Artikel Terkini

24 Desember 2011

Tiga Pendekatan dalam Memahami Agama

A. Pendekatan Teologis Normatif

Pendekatan teologis normatif dalam memahami agama, ialah upaya memahami agama dengan menggunakan kerangka ilmu ketuhanan yang bertolak dari suatu keyakinan bahwa wujud empirik dari suatu keagamaan dianggap sebagai yang paling benar bila dibandingkan dengan yang lainnya. Model pendekatan ini, oleh Muh. Natsir Mahmud, disebut sebagai pendekatan teologis-apologis. Sebab cenderung mengklaim diri sebagai yang paling benar, dan memandang yang berada di luar dirinya sebagai sesuatu yang salah, atau minimal keliru.

Menurut Amin Abdullah, teologi tidak bisa tidak, pasti mengacu pada agama tertentu. Loyalitas terhadap kelompok sendiri, komitmen dan dedikasi yang tinggi serta penggunaan bahasa yang bersifat subjektif, yakni bahasa sebagai pelaku, bukan sebagai pengamat adalah merupakan ciri yang melekat pada bentuk pemikiran teologis.

Dari pemikiran tersebut di atas, dapat diketahui bahwa pendekatan teologis normatif dalam pemahaman keagamaan adalah pendekatan yang menekankan pada bentuk forma atau simbol-simbol keagamaan yang masing-masing dari bentuk forma simbol-simbol keagamaan tersebut mengklaim dirinya sebagai yang paling benar, sedangkan yang lainnya salah. Aliran teologi yang satu begitu yakin dan fanatik bahwa pahamnyalah yang benar, sedangkan faham lainnya adalah salah, sehingga memandang bahwa paham orang lain itu keliru, sesat, kafir, murtad dan seterusnya. Demikian pula paham yang dituduh keliru, sesat dan kafir itupun menuduh kepada pihak lain sebagai yang sesat dan kafir. Dalam keadaan demikian, maka terjadilah proses saling mengkafirkan, salah menyalahkan dan seterusnya. Dengan demikian antara satu aliran dengan aliran yang lainnya tidak terbuka dialog atau saling menghargai. Yang ada hanyalah ketertutupan, sehingga yang terjadi adalah pemisahan dan pengkotak-kotakan.



Penelitian terhadap agama tertentu dengan menggunakan pendekatan teologi normatif banyak ditemukan dalam karya-karya orientalis Kristen, yang cenderung mendiskreditkan Islam. Mc.Donal umpamanya, seperti yang dikutip oleh M. Natsir Mahmud mengatakan bahwa Islam pada mulanya adalah ajaran Kristen yang diselewengkan oleh keadaan patologis (penyakit jiwa) Muhammad, Islam menurutnya adalah bagian pemikiran ketimuran. Karakteristik pemikiran ketimuran menurutnya, ada dua :

1. Menghargai fakta dan diikuti oleh fantasi yang bebas, tetapi di sisi lain terkungkung.
2. Tidak menghargai kebebasan berpikir dan kebebasan intelektual.

Contoh tersebut hanyalah contoh kecil dari sederetan pandangan subjektif Islamolog Kristen dalam memandang Islam. Pandangan seperti itu, didasarkan pada pandangan subjektivitas tentang kebenaran agama tertentu yang dianutnya.

Amin Abdullah, dalam hal ini mengomentari bahwa pendekatan teologi semata-mata tidak dapat memecahkan esensial pluralitas agama dewasa ini. Terlebih-lebih lagi kenyataan demikian harus ditambahkan bahwa doktrin teologi pada dasarnya tidak pernah berdiri sendiri, terlepas dari jaringan institusi atau kelembagaan sosial kemasyarakatan yang mendukung keberadaannya. Kepentingan ekonomi, sosial, politik, pertahanan selalu menyertai pemikiran teologis yang sudah mengelompok dan mengkristal dalam suatu komunitas masyarakat tertentu.

Uraian di atas bukan berarti bahwa pendekatan teologis normatif dalam memahami agama hampir tidak dibutuhkan. Proses pelembagaan perilaku keagamaan melalui mazhab-mazhab sebagaimana halnya yang terdapat dalam teologi, jelas diperlukan, yang antara lain berfungsi untuk mengawetkan ajaran agama dan juga berfungsi sebagai pembentukan karakter pemeluknya dalam rangka membangun masyarakat ideal menurut pesan dasar agama.

Jadi pendekatan teologis normatif dalam agama adalah melihat agama sebagai suatu kebenaran yang mutlak dari Tuhan, tidak ada kekurangan sedikit pun dan nampak bersifat ideal. Dalam kaitan ini, agama tampil sangat prima dengan seperangkat cirinya yang khas.

Untuk agama Islam misalnya, secara normatif pasti benar, menjunjung nilai-nilai luhur. Untuk bidang sosial, agama tampil menawarkan nilai-nilai kemanusiaan, kebersamaan, kesetiakawanan, tolong-menolong, tenggang rasa, persamaan derajat dan sebagainya. Untuk bidang ekonomi, agama tampil menawarkan keadilan, kebersamaan, kejujuran dan saling menguntungkan. Demikianlah agama tampil sangat ideal dan ada yang dibangun berdasarkan dalil-dalil yang terdapat dalam ajaran agama yang bersangkutan.

B. Pendekatan Teologis–Dialogis

Pendekatan teologis–dialogis seperti yang telah dijelaskan ialah mengkaji agama tertentu dengan mempergunakan perspektif agama lain. Model pendekatan ini, banyak digunakan oleh orientalis dalam mengkaji Islam.

Seorang Islamolog Barat, Hans Kung, seperti yang disinyalir oleh M. Natsir Mahmud, dalam berbagai tulisannya dalam pengkajian Islam menggunakan pendekatan teologis-dialogis, yakni bertolak dari perspektif teologi Kristen. Kung menyajikan pandangan-pandangan teologi Kristen dalam melihat eksistensi Islam, mulai dari pandangan teologis yang intern sampai pandangan yang toleran, yang saling mengakui eksistensi agama masing-masing agama.

Dalam melengkapi komentarnya, pertanyaan teologis yang diajukan Kung adalah, bahwa apakah Islam merupakan jalan keselamatan ? pertanyaan ini menjadi titik tolak untuk melihat apakah Islam sebuah agama yang menyelematkan penganutnya bila dilihat dari teologi Kristen. Kung mengemukakan pandangan beberapa teolog Kristen, misalnya, Origan, yang mengeluarkan pernyataan yang terkenal dengan Ekstra Gelesiam Nulla Sulus, artinya tidak ada keselamatan di luar gereja.

Selain itu, pendekatan teologis dialogis juga digunakan oleh W. Montgomery Watt. Hakikat dialog menurut Watt, sebagai upaya untuk saling mengubah pandangan antar penganut agama dan saling terbuka dalam belajar satu sama lain. Dalam hal ini Watt bermaksud menghilangkan sikap merendahkan agama seseorang oleh penganut agama yang lain serta menghilangkan ajaran yang bersifar apologis dari masing-masing agama.

C.W. Trell mengomentari penjelasan Watt tersebut dalam tiga hal: (1) masing-masing penganut agama saling mengakui bahwa mereka adalah pengikut Tuhan yang beriman, (2) sebagai konsekwensi dari yang pertama, perlu merevisi doktrin masing-masing agama untuk dapat membawa pada keimanan kepada Tuhan secara damai, (3) melakukan kritik-kritik yang menghasilkan visi baru. Watt dalam hal ini berusaha melakukan reinterpretasi terhadap ajaran agama yang mengandung nada apologis terhadap agama lain.

C. Pendekatan Teologis-Konvergensi


Berdasarkan pengertian yang telah dikemukakan terdahulu bahwa "pendekatan teologi konvergensi" adalah merupakan metode pendekatan terhadap agama dengan melihat unsur-unsur persamaan dari masing-masing agama atau aliran. Maksudnya dari pendekatan ini ialah ingin mempersatukan unsur-unsur esensial dalam agama-agama, sehingga tidak nampak perbedaan yang esensial. Dalam kondisi demikian, agama dan penganutnya dapat disatukan dalam satu konsep teologi universal dan umatnya disatukan sebagai satu umat beragama.

Dalam hal pendekatan teologi konvergensi ini, Wilfred Contwell Smith sebagai penganut pendekatan ini menghendaki agar penganut agama-agama dapat menyatu, bukan hanya dalam dunia praktis tetapi juga dalam pandangan teologis. Sehubungan dengan hal tersebut, Smith mencoba membuat pertanyaan di mana letak titik temu keyakinan agama-agama itu untuk mencapai sebuah konvergensi agama ?. Dalam hal ini Smith terlebih dahulu membedakan antara faith (iman) dengan belief (kepercayaan). Di dalam faith agama-agama dapat disatukan, sedang dalam belief tidak dapat menyatu. Belief seringkali normatif dan intoleran. Belief bersifat histotik yang mungkin secara konseptual berbeda dari satu generasi ke generasi yang lain. Dari masalah belief itulah penganut agama berbeda-beda, dan dari perbedaan itu akan menghasilkan konflik. Sebaliknya dalam faith umat beragama dapat menyatu. Jadi orang bisa berbeda dalam kepercayaan (belief), tetapi menyatu dalam faith. Sebagai contoh, dalam masyarakat Islam terdapat berbagai aliran teologis maupun aliran fiqih. Mereka mungkin penganut aliran al-Asy'ariyah atau Mu'tazilah atau pengikut Imam Syafi'i atau Imam Hambal. Belief mereka berbeda yang mungkin menimbulkan sikap keagamaan yang berbeda, tetapi mereka tetap satu dalam faith (iman). Demikian pula antara penganut agama, mereka berbeda dalam belief dan respon keagamaan yang berbeda, tetapi hakikatnya menyatu dalam faith.

Dari ketiga metode pendekatan teologis tersebut di atas, maka yang paling akurat dipergunakan menurut analisa penulis adalah pendekatan teologis konvergensi, di mana pendekatan ini telah tercakup di dalamnya nilai-nilai normatif dan dialogis. Lain halnya hanya dengan menggunakan metode pendekatan normatif atau dialogis saja, belum tentu terdapat unsur konvergensi di dalamnya.

D. Kesimpulan

Agama sebagai objek kajian dapat didekati dengan mempergunakan berbagai pendekatan. Pendekatan teologi dalam memandang suatu agama atau ajaran terkadang masih sulit untuk mewujudkan objektivitas, sebab sering seorang peneliti dalam melakukan penelitian, diwarnai dengan pola pikir berdasarkan doktrin yang dianutnya. Kecenderungan seperti itu, cenderung melahirkan hasil penelitian yang bersifat apologis dan menutup mata terhadap kemungkinan adanya kebenaran ajaran-ajaran di luar yang dianutnya.

Namun dalam penelitian agama, ditemukan bahwa peneliti dalam mengadakan penelitian, tidak hanya mempergunakan pendekatan teologi normatif. Akan tetapi ditemukan adanya pengkajian terhadap agama-agama atau aliran-aliran yang berupaya melihat agama atau ajaran yang ditelitinya dengan mempergunakan perspektif agama atau aliran lain. Model pendekatan seperti ini, kadang cenderung bersikap diskriminatif dan saling menyalahkan satu sama lain.

Di samping itu, ada yang tampil dengan berupaya menetralisir kedua model pendekatan terdahulu, dengan berupaya melihat adanya kemungkinan kebenaran pada agama-agama atau aliran-aliran lain. Pendekatan tersebut dikenal dengan pendekatan teologi konvergensi, yaitu berusaha memadukan dan menemukan titik temu dari setiap agama atau ajaran. Hal tersebut karena mempunyai asumsi bahwa pada hakikatnya semua agama atau aliran adalah sama, yang mempunyai nilai-nilai kebenaran.

Ketiga model pendekatan teologis tersebut masing-masing mempunyai keistimewaan. Olehnya itu, dalam mengadakan penelitian, ketiga pendekatan tersebut dapat dipergunakan secara integratif, agar di satu sisi dapat mempertahankan normatifitas Islam, dan di sisi lain dapat menatap agama-agama seobjektif mungkin.


***

Tidak ada komentar:


arsitekartikelblog directoryindonesian palm oilpalm oil investment

KOMENTAR MY DIARY BLOG

http://cam-chat.cbox.ws/