Artikel Terkini

24 Desember 2011

Jual Beli Kredit dalam Perspektif Hukum Islam

Source     :  Mushlihin al-Hafizh.
URL /Web : Jual Beli Kredit Dalam Perspektif Hukum Islam
Migrate to : http://www.referensimakalah.com
---------------------------------------------------

Istilah jual beli kredit dalam kajian disiplin ilmu fikih, agaknya tidak pernah menempati posisi pembahasan yang mandiri, komprehensif dan integral. Oleh karena itu, wajar jika dalam berbagai literatur tak satu pun yang mengungkapkan pengertian istilah tersebut secara terminologi.
Meski demikian, Admin menganggap penting untuk mengemukakan pengertian istilah ini, baik dari satu sisi literal maupun dalam konteks peristilahan fikih, tentu saja sebatas kemampuan penulis. Hal ini diharapkan menjadi wacana awal dalam memahami persoalan yang tengah kita bahas.

Jual beli kredit dengan tambahan harga yang dalam istilah fikih dikenal dengan nama البيع لأجل مع زيادة الثمن او البيع بالتقسيط
Kata al-bai’  adalah masdar dari kata kerja باع، يبيع، بيعا، ومبيعا yang berarti lawan dari membeli atau menyerahkan barang dan menerima harganya. Secara etimologi al-bai’ berarti menjual dan membeli.
Defenisi al-bai’ secara terminologi sebagaimana dikemukakan oleh Sayyid Sabiq adalah :
يراد البع شرعا مبادلة مال بمال على سبيل الترضى او نقل ملك بعوض على الوجه الماذون فيه
“Yang dimaksud dengan jual beli menurut syara’ adalah saling menukar harta dengan harta secara suka sama suka, atau pemindahan hak milik dengan adanya penggantian menurut cara yang dibolehkan”.
Selanjutnya, Wahbah al-Zuhaili memberikan pengertian bahwa yang dimaksud dengan jual beli disini adalah suatu akad (transaksi) yang terdiri dari ijab qabul”.
Dari defenisi di atas, dapat dikemukakan beberapa hal tentang jual beli:
  1. Jual beli adalah satu bagian muamalah berbentuk transaksi. 
  2. Jual beli tersebut diwujudkan dengan ijab qabul. 
  3. Jual beli yang dilaksanakan tersebut bertujuan atau dengan motif mencari keuntungan.
Sedangkan pengertian kredit adalah sesuatu yang dibayar secara berangsur-angsur, baik itu jual beli maupun dalam pinjam meminjam.
Adapun yang dimaksud dengan baiy’ al-ajal adalah jual beli dengan pembayaran tidak tunai. Pembayarannya mungkin diangsur, mungkin sekaligus setelah tenggang waktu habis, atau mungkin pula ada uang muka. Jadi dapat dipahami bahwa jual beli al-ajal merupakan transaksi yang berlangsung dimana tidak serentaknya akad dengan pemberian harga atau penyerahan barang, dan tentunya atas kesepakatan bersama.
Adapun pengertian Taqsith secara bahasa adalah membagi-bagi sesuatu dan memisah-misahkannya menjadi beberapa bagian yang terpisah.
Sedangkan menurut istilah (terminologi) Bai’ bi-Taqsith telah menjual sesuatu dengan pembayaran yang diangsur dengan cicilan tertentu, pada waktu tertentu dan lebih mahal daripada pembayaran kontan.
Muhammad Aqlah Ibrahim berpendapat bahwa, ada beberapa pedoman yang dapat dijadikan pegangan dalam memahami maksud bai’ bit taqsith secara syar’i. Pertama, seorang pedagang menjual barang dagangannya secara muajjalah-kredit-dengan ketentua harga lebih tinggi daripada secara tunai. Kedua, taqsith ialah membayar hutang dengan berangsur-angsur pada waktu yang telah ditentukan. Ketiga, pembayaran yang diangsur ialah sesuatu yang pembayarannya dipersyaratkan diangsur dengan cicilan tertentu pada waktu tertentu pula.
Pendapat Ulama tentang Jual Beli Kredit dengan Tambahan Harga
Jual beli secara kredit dengan tambahan harga belum menyebar dan belum begitu dikenal oleh masyarakat zaman dulu, tetapi menyebar dan mendunia hingga menjadi semacam wabah penyakit yang menimpa penduduk dunia pada kurun waktu berikutnya. Oleh karena itu, cukup masuk akal jika kita tidak mendapatkan pembahasannya dalam kitab-kitab fikih dan tidak pula dalam kitab-kitab hadis yang disusun berdasarkan pembahasan dalam fikih.
Dalam masyarakat modern sekarang ini, pembelian barang secara kredit akhir-akhir ini banyak sekali terjadi. Karena memang ada anggota masyarakat yang membutuhkan suatu barang tetapi tidak mempunyai uang tunai, dan tidak ada penjual barang tersebut kecuali dengan cara kredit dengan adanya tambahan harga. Sebaliknya, ada orang yang membutuhkan uang tunai tetapi tidak ada yang menghutanginya dengan cara yang baik (kecuali dengan bunga pula), sehingga tidak ada yang mneguntungkan baginya kecuali membeli secara kredit dengan ada tambahan harga.
Hukum jual beli kredit dengan tambahan harga, sedikitnya ada tiga pendapat ulama:
Haram secara Mutlak.
Kelompok ulama yang mengharamkan secara mutlak jual beli kredit dengan harga tambahan, diwakili oleh mazhab Hadawiyah dari kelompok Zaidiyah serta sebagaian ulama yang lain. Mereka beralasan karena ada tambahan harga yang berarti sama dengan haramnya riba. Sebagaimana firman Allah dalam surat al-Baqarah/2: 275, yang berbunyi:
الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
“Orang-orang yang memakan (harta) riba, tiada berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang dibantingkan oleh syaithan karena gila. Demikian itu karena mereka berkata: Jual beli itu hanya seperti riba. Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”.
Wajh al-istidlal-al-istidlal-nya ayat di atas menurut mereka adalah keumuman ayat yang menunjukkan atas keharaman tiap-tiap tambahan, kecuali ada dalil lain yang mentakhshis-kannya. Riba dalam pengertian bahasa adalah tambahan, dan tambahan harga dalam jual beli kredit terhadap harga kontan merupakan tambahan tanpa ‘iwadh dalam akad, maka dia adalah riba.
Munaqasyah al-adillah terhadap ayat di atas, bahwa ayat tersebut tidaklah menghendaki haramnya tiap-tiap tambahan, ini sudah merupakan kesepakatan ulama. Dan dalam hal jual beli pun memang tidak bisa lepas dari tambahan harga itu, bukan berarti riba.
Menurut Anwar Iqbal Qurareshi bahwa fakta-fakta yang dan objektif menegaskan bahwa Islam memang melarang setiap pembungaan uang, tetapi hal ini tidak berarti bahwa Islam melarang perkreditan, sebab sistem perekonomian modern tidak akan lancar tanpa adanya kredit.
Hukum kaharamannya juga didukung oleh hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Abu Dawud:
عن أبى هريرة أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : من باع بعيتين فى بيعه فله أو كسهما أو الربا (رواه أبو داود)
“Barangsiapa melakukan dua penjualan atas satu jenis barang, maka baginya yang paling murah (pertama) di antara keduanya atau menjadi riba. (HR. Abu Dawud)
Rasulullah Saw., pernah melarang peruhal dua penjualan dalam satu akad, sebagaimana hadis dari Abu Hurairah:
نهى رسول الله صلى الله عليه وسلم عن بيعتين فى بيعه (رواه الترمذى)
“Rasulullah Saw., pernah mencegah (orang-orang) dari dua penjualan atas transaksi dalam satu produk (barang atau jasa)”. (HR. Turmudzi)
Wajh al-istidlal dari hadis di atas adalah mereka yang mengharamkan jual beli dengan sistem kredit, berdasarkan hadis di atas. Mereka berkata bahwa maksud hadis tersebut adalah penjual berkata kepada si pembeli harga secara kontan sekian dan harga secara kredit sekian (lebih tinggi), cara yang begini adalah dilarang karena si penjual mengumpulkan dua akad dalam satu transaksi, dan pihak penjual tidak menentukan dengan harga kontan atau kredit.
Munaqasyah al-adillah terhadap hadis tersebut bahwa jumhur ulama justru membolehkannya berdasarkan keumuman dalil-dalil yang membolehkannya jual beli. Sebab yang dijadikan rujukan utama oleh mereka yang mengharamkan jual beli kreditialah riwayat pertama yang dikisahkan oleh Abu Hurairah. Padahal sudah dimaklumi bahwa dalam sanad riwayat tersebut terdapat seorang perawi yang menjadi pembicaraan ulama hadis. Jadi hadis-hadis bai’atain fi bai’atin yang terkenal itu, tidak dapat dijadikan hujjah.
Andai riwayat Abu Hurairah yang dalam sanadnya terdapat seorang perawi yang infirad dapat dijadikan hujjah, tentu maksud dan pengertiannya tentu tidak menjadi ajang perselisihan ulama sebagaimana yang telah ditegaskan oleh Ibnu Ruslan yang nengecam orang yang beralasan dengan dengan hadis tersebut. Sebab inti hadis di atas melarang dua penjualan atas satu produk, yaitu yang berkata bahwa, kalau kontan dengan harga sekian dan kalau kredit dengan harga sekian. Kecuali, apabila pihak penjual sejak awal sudah mengatakan “dijual secara kredit saja dengan harga sekian”, sekalipun dengan harga yang lebih tinggi dari pada harga kontan. Padahal orang-orang yang berpegang teguh pada riwayat Abu Hurairah ini melarang jual beli dengan kredit juga. Sementara riwayat di atas tidak bermaksud demikian. Jadi hadis ini dijadikan rujukan untuk menghukum haramnya jual beli dengan kredit, kurang tepat.
As-Syaikh Nashirudin al-Albani, menjelaskan maksud larangan dalam hadis tersebut adalah larangan adanya dua harga dalam satu transaksi jual beli, seperti perkataan seorang penjual kepada pembeli: jika kamu membeli dengan kontan, maka harganya sekian dan apabila kredit maka harganya sekian (yakni lebih tinggi). Atas dasar inilah jual beli dengan sistem kredit (yakni ada perbedaan harga kontan dengan harga cicilan) dilarang, dikarenakan jenis ini adalah jenis jual beli dengan riba.
Dalam perkara jual beli kredit ini, Syaikh al-Albani memberikan nasehat:
“Ketahuilah wahai saudaraku, bahwa jual beli yang seperti ini yang telah banyak tersebar dikalangan pedagang di masa kita ini, yaitu jual beli at-taqsith, dengan mengambil tambahan harga dibandingkan dengan tambahan harga kontan, adalah jual beli yang tidak disyariatkan. Di samping mengandung unsur riba, cara seperti ini juga bertentangan dengan ruh Islam, dimana Islam didirikan atas pemberian kemudahan atas umat manusia dan kasih sayang serta meringankan beban mereka”.
Munaqasyah al-adillah terhadap hadis di atas bahwa sangat dimungkinkan dalil tersebut bukan merupakan rush terhadap pembahasan ini. Para ulama berbeda pendapat dalam menafsirkan hadis di atas, yang antara lain:
Imam Turmudzi berkata setelah meriwayatkan hadis Abu Hurairah seperti yang telah dikemukakan, “Hadis ini diamalkan oleh ahli ilmu. Sebagian ahli ilmu telah menjelaskan tentang dua penjualan dalam satu penjualan, yaitu ketika mereka berkata: Yang dimaksud dua penjualan di atas satu produk ialah seorang penjual mengatakan “saya menjual baju ini kepadamu dengan harga sepuluh ribu secara kontan dan dua puluh ribu secara kredit”.
Pihak penjual tidak menentukan dengan harga kontan atau kredit. Akan tetapi bila ditentukan, maka tidak mengapa.
Imam Syafi’i mengatakan, “Yang dimaksud dengan larangan Nabi saw., mengenai dua penjualan atas satu produk ialah seseorang mengatakan, “saya menjual rumahku kepadamu dengan harga sekian dengan syarat kamu harus menjual anakmu dijual kepada saya, maka pasti rumahku dijual kepadamu”. Penjualan semacam ini berbeda jauh dengan jual beli yang tidak ditentukan harganya sehingga dari masing-masing dari pihak penjual dan pembeli tidak tahu pasti akad jual beli mana yang dipilih”.
Ada juga yang menafsirkan bahwa maksud dari hadis tersebut bukanlah mengumpulkan dua akad dalam satu transaksi, seperti yang dipahami oleh orang yang mengharamkannya, melainkan mengenai jual beli ‘inah, yang maksudnya adalah larangan mengumpulkan dua akad dengan maksud lepas dari riba. Seperti seseorang menjual barang dagangannya kepada orang lain dengan harga yang sudah diketahui, diangsur sampai batas waktu tertentu. Kemudian ia membelinya kembali dari pihak pembeli dengan harga yang lebih murah.
Pendapat ulama yang membolehkan.
Pendapat yang mengatakan boleh dikemukakan oleh jumhur ulama. Karena merupakan konsekuensi dari nilai harga yang dihutang, dan akadnya mirip dengan akad memakai salam, yaitu pemesanan barang dengan sistem pembayaran terhutang. Seandainya pembelian tunai tentu uangnya dapat diputar kembali dan dapat keuntungan lagi, karena pembelian kredit otomatis uangnya macet di tangan pengkredit.
Oleh karena itu, secara akal tidak ada larangan untuk memungut nilai tambah dari harga benda dengan syarat nilai tambahan tersebut tidak memberatkan dan bernilai ekonomis bagi si pemberi dan si penerima kredit. Jika nilai tambahan tersebut dilarang, maka dikuatkan praktek riba (al-fakhisy sangat memberatkan karena bunganya akan terus berbunga) akan semakin marak.
Para ulama membolehkan jual beli tersebut, mengemukakan banyak dalil yang diambil dari ayat-ayat al-Qur’an, Sunnah dan Qiyas. Semua ayat al-Qur’an yang menghalalkan bai’ dijadikan sebagai dalil sah dan bolehnya akad jual beli kredit, misalnya firman Allah :
الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
“Orang-orang yang memakan (harta) riba, tiada berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang dibantingkan oleh syaithan karena gila. Demikian itu karena mereka berkata: Jual beli itu hanya seperti riba. Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba…”.
Wajh al-istidlal-nya dari ayat di atas, bahwasanya jual beli barang secara kredit dengan tambahan harga merupakan satu bagian dari jual beli pada umumnya, dan ini bisa dipahami dari keumuman ayat di atas. Hukum syar’i juga membolehkan semua muamalah kecuali memang ada dalil yang melarangnya secara khusus.
Munaqasyah al-adillah dari ayat di atas adalah keumuman ayat di atas yang membolehkan jual beli secara umum sangat mungkin sekali untuk ditakhshiskan. Bisa saja jual beli yang pada dasarnya halal berubah menjadi haram.
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ ...
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan hendaklah kamu menuliskannya….”.
Hal ini dimaksudkan agar pelaksanaan isi perjanjian dagang itu sesuai dengan isi perjanjian yang telah disepakati, baik mengenai jumlahnya, waktu pembayaran dan lain sebagainya. Dalam hal ini kedua belah pihak diberi kebebasan untuk memilih penulis yang mereka sukai, sehingga si penulis tidak akan mengurangi atau menambah jumlah utang-piutang tersebut. Adanya penulisan utang-piutang tadi mendatangkan manfaat kepada penjual dan pembeli.
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan (jual beli) yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu…”.
Sunnah Nabi saw., Adapun hadis-hadis dan atsar yang membolehkan jual beli dengan kredit dengan tambahan harga pada selain sil’un ribawiyah sangat banyak, diantaranya:
فبما ثبت أنه عليه الصلاة والسلام : اشترى من يهودى طعاما الى أجل ورهنه درعا من الحديد
Hadis shahih yang diriwayatkan dari Nabi Saw., bahwa Nabi pernah membeli makanan (secara berhutang) kepada seorang Yahudi dan jaminannya baju perang dari besi.
Wajh al-istidlal hadis di atas menunjukkan bahwa Nabi sendiri pernah melakukan jual beli kredit dengan orang yahudi dengan berhutang dan pembayarannya dilakukan kemudian.
Munaqasyah al-adillah, bahwa memang hadis tersebut menunjukkan bolehnya jual beli dengan harga yang ditangguhkan namun tidak ada tanda-tanda kebolehan tambahan harga. Apa yang pernah dilakukan Nabi itu bukanlah dalam konteks jual beli utang dengan penambahan harga. Antara harga kontan dengan utang tidak ada perbedaannya, hanya saja Nabi melakukan jaminan dengan cara menggadaikan baju besinya untuk sementara waktu.
فبما روى أنه عليه الصلاة والسلام : أمر عبد الله بن عمرو بن العاص أن يجهز فكان يشبرى البعير بالبعير الى أجل
Hadis shaheh yang diriwayatkan dari Nabi, bahwasanya Nabi pernah memerintahkan Abdullah bin Amar bin Ash r.a. supaya membekali pasukan perangnya dengan onta yang kuat, dengan cara membeli satu ekor onta secara kredit dibayar dengan dua dua onta.
Wajh al-istidlal-nya adalah bahwa Abdullah bin Amar bin ‘Ash pernah membeli seekor onta secara kredit, kemudian dia membayarnya dengan dua ekor onta, ini merupakan perbuatan sahabat Nabi, dan Nabi sendiri tidak mengingkarinya.
Munaqasyah al-adillah terhadap dalil tersebut bahwa sanad hadis ini yaitu Muhammad bin Ishaq adalah orang yang dipertentangkan tentang keadilannya. Kemudian hadis tersebut juga sangat bertentangan dengan hadis yang diriwayatkan oleh Hasan bin Samirah, bahwasanya Nabi Saw., melarang jual beli hewan dengan hewan dengan ditangguhkan.
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a katanya, bahwa tatkala Nabi Saw., memerintahkan agar bani Nadhir diusir dari Madinah, datanglah kepada Nabi Saw., beberapa orang di antara mereka, lalu berkata: Sesungguhnya kami mempunyai banyak tanggungan hutang yang belum dilunasi. Maka, jawab Nabi Saw.,
ضعوا وتعاجلوا (رواه الدراقطنى)
Tinggalkanlah (harta bendamu) dan segeralah berangkat”.
Begitu juga jika ditilik dari sudut qiyas, ia termasuk jual beli yang disyariatkan Allah, misalnya: sama dengan jual beli salaf.
Hukumnya Tafshil (antara Haram dan Halal)
Bagi kelompok ini, hukumnya halal jika memenuhi syarat-syarat tertentu, yaitu apa yang telah dijelaskan di atas oleh pendapat kedua, adalah tidak memberatkan dan saling menguntungkan. Hukumnya haram, jika memenuhi unsur riba, yaitu tambahan yang sangat memberatkan sehingga tidak ada unsur saling tolong menolong. Dalil-dali yang mereka gunakan dalam memutuskan  halal/haramnya jual beli kredit dengan tambahan harga menggunakan dasar pendapat pertama dan kedua di atas.
Syaikhul Islam Muftil Anam Ahmad bin Abdul Halim yang dukenal dengan sebutan Ibnu Taimiyah, berkata: “Saya pernah ditanya perihal seseorang yang perlu kepada pedagang kain. Ia berkata kepada pedagang kain tersebut, “juallah kepada saya sepotong kain ini!” Jawab si pedagang, saya membeli kain ini tiga puluh real dan tidak akan saya jual, melainkan dengan harga lima puluh real secara kredit”. Apakah jual beli yang demikian itu boleh atau tidak?”
Saya jawab, bahwa pembeli terbagi menjadi tiga bagian. Pertama, pembeli membeli barang dengan tujuan untuk dimanfaatkan sendiri, misalnya untuk dimakan, diminum, dikenakan dan sebagainya. Kedua, dengan tujuan untuk diperdagangkan. Bagian pertama dan kedua di sini sama-sama boleh berdasarkan ayat al-Qur’an, Sunah shahih dan ijma’ ulama, sebagaimana tertera dalam firman Allah yang artinya :
“…Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba….” (al-Baqarah/2: 275)
“…Kecuali dengan jalan perniagaan yang berlangsung suka sama suka di antara kamu…”. (al-Nisa/4: 29)
Bentuk perdagangan di atas harus memperhatikan dan memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan syara’. Oleh karena itu, apabila si pembeli merasa terpaksa, maka tidak boleh menjual kepadanya, kecuali dengan harga yang biasa berlaku. Contoh orang yang terpaksa harus membeli makanan, ternyata ia tidak mendapati makanan yang dimaksud, kecuali pada toko si Fulan. Maka si fulan tersebut harus menjual kepadanya dengan harga yang biasa berlaku. Apabila ternyata pihak penjual menjualnya dengan harga yang lebih tinggi, maka berarti pihak pembeli akan menerima barang tersebut dengan terpaksa. Ketiga, pembeli hendak bermaksud untuk memiliki uang, misalnya untuk membayar hutang kepada orang lain. Dia telah membeli sesuatu  kepada seorang pedagang dengan syarat pihak penjual harus meminjamkan uang kepada pemberi sebesar 120 dinar untuk membayar hutang. Maka jual beli ini terlarang. Jika keduanya sepakat agar pihak pemberi mengembalikan barang yang dibeli si penjual, maka inilah yang disebut dengan bai’atain fi bai’atin yang dilarang Nabi saw.
***
Kepustaakaan:
Ibnu Manzhur, Lisan al-Arab, Beirut: Dar al-Fikr, t.th. Sayyid Sabiq, Fikih al-Sunah, Beirut: Dar al-Kutub al-Arabi, 1971. Hendi Suhendi, Fikih Muamalah, Jakarta: Rajawali Press, 2002. Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, Beirut: Dar al-Ihya al-Kutub al-‘Arabiah, t.th.  Al-Amien Ahmad al-Hajj Muhammad, Hukmu Baiy’ bit-Taqsith, Makkah: Dar as-Salafiyah li an-Nasyr wa at-Tawzi’, 1414 H. Alih Bahasa Ma’ruf Abdul Jalil, Jual Beli Kredit Bagaimana Hukumnya, Jakarta: Gema Insani Press, 1998. Muhammad Aqlah Ibrahim, Majalah asy-Syariah wa al-Dirasah al-Islamiyah, Kuwait: Fakultas Syariah, 1407. Anwar Iqbal Qureshi, Islam dan Teori Pembungaan Uang, Jakarta: Tintamas, 1985. Imam al-Hafizh Abu Dawud Sulaiman bin Asy’ats, Sunan Abi Dawud, kitabul buyu’, no. 3461, jilid 3, di Tahqiq oleh Muhammad Muhyiddin Abdul Hamid, Mekkah: Dar al-Baz, t.th. Muhammad bin Ali bin Muhammad Asy-Syaukani, Nail al-Authar, Riyadh: al-Risalah al-Ammah li al-Darat al-Buhuts al-Ilmiyah wa al-Ifta’, t.th. As-Syaikh Nashirudin al-Albani, As-Shahihah, Riyadh: Maktabah al-Ma’arif, t.th. Abu Isa Surah bin Isa, Sunan Turmudzi, Beirut: Dar al-Ihya’ al-Turats al-Arabi, t.th.
 ------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

1 komentar:

Mushlihin mengatakan...

Tolong dimuat link sumbernya http://referensimakalah.com migrasi dari http://surgamakalah.com


arsitekartikelblog directoryindonesian palm oilpalm oil investment

KOMENTAR MY DIARY BLOG

http://cam-chat.cbox.ws/