dengan jalan ilham.
c. Mengutus Jibril, wahyu yang disampaikan oleh Jibril ini dikenal dengan wahyu nubuwwah (wahyu kenabian). Wahyu jenis inilah yang telah terhenti, sedangkan jenis wahyu yang lain tetap berlangsung sampai kapan saja.
Dari paham kewahyuan di atas, lalu timbullah anggapan bahwa Mirza Ghulam Ahmad yang diangkat Tuhan sebagai al-Masih. atau al-Mahdi, melalui ilham yang diterimanya, dipandang sebagai seorang nabi oleh sekte Qadiani. Dan secara implisit, sekte Lahore pun juga mengakuinya, hanya saja term yang mereka pakai adalah nabi lugawi, bukan nabi haqiqi. Bagi kaum Qadiani, pengakuan mereka terhadap kenabian Mirza tampak lebih tegas, sebab ia diyakini sebagai duplikat Nabi 'Isa a.s., yang berstatus nabi dan menerima wahyu. Disamping itu, berita kehadiran al-Masihjuga disebutkan dalam hadis-hadis sahih, kemudian mereka mencoba menguatkan keyakinan tersebut dengan menggunakan dalil-dalil yang meyakinkan.
Al-Mahdi ini, semula mengakui bahwa petunjuk yang diterimanya dari Tuhan sebagai ilham, kemudian oleh para pengikutnya dinyatakan sebagai wahyu, dan pernyataan seperti itu tidak dibantahnya sama sekali oleh Mirza, malah diakui kebenaran anggapan tersebut. Untuk itu, lalu digunakan term-term baru seperti: wahyu nubuwwah, wakyu tasyri', wahyu gair tasyri', wahyu muhaddas, wahyu walayah dan lain sebagainya. Untuk menguatkan paham kewahyuan di atas, selain mereka menggunakan ayat-ayat al-Quran, juga menggunakan hadis-hadis Nabi seperti:
"Sungguh telah ada orang-orang sebelum kamu, dari kalangan bangsa Israel, yaitu orang-orang yang (dapat) berdialog dengan Tuhan, sekalipun mereka bukan para nabi. Maka jika sekiranya ada salah seorang diantara ummatku (termasuk golongan itu), tentulah 'Umar orangnya." (H.R. Bukhari).
Wahyu-wahyu yang diterima oleh al-Mahdi dari Tuhan, sebagai acuan baginya dalam melaksanakan pembaharuan di tengah-tengah masyarakat Islam yang dipandangnya telah rusak, telah dihimpunnya sendiri menjadi 80 buah kitab lebih, yang kemudian disatukan menjadi sebuah kitab yang disebut Tazkirah yang isi kandungannya adalah merupakan penjelasan maksud al-Quran yang mencakup bidang akidah, ibadah, mu'amalah dan akhlak. Kitab inilah yang dijadikan pedoman oleh jemaat Ahmadiyah dalam melaksanakan ide-ide kemahdian Mirza Ghulam Ahmad. Tentunya, paham kewahyuan Ahmadiyah ini, ditolak keras oleh kaum Sunni karena dianggap telah menyimpang dari prinsip petunjuk tersebut sebagai wahyu, maka ide pembaharuannya akan mudah diterima oleh masyarakat luas dan tidak akan menimbulkan pandangan yang kontradiktif. Selain itu, ajaran Mirza yang menyatakan bahwa 'Isa a.s., benar-benar disalib di tiang salib.
Jika pendiri aliran Ahmadiyah ini tetap berpendirian bahwa petunjuk yang diterima itu adalah ilham, sebagaimana yang ia nyatakan di awal kegiatannya, artinya tidak tenggelam dalam anggapan pengikutnya yang menilai, sekalipun Nabi 'Isa tidak sampai wafat, adalah lebih dekat dengan kepercayaan orang Nasrani daripada pernyataan al-Quran yang menegaskan bahwa Nabi 'Isa tidak disalib sama sekali, akan tetapi yang disalib adalah seorang yang diserupakan dengan 'Isa a.s. Sebagaimana dalam firman Allah:
"... padahal mereka tidak membunuhnya ('Isa) dan tidak menyalibnya, tetapi yang mereka bunuh adalah orang yang diserupakan dengan 'Isa ..." (S. 4: 157).
Oleh karena itu, sangat boleh jadi penemuan Mirza Ghulam Ahmad tentang makam Yus Asaf di Srinagar, Kashmir, yang diyakininya sebagai makam Nabi 'Isa a.s., telah mengilhaminya untuk mengadakan pembaharuan. Dan terutama sekali jika sebelumnya ia harus menghadapi tantangan dari kaum propagandis dan misionaris Hindu dan Nasrani yang gencar menyerang Islam di satu pihak, dan kemunduran ummat Islam di berbagai bidang, di pihak lain. Perlu penulis tambahkan di sini, bahwa pendirian Mirza tentang penyaliban 'Isa a.s., atau Yesus Kristus di atas, sekalipun hal itu berlawanan dengan pernyataan al-Quran tampaknya pendirian ini didasarkan pada ide pembaharuannya. Yaitu keinginannya untuk mempertemukan antara paham Nasrani dengan paham Islam, sehingga dapat menarik pengikut kedua agama tersebut untuk menerima paham kemahdiannya.
2. MASALAH NUBUWWAT ATAU KENABIAN DAN KHATAMUL-ANBIYA'
Dalam masalah kedua ini, terjadi perbedaan yang mendasar antara sekte Lahore dan sekte Qadiani. Bagi Ahmadiyah masalah kenabian ini ada dua versi, yang pertama diistilahkan sebagai Nubuwwah Tasyri'iyyah (kenabian yang membawa Syari'at), dan kedua adalah Nubuwwah Gair Tasyri'iyyah (kenabian tanpa membawa syari'at). Selanjutnya dijelaskan bahwa kenabian versi kedua ini, meliputi Nubuwwah Mustaqillah (kenabian mandiri) dan Nubuwwah Gair Mustaqillah (kenabian yang tidak mandiri). Para nabi yang mandiri, adalah semua nabi yang datang sebelum nabi Muhammad SAW., dimana mereka tidak perlu mengikuti Syari'at nabi sebelumnya. Sedangkan yang dimaksud dengan nabi gair mustaqil (tidak mandiri) yaitu nabi yang mengikuti Syari'at nabi sebelumnya, seperti kenabian Mirza Ghulam Ahmad yang mengikuti syari'at Nabi Muhammad. Dengan demikian, menurut paham Ahmadiyah, hanya nabi-nabi yang membawa syari'at saja yang sudah berakhir, sedangkan nabi-nabi yang tidak membawa syari'at akan tetap berlangsung. Nabi mandiri dalam pandangan sekte Ahmadiyah Lahore, bisa berarti bahwa nabi jenis ini diberi wewenang oleh Tuhan atas dasar petunjuk-Nya, guna menghapus sebagian ajaran nabi sebelumnya yang dipandang tidak sesuai lagi saat itu, atau dengan menambah ajaran baru sehingga syari'at itu menjadi lebih sempurna. Terjadinya perubahan sedikit-sedikit dari nabi-nabi yang datang kemudian, sehingga syari'atnya menjadi lebih sempurna daripada syari'at yang dibawa nabi-nabi sebelumnya, maka jenis kenabian yang seperti itu, mereka istilahkan dengan nabi mustaqil. Oleh karena itu, kata "nabi" mempunyai dua arti, yaitu arti secara lugawi dan arti istilahi, maka golongan Lahore ini berkesimpulan, bahwa nabi yang tidak membawa syari'at disebut nabi lugawi atau nabi majazi, yang pengertiannya ialah seorang yang mendapat berita dari langit atau dari Tuhan. Selanjutnya, nabi yang membawa syari'at, mereka sebut nabi haqiqi, demikianlah paham Lahore.
Bagaimana status kenabian al-Mahdi Ahmadiyah di mata pengikutnya? Dalam masalah ini, pandangan Ahmadiyah Lahore agaknya berbeda dengan pandangan Ahmadiyah Qadian. Sekalipun golongan Lahore secara implisit memandangnya sebagai nabi lugawi atau nabi majazi, namun mereka menolak paham golongan Qadiani secara tegas. Dalam pandangan mereka, al-Mahdi bukanlah nabi haqiqi, dia adalah Mujaddid (pembaharu) abad ke 14 H. Akan tetapi dia mempunyai banyak persamaan dengan nabi dalam hal ia (al-Mahdi) menerima wahyu atau berita samawi (langit). Oleh sebab itu dalam akidah mereka secara tegas menyatakan bahwa percaya kepada Mirza Ghulam Ahmad sebagai al-Mahdi dan al-Masih, bukan termasuk rukun iman, maka orang yang mengingkarinya tidak dapat dikatakan kafir. Selanjutnya mereka juga berpandangan bahwa wahyu yang diterimanya hanyalah wahyu walayah atau wahyu kewalian dan menurut paham mereka, bahwa wahyu macam inilah yang tetap terbuka, agar dengan wahyu tersebut, imam ummat manusia tetap hidup dan segar. Selain itu mereka beralasan bahwa Mirza atau al-Mahdi tidak pernah menyatakan dirinya sebagai nabi hakiki.
Berbeda dengan paham kenabian sekte Qadiani, mereka memandang al-Mahdi al-Ma'hud (yang dijanjikan) sebagai nabi dan rasul yang wajib diyakini dan dipatuhi perintahnya, sebagaimana nabi dan rasul yang lain. Menurut paham sekte ini, seorang Qadiani tidak boleh membeda-bedakan antara nabi yang satu dengan yang lain, sebagaimana yang diajarkan oleh al-Quran dan yang dipesankan Nabi Muhammad SAW., untuk mengikuti al-Mahdi yang dijanjikan. Sekalipun demikian, paham kedua aliran tersebut, terdapat juga persamaannya yaitu mereka sepakat tentang berakhirnya nabi tasyri'i atau nabi mustaqil sesudah Nabi SAW. Dan penggunaan term wahyu selain al-Quran yang diturunkan Allah kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya sesudah Rasulullah wafat.
Adapun paham Mahdi Ahmadiyah mengenai Khatamul Anbiya' atau penutup para nabi, golongan Lahore tampak tidak jauh berbeda dengan paham Sunni. Artinya mereka benar-benar berkeyakinan bahwa Nabi Muhammad adalah penutup sekalian para nabi, baik yang baru maupun nabi yang lama, sebagaimana yang dinyatakan dalam al-Qur-an Surah al-Ahzab: 40.)
"Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi ..."
Dalam hubungan ini, Nabi pun menyatakan dalam sabdanya:
"Dan sesungguhnya akan datang di kalangan ummatku tiga puluh pendusta, semuanya menganggap dirinya sebagai nabi, dan aku adalah penutup para nabi dan tidak ada lagi nabi sesudahku." (H.R. Bukhari)
Penggunaan term nabi lugawi atau nabi majazi oleh golongan Lahore, mungkin sekali dikarenakan oleh pengakuan Mirza (al-Mahdi) sebagai penjelmaan 'Isa al-Masih dan merasa telah berdialog langsung dengan Tuhan atau mukalamah mubasyarah, untuk menerima petunjuk-petunjuk-Nya.
Akan tetapi bagi golongan Qadiani yang meyakini al-Mahdi sebagai nabi yang harus ditaati ajaran-ajarannya, mereka berusaha keras mencari dalil-dalil dan memajukan mereka. Misalnya dengan menginterpretasikan Surah al-Ahzab:40, sesuai dengan paham mereka, maupun dengan menggunakan hadis-hadis Nabi, disamping mereka menggunakan berbagai pendapat 'Ulama' Sunni yang dapat menopang kekuatan hujjah (argumen) mereka.
Menurut paham kaum Qadiani, berita akan datangnya kembali Nabi 'Isa a.s., sebagai yang diriwayatkan dari hadis-hadis sahih adalah jelas. Sekalipun 'Isa tidak membawa syari'at baru, bahkan harus mengikuti syari'at Nabi Muhammad, namun dia (al-Mahdi) tetap sebagai nabi gair mustaqil atau nabi yang tidak mandiri. Oleh sebab itu, kata "Khatam an-Nabiyyin" mereka artikan sebagai nabi yang paling mulia dan paling sempurna dari sekalian para nabi, tapi bukan sebagai penutup para nabi. Selanjutnya mereka mengajukan argumen bahwa kata, [], menurut bahasa Arab, apabila kata [] dirangkai dengan kata berikutnya yang berbentuk jamak adalah mempunyai arti pujian seperti mulia, utama, dan lain sebagainya. Sebagai contoh, mereka mengemukakan sabda Nabi yang ditujukan kepada 'Ali ibn Abi Talib:
"Aku (Muhammad) adalah Khatam (semulia-mulia) para nabi dan engkau 'Ali adalah Khatam (semulia-mulia) para wali."
Dalam hubungan ini, seorang propagandis Ahmadiyah Qadian menyatakan bahwa kata [] dan [], artinya tidak ada nabi lagi sesudah Nabi Muhammad, yang membawa syari'at baru. Dan kalau pun yang datang itu adalah 'Isa a.s., yang sebelumnya sudah menjadi nabi, maka yang demikian ini tidak akan dapat mematahkan pembuktian kami. Oleh karena itu, dua kata tersebut di atas, artinya bukan "akhir para nabi."
Sebagaimana diketahui, kaum Sunni tidak mengenal istilah nabi gair tasyri'i, nabi majazi, nabi lugawi; maupun nabi mustaqil atau gair mustaqil. Karena itu, jika terjadi perbenturan antara paham Sunni dan paham Ahmadiyah yang mengakibatkan pertentangan dan permusuhan yang hebat, di awal kelahiran sekte ini, adalah sesuatu yang sulit dihindarkan. Sekalipun paham Ahmadiyah Lahore tampak lebih moderat daripada golongan Qadiani, rupanya golongan Lahore lebih cenderung berpegang pada sikap Mirza di awal kegiatannya sebagai al-Mahdi yang dijanjikan sebagaimana dalam pernyataannya:
"Dan dengan keperkasaan dan keagungan Allah, sesungguhnya aku adalah mukmin, muslim, dan aku beriman kepada Allah, kitab-kitab, rasul-rasul, dan malaikat-Nya serta hari kebangkitan sesudah kematian. Dan sesungguhnya Rasulullah Muhammad adalah semulia-mulia para utusan dan penutup. Para nabi. Dan sesungguhnya mereka (ummat Islam non-Ahmadiyah) telah membuat kedustaan pada diriku, bahwa orang ini (Mirza) telah mengaku menjadi nabi dan bicara tentang 'Isa ..."
Dari pernyataan tersebut, tampak sikap pendiri aliran Mahdiisme Ahmadiyah tidak senang dirinya dituduh mengaku menjadi nabi. Akan tetapi golongan Qadiani, rupanya lebih berpegang pada sikap Mirza, setelah ia mengalami pergeseran akidah. Sebagaimana pernyataannya yang disalin oleh al-Maududi, dari buku yang ditulis oleh Mirza sendiri yang berjudul Haqiqat al-Wahyu sebagai berikut:
"... Dan sesungguhnya Allah telah menentukan (pilihan-Nya) kepadaku dan tidak ada seorang pun diantara ummat ini memperoleh sebutan 'nabi' dan tidak ada pula seorang pun yang memperoleh nama ini selain aku ..."
Akan tetapi masih ada sesuatu yang cukup menggelitik untuk dipertanyakan, yaitu apabila al-Mahdi ini adalah seorang nabi yang mendapat wahyu Allah atau seorang Wali, dalam menjalankan misi keagamaannya, sebagai yang diyakini oleh kaum Ahmadiyah, mengapa ia sangat hormat dan tunduk kepada pemerintah kolonial Inggris yang kafir? Bahkan bekerja sama untuk menghantam saudara seagama dan memusuhinya. Sikap al-Mahdi yang agresif dan emosional dalam berbagai tulisannya yang disiarkan, menunjukkan sifat dan sikap yang kurang tepat, sama sekali kurang layak dilakukan oleh seorang yang dipandang sebagai wali apalagi sebagai nabi atau rasul. Sedangkan sifat dan sikap 'Isa a.s., Nabi untuk Bani Israil dahulu, sangat santun dan ramah terhadap orang yang beriman. Sebagai misal adalah serangan al-Mahdi Ahmadiyah ini terhadap sesama Muslim yang menolak sarannya, ia mengatakan:
"Setiap orang yang menyalahi (paham)ku, maka dia adalah Nasrani, Yahudi, musyrik (tergolong) penghuni-penghuni neraka. Setiap laki-laki yang tidak mencari dan tidak masuk ke dalam jema'ah yang berbaitat kepadaku dan terus-menerus menentangku, maka dia adalah menentang Allah dan Rasul-Nya, dan dia tergolong penghuni neraka."
Demikian pula halnya dengan pernyataan-pernyataan para pengikutnya yang telah menunjukkan sikap permusuhannya, seperti yang diungkapkan oleh al-Maududi, bahwa kaum Muslimin dari kalangan menengah dan awam, sejak lama menginginkan diisolasikannya kaum Qadiani dari komunitas Muslim, dan menjadikan mereka sebagai kaum minontas non-Muslim sehingga mereka tidak bisa lagi mencaci-maki kaum Muslimin. Senada dengan keinginan tersebut, adalah tuntutan Muhammad Iqbal, dalam sebuah risalahnya yang terkenal, berjudui Islam and Ahmadisme. Demikian al-Maududi.
3. MASALAH JIHAD
Masalah yang ketiga ini, merupakan salah satu model pembaharuan yang dicanangkan oleh al-Mahdi, yang dalam doktrinnya sangat berkaitan dengan misi kemahdiannya. Sebagaimana diketahui, jihad dalam Islam yang dilakukan oleh Nabi SAW. dan para sahabatnya adalah berperang di jalan Allah untuk menghadapi ancaman musuh-musuh Islam dan ummat Islam, sebagai suatu alternatif untuk membela atau mempertahankan diri. Akan tetapi para orientalis Barat menyelewengkan pengertian jihad tersebut, untuk merusak citra Islam. Dua macam jihad dalam Islam dikenal dengan Jihadul-Asgar atau jihad kecil,yaitu berperang melawan musuh. Kedua, Jihadul-Akbar atau jihad paling besar, yaitu berperang melawan hawa nafsu.
Selain dua macam jihad di atas, menurut paham Mahdi Ahmadiyah, masih ada satu lagi jihad yang diistilahkannya dengan Jihadul-Kabir atau jihad besar, seperti: tablig dan dakwah. Jihad besar dan jihad yang paling besar terus berjalan sepanjang masa, sedangkan jihad kecil, memiliki beberapa syarat dan berlakunya secara insidentil.
Dalam hubungan ini, pendiri aliran tersebut menjelaskan bahwa dalam menjalankan tugas-tugas kemahdian serta dalam mencapai tujuan, yaitu menghidupkan ajaran Islam dan mengembangkannya guna meraih kembali kejayaan dan wibawa Islam di seantero dunia. Adapun cara serta jalan yang ditempuh untuk mencapai maksud tersebut, adalah dengan jalan damai, bukan dengan jalan kekerasan atau dengan mengangkat senjata. Cara-cara seperti ini, bagi kaum Ahmadiyah adalah mencontoh cara-cara Nabi 'Isa. Oleh karena itu, berjihad dalam berperang di jalan Allah, untuk mempertahankan Islam bagi kaum Ahmadiyah, sudah tidak diperlukan atau tidak relevan lagi untuk masa-masa sekarang ini. Mereka beralasan bahwa cara tersebut, hanyalah merupakan jihad kecil semata, sedangkan jihad besar dan yang paling besar banyak dilupakan orang. Dan sebagai gantinya -jihad kecil- dapat digunakan media cetak, dengan menerbitkan berbagai karya tulis untuk memahamkan Islam kepada masyarakat non-Muslim. Oleh karena itu, di saat seperti sekarang ini, masyarakat memiliki kebebasan berbicara, beragama, dan Islam pun tidak membenarkan para pengikutnya memaksakan keyakinan atau agamanya pada orang lain. Dalam kaitan ini NazirAhmad menyatakan:
"Sungguh Allah telah mewajibkan kepada ummat Islam suatu kewajiban yang lebih besar daripada berperang, yang karenanya syari'at itu diturunkan, yaitu jihad besar dan yang paling besar ialah mendamaikan jiwa dan mempropagandakan agama serta dakwah di jalan Allah, di tengah-tengah masyarakat dunia."
Adanya pemahaman seperti di atas, pendiri Ahmadiyah menolak berjihad melawan kaum kolonial Inggris di India saat itu sebagaimana ia menyatakan:
"... oleh karena itu, aku menolak jihad. Aku bukan orang yang tertipu oleh pemerintah Inggris, dan sesungguhnya yang benar, adalah bahwa pemerintah Inggris tidak melakukan sesuatu (tindakan) terhadap Islam dan syi'ar agama. Dia pun tidak pula secara terang-terangan menyebarkan agamanya dengan pedang. Perang atas nama agama yang seperti itu, haram dalam tuntunan al-Quran. Demikian pula pemerintah Inggris tidak menyebabkan perang agama."
Kehadiran al-Mahdi ke dunia untuk menyebarkan Islam dengan pedang, dalam pandangan Ahmadiyah adalah sangat keliru, bahkan harus diberantas. Sebab cara demikian tidak cocok dengan nama Islam itu sendiri, sebagai agama perdamaian. Islam tidak pernah menggunakan kekerasan dan paksaan untuk mendapatkan kemenangan spiritualnya. Dan oleh karena itu, Mirza (al-Mahdi) merasa telah menerima keterangan dari Tuhan, bahwa kehadiran al-Mahdi yang menghunus pedang untuk memerangi kaum kafir dan memaksa mereka masuk Islam, sama sekali tidak pernah disebutkan dalam wahyu yang diterimanya. Pembaharuan tentang makna jihad dalam misi kemahdian Mirza, tampaknya justru menambah keyakinan Muslim non-Ahmadiyah, bahwa kaum Qadiani telah menjadi alat pemerintah Inggris untuk memecah-belah kesatuan ummat Islam. Oleh karena itu, pemerintah Inggris di India tetap memberi hak hidup sekte ini untuk berkiprah dan memberikan jaminan keamanan mereka.
Akhirnya tiga persoalan -masalah kewahyuan, kenabian, dan masalah jihad- di atas, disamping ia merupakan identitas misi Mahdiisme Ahmadiyah, juga merupakan salah satu faktor timbulnya perselisihan dan permusuhan yang hebat antar sesama ummat Islam. Sehingga tidak mustahil dampak negatif ini dimanfaatkan oleh Pemerintah Inggris untuk mengokohkan kekuasaannya di India.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar