بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ,
Sebagian orang kadang memahami apa yang
dimaksud dengan bid'ah. Mereka menganggap bahwa bid'ah adalah setiap
perkara baru. Sehingga karena saking tidak suka dengan orang yang
meneriakkan bid'ah, ia pun mengatakan, "Kalau memang hal itu bid'ah,
kamu tidak boleh pakai HP, tidak boleh haji dengan naik pesawat, tidak
boleh pakai komputer, dst karena semua itu baru dan bid'ah adalah suatu
yang baru dan dibuat-buat". Padahal sebenarnya hal-hal tadi
bukanlah bid'ah yang tercela dalam Islam karena bid'ah yang tercela
adalah bid'ah dalam masalah agama. Begitu juga ada yang tidak setuju
dengan nasehat bid'ah, ia menyampaikan bahwa para sahabat dahulu
mengumpulkan Al Qur'an dan di masa 'Umar dihidupkan shalat tarawih
secara berjama'ah. Syubhat-syubhat yang muncul ini karena tidak memahami
hakekat bid'ah.
Untuk lebih jelas dalam memahami bid'ah, kita
seharusnya memahami tiga syarat disebut bid'ah yang disimpulkan dari
dalil-dalil berikut ini.
Pertama: Hadits Al ‘Irbadh bin Sariyah radhiyallahu ‘anhu, dalam hadits tersebut disebutkan sabda Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam,
وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Hati-hatilah dengan perkara yang
diada-adakan karena setiap perkara yang diada-adakan adalah bid’ah dan
setiap bid’ah adalah sesat.”[1]
Kedua: Hadits Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu, dalam hadits tersebut Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَمَّا
بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَخَيْرُ الْهُدَى
هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ
ضَلاَلَةٌ
“Amma ba’du. Sesungguhnya
sebaik-baik perkataan adalah kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah
petunjuk Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sejelek-jelek perkara
adalah yang diada-adakan (bid’ah) dan setiap bid’ah adalah sesat.”[2]
Dalam riwayat An Nasa’i dikatakan,
وَكُلَّ ضَلاَلَةٍ فِى النَّارِ
“Setiap kesesatan tempatnya di neraka.”[3]
Ketiga: Hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam agama kami ini yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak.”[4]
Keempat: Dalam riwayat lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa melakukan suatu amalan yang bukan ajaran kami, maka amalan tersebut tertolak.”[5]
Dari hadits-hadits tersebut dapat disimpulkan apa yang dimaksud bid’ah yang terlarang dalam agama, yaitu:
- Sesuatu yang baru (dibuat-buat).
- Sesuatu yang baru dalam agama.
- Tidak disandarkan pada dalil syar’i.
Pertama: Sesuatu yang baru (dibuat-buat).
Syarat pertama ini diambil dari sabda Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَنْ أَحْدَثَ
“Siapa yang berbuat sesuatu yang baru.”
كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ
“Setiap yang baru adalah bid’ah.”
Sehingga masuk dalam definisi adalah
segala sesuatu yang baru yang tidak ada contoh sebelumnya baik berkaitan
dengan urusan agama maupun dunia, baik sesuatu yang terpuji (mahmudah) maupun yang tercela (madzmuma).
Sehingga perkara yang sudah ada sebelumnya yang tidak dibuat-buat tidak
termasuk bid’ah seperti shalat lima waktu dan puasa Ramadhan. Perkara
dunia juga termasuk dalam definisi pertama ini, namun akan semakin jelas
jika kita menambah pada syarat kedua.
Kedua: Sesuatu yang baru dalam agama.
Karena dalam hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan,
فِى أَمْرِنَا هَذَا
“Dalam urusan agama kami.”
Sehingga perkara dunia tidak termasuk dalam hal ini. Yang dimaksudkan
bid’ah dalam urusan agama berarti: (1) bid’ah mendekatkan diri pada
Allah dengan sesuatu yang tidak disyari’atkan, (2) bid’ah telah keluar
dari aturan Islam, dan (3) sesuatu dilarang karena dapat mengantarkan
pada bid’ah lainnya.
Ketiga: Tidak disandarkan pada dalil syar’i yang bersifat umum maupun khusus.
Hal ini diambil dari sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَا لَيْسَ مِنْهُ
“Tidak asalnya (dalilnya) dalam Islam.”
Ini berarti jika sesuatu memiliki landasan dalam Islam berupa dalil yang sifatnya umum
seperti dalam permasalahan ‘maslahah mursalah’, contoh mengumpulkan Al
Qur’an di masa sahabat, maka tidak termasuk bid’ah. Begitu pula jika ada
sesuatu yang mendukung dengan dalil yang sifatnya khusus seperti menghidupkan kembali shalat tarawih secara berjama’ah di masa ‘Umar bin Khottob tidak termasuk bid’ah.
Tiga syarat di atas telah kita temukan pula dalam perkataan para ulama berikut.
Ibnu Rajab Al Hambali rahimahullah berkata,
فكلُّ
من أحدث شيئاً ، ونسبه إلى الدِّين ، ولم يكن له أصلٌ من الدِّين يرجع
إليه ، فهو ضلالةٌ ، والدِّينُ بريءٌ منه ، وسواءٌ في ذلك مسائلُ
الاعتقادات ، أو الأعمال ، أو الأقوال الظاهرة والباطنة .
“Setiap yang dibuat-buat lalu
disandarkan pada agama dan tidak memiliki dasar dalam Islam, itu
termasuk kesesatan. Islam berlepas diri dari ajaran seperti itu termasuk
dalam hal i’tiqod (keyakinan), amalan, perkataan yang lahir dan
batin.”[6]
Beliau rahimahullah juga berkata,
والمراد
بالبدعة : ما أُحْدِثَ ممَّا لا أصل له في الشريعة يدلُّ عليه ، فأمَّا ما
كان له أصلٌ مِنَ الشَّرع يدلُّ عليه ، فليس ببدعةٍ شرعاً ، وإنْ كان
بدعةً لغةً
“Yang dimaksud dengan bid’ah adalah
sesuatu yang baru yang tidak memiliki landasan (dalil) dalam syari’at
sebagai pendukung. Adapun jika didukung oleh dalil syar’i, maka itu
bukanlah bid’ah menurut istilah syar’i, namun bid’ah secara bahasa.”[7]
Ibnu Hajar Al Asqolani Asy Syafi’i rahimahullah berkata,
والمراد بقوله كل بدعة ضلالة ما أحدث ولا دليل له من الشرع بطريق خاص ولا عام
“Yang dimaksud setiap bid’ah adalah
sesat yaitu setiap amalan yang dibuat-buat dan tidak ada dalil pendukung
baik dalil khusus atau umum.”[8]
Ibnu Hajar juga menyatakan mengenai bid’ah,
مَنْ اِخْتَرَعَ فِي الدِّين مَا لَا يَشْهَد لَهُ أَصْل مِنْ أُصُوله فَلَا يُلْتَفَت إِلَيْهِ
“Siapa yang membuat-buat perkara baru dalam agama lalu tidak didukung oleh dalil, maka ia tidak perlu ditoleh.”[9]
Di tempat lain, Ibnu Hajar berkata,
وَمَا
كَانَ لَهُ أَصْل يَدُلّ عَلَيْهِ الشَّرْع فَلَيْسَ بِبِدْعَةٍ ،
فَالْبِدْعَة فِي عُرْف الشَّرْع مَذْمُومَة بِخِلَافِ اللُّغَة فَإِنَّ
كُلّ شَيْء أُحْدِث عَلَى غَيْر مِثَال يُسَمَّى بِدْعَة سَوَاء كَانَ
مَحْمُودًا أَوْ مَذْمُومًا
“Sesuatu yang memiliki landasan dalil
dalam syari’at, maka itu bukanlah bid’ah. Maka bid’ah menurut istilah
syari’at adalah tercela berbeda dengan pengertian bahasa karena bid’ah
secara bahasa adalah segala sesuatu yang dibuat-buat tanpa ada contoh
sebelumnya baik terpuji maupun tercela.”[10]
Setelah memahami yang dikemukakan di atas, pengertian bid’ah secara ringkas adalah,
ما أحدث في الدين من غير دليل
“Sesuatu yang baru (dibuat-buat) dalam masalah agama tanpa adanya dalil.”[11] Inilah yang dimaksud dengan bid’ah yang tercela dan dicela oleh Islam.
----------------------------
[1] HR. Abu Daud no. 4607 dan Tirmidzi no. 2676. Syaikh Al Albani mengatakan hadits ini shahih.
[2] HR. Muslim no. 867
[3] HR. An Nasa’i no. 1578. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.
[4] HR. Bukhari no. 20 dan Muslim no. 1718
[5] HR. Muslim no. 1718.
[6] Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, 2: 128.
[7] Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, 2: 127.
[8] Fathul Bari, 13: 254.
[9] Fathul Bari, 5: 302.
[10] Fathul Bari, 13: 253.
[11] Lihat Qowa’id Ma’rifatil Bida’, hal. 22. Pembahasan pada point
ini juga diringkas dari Qowa’id Ma’rifatil Bida’, hal. 17-22.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar