Source : Mushlihin al-Hafizh.
URL /Web : Jual Beli Kredit Dalam Perspektif Hukum Islam
Migrate to : http://www.referensimakalah.com
---------------------------------------------------
Istilah jual beli kredit dalam kajian disiplin ilmu fikih, agaknya tidak pernah menempati posisi pembahasan yang mandiri, komprehensif dan integral. Oleh karena itu, wajar jika dalam berbagai literatur tak satu pun yang mengungkapkan pengertian istilah tersebut secara terminologi.
URL /Web : Jual Beli Kredit Dalam Perspektif Hukum Islam
Migrate to : http://www.referensimakalah.com
---------------------------------------------------
Istilah jual beli kredit dalam kajian disiplin ilmu fikih, agaknya tidak pernah menempati posisi pembahasan yang mandiri, komprehensif dan integral. Oleh karena itu, wajar jika dalam berbagai literatur tak satu pun yang mengungkapkan pengertian istilah tersebut secara terminologi.
Meski
demikian, Admin menganggap penting untuk mengemukakan pengertian
istilah ini, baik dari satu sisi literal maupun dalam konteks
peristilahan fikih, tentu saja sebatas kemampuan penulis. Hal ini
diharapkan menjadi wacana awal dalam memahami persoalan yang tengah kita
bahas.
Jual beli kredit dengan tambahan harga yang dalam istilah fikih dikenal dengan nama البيع لأجل مع زيادة الثمن او البيع بالتقسيط
Kata al-bai’ adalah
masdar dari kata kerja باع، يبيع، بيعا، ومبيعا yang berarti lawan dari
membeli atau menyerahkan barang dan menerima harganya. Secara etimologi al-bai’ berarti menjual dan membeli.
Defenisi al-bai’ secara terminologi sebagaimana dikemukakan oleh Sayyid Sabiq adalah :
يراد البع شرعا مبادلة مال بمال على سبيل الترضى او نقل ملك بعوض على الوجه الماذون فيه
“Yang
dimaksud dengan jual beli menurut syara’ adalah saling menukar harta
dengan harta secara suka sama suka, atau pemindahan hak milik dengan
adanya penggantian menurut cara yang dibolehkan”.
Selanjutnya,
Wahbah al-Zuhaili memberikan pengertian bahwa yang dimaksud dengan jual
beli disini adalah suatu akad (transaksi) yang terdiri dari ijab
qabul”.
Dari defenisi di atas, dapat dikemukakan beberapa hal tentang jual beli:
- Jual beli adalah satu bagian muamalah berbentuk transaksi.
- Jual beli tersebut diwujudkan dengan ijab qabul.
- Jual beli yang dilaksanakan tersebut bertujuan atau dengan motif mencari keuntungan.
Sedangkan
pengertian kredit adalah sesuatu yang dibayar secara berangsur-angsur,
baik itu jual beli maupun dalam pinjam meminjam.
Adapun yang dimaksud dengan baiy’ al-ajal
adalah jual beli dengan pembayaran tidak tunai. Pembayarannya mungkin
diangsur, mungkin sekaligus setelah tenggang waktu habis, atau mungkin
pula ada uang muka. Jadi dapat dipahami bahwa jual beli al-ajal
merupakan transaksi yang berlangsung dimana tidak serentaknya akad
dengan pemberian harga atau penyerahan barang, dan tentunya atas
kesepakatan bersama.
Adapun pengertian Taqsith secara bahasa adalah membagi-bagi sesuatu dan memisah-misahkannya menjadi beberapa bagian yang terpisah.
Sedangkan menurut istilah (terminologi) Bai’ bi-Taqsith telah
menjual sesuatu dengan pembayaran yang diangsur dengan cicilan
tertentu, pada waktu tertentu dan lebih mahal daripada pembayaran
kontan.
Muhammad Aqlah Ibrahim berpendapat bahwa, ada beberapa pedoman yang dapat dijadikan pegangan dalam memahami maksud bai’ bit taqsith secara syar’i. Pertama, seorang pedagang menjual barang dagangannya secara muajjalah-kredit-dengan ketentua harga lebih tinggi daripada secara tunai. Kedua, taqsith ialah membayar hutang dengan berangsur-angsur pada waktu yang telah ditentukan. Ketiga,
pembayaran yang diangsur ialah sesuatu yang pembayarannya
dipersyaratkan diangsur dengan cicilan tertentu pada waktu tertentu
pula.
Pendapat Ulama tentang Jual Beli Kredit dengan Tambahan Harga
Jual
beli secara kredit dengan tambahan harga belum menyebar dan belum
begitu dikenal oleh masyarakat zaman dulu, tetapi menyebar dan mendunia
hingga menjadi semacam wabah penyakit yang menimpa penduduk dunia pada
kurun waktu berikutnya. Oleh karena itu, cukup masuk akal jika kita
tidak mendapatkan pembahasannya dalam kitab-kitab fikih dan tidak pula
dalam kitab-kitab hadis yang disusun berdasarkan pembahasan dalam fikih.
Dalam
masyarakat modern sekarang ini, pembelian barang secara kredit
akhir-akhir ini banyak sekali terjadi. Karena memang ada anggota
masyarakat yang membutuhkan suatu barang tetapi tidak mempunyai uang
tunai, dan tidak ada penjual barang tersebut kecuali dengan cara kredit
dengan adanya tambahan harga. Sebaliknya, ada orang yang membutuhkan
uang tunai tetapi tidak ada yang menghutanginya dengan cara yang baik
(kecuali dengan bunga pula), sehingga tidak ada yang mneguntungkan
baginya kecuali membeli secara kredit dengan ada tambahan harga.
Hukum jual beli kredit dengan tambahan harga, sedikitnya ada tiga pendapat ulama:
Haram secara Mutlak.
Kelompok
ulama yang mengharamkan secara mutlak jual beli kredit dengan harga
tambahan, diwakili oleh mazhab Hadawiyah dari kelompok Zaidiyah serta
sebagaian ulama yang lain. Mereka beralasan karena ada tambahan harga
yang berarti sama dengan haramnya riba. Sebagaimana firman Allah dalam
surat al-Baqarah/2: 275, yang berbunyi:
الَّذِينَ
يَأْكُلُونَ الرِّبَا لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ الَّذِي
يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا
إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ
الرِّبَا
“Orang-orang
yang memakan (harta) riba, tiada berdiri melainkan seperti berdirinya
orang yang dibantingkan oleh syaithan karena gila. Demikian itu karena
mereka berkata: Jual beli itu hanya seperti riba. Padahal Allah telah
menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”.
Wajh
al-istidlal-al-istidlal-nya ayat di atas menurut mereka adalah keumuman
ayat yang menunjukkan atas keharaman tiap-tiap tambahan, kecuali ada
dalil lain yang mentakhshis-kannya. Riba dalam pengertian bahasa
adalah tambahan, dan tambahan harga dalam jual beli kredit terhadap
harga kontan merupakan tambahan tanpa ‘iwadh dalam akad, maka dia adalah riba.
Munaqasyah al-adillah
terhadap ayat di atas, bahwa ayat tersebut tidaklah menghendaki
haramnya tiap-tiap tambahan, ini sudah merupakan kesepakatan ulama. Dan
dalam hal jual beli pun memang tidak bisa lepas dari tambahan harga itu,
bukan berarti riba.
Menurut
Anwar Iqbal Qurareshi bahwa fakta-fakta yang dan objektif menegaskan
bahwa Islam memang melarang setiap pembungaan uang, tetapi hal ini tidak
berarti bahwa Islam melarang perkreditan, sebab sistem perekonomian
modern tidak akan lancar tanpa adanya kredit.
Hukum kaharamannya juga didukung oleh hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Abu Dawud:
عن أبى هريرة أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : من باع بعيتين فى بيعه فله أو كسهما أو الربا (رواه أبو داود)
“Barangsiapa
melakukan dua penjualan atas satu jenis barang, maka baginya yang
paling murah (pertama) di antara keduanya atau menjadi riba. (HR. Abu
Dawud)
Rasulullah Saw., pernah melarang peruhal dua penjualan dalam satu akad, sebagaimana hadis dari Abu Hurairah:
نهى رسول الله صلى الله عليه وسلم عن بيعتين فى بيعه (رواه الترمذى)
“Rasulullah Saw., pernah mencegah (orang-orang) dari dua penjualan atas transaksi dalam satu produk (barang atau jasa)”. (HR. Turmudzi)
Wajh al-istidlal
dari hadis di atas adalah mereka yang mengharamkan jual beli dengan
sistem kredit, berdasarkan hadis di atas. Mereka berkata bahwa maksud
hadis tersebut adalah penjual berkata kepada si pembeli harga secara
kontan sekian dan harga secara kredit sekian (lebih tinggi), cara yang
begini adalah dilarang karena si penjual mengumpulkan dua akad dalam
satu transaksi, dan pihak penjual tidak menentukan dengan harga kontan
atau kredit.
Munaqasyah al-adillah terhadap
hadis tersebut bahwa jumhur ulama justru membolehkannya berdasarkan
keumuman dalil-dalil yang membolehkannya jual beli. Sebab yang dijadikan
rujukan utama oleh mereka yang mengharamkan jual beli kreditialah
riwayat pertama yang dikisahkan oleh Abu Hurairah. Padahal sudah
dimaklumi bahwa dalam sanad riwayat tersebut terdapat seorang perawi
yang menjadi pembicaraan ulama hadis. Jadi hadis-hadis bai’atain fi bai’atin yang terkenal itu, tidak dapat dijadikan hujjah.
Andai riwayat Abu Hurairah yang dalam sanadnya terdapat seorang perawi yang infirad
dapat dijadikan hujjah, tentu maksud dan pengertiannya tentu tidak
menjadi ajang perselisihan ulama sebagaimana yang telah ditegaskan oleh
Ibnu Ruslan yang nengecam orang yang beralasan dengan dengan hadis
tersebut. Sebab inti hadis di atas melarang dua penjualan atas satu
produk, yaitu yang berkata bahwa, kalau kontan dengan harga sekian dan
kalau kredit dengan harga sekian. Kecuali, apabila pihak penjual sejak
awal sudah mengatakan “dijual secara kredit saja dengan harga sekian”,
sekalipun dengan harga yang lebih tinggi dari pada harga kontan. Padahal
orang-orang yang berpegang teguh pada riwayat Abu Hurairah ini melarang
jual beli dengan kredit juga. Sementara riwayat di atas tidak bermaksud
demikian. Jadi hadis ini dijadikan rujukan untuk menghukum haramnya
jual beli dengan kredit, kurang tepat.
As-Syaikh
Nashirudin al-Albani, menjelaskan maksud larangan dalam hadis tersebut
adalah larangan adanya dua harga dalam satu transaksi jual beli, seperti
perkataan seorang penjual kepada pembeli: jika kamu membeli dengan
kontan, maka harganya sekian dan apabila kredit maka harganya sekian
(yakni lebih tinggi). Atas dasar inilah jual beli dengan sistem kredit
(yakni ada perbedaan harga kontan dengan harga cicilan) dilarang,
dikarenakan jenis ini adalah jenis jual beli dengan riba.
Dalam perkara jual beli kredit ini, Syaikh al-Albani memberikan nasehat:
“Ketahuilah wahai saudaraku, bahwa jual beli yang seperti ini yang telah banyak tersebar dikalangan pedagang di masa kita ini, yaitu jual beli at-taqsith, dengan mengambil tambahan harga dibandingkan dengan tambahan harga kontan, adalah jual beli yang tidak disyariatkan. Di samping mengandung unsur riba, cara seperti ini juga bertentangan dengan ruh Islam, dimana Islam didirikan atas pemberian kemudahan atas umat manusia dan kasih sayang serta meringankan beban mereka”.
Munaqasyah al-adillah
terhadap hadis di atas bahwa sangat dimungkinkan dalil tersebut bukan
merupakan rush terhadap pembahasan ini. Para ulama berbeda pendapat
dalam menafsirkan hadis di atas, yang antara lain:
Imam
Turmudzi berkata setelah meriwayatkan hadis Abu Hurairah seperti yang
telah dikemukakan, “Hadis ini diamalkan oleh ahli ilmu. Sebagian ahli
ilmu telah menjelaskan tentang dua penjualan dalam satu penjualan, yaitu
ketika mereka berkata: Yang dimaksud dua penjualan di atas satu produk
ialah seorang penjual mengatakan “saya menjual baju ini kepadamu dengan
harga sepuluh ribu secara kontan dan dua puluh ribu secara kredit”.
Pihak penjual tidak menentukan dengan harga kontan atau kredit. Akan tetapi bila ditentukan, maka tidak mengapa.
Imam
Syafi’i mengatakan, “Yang dimaksud dengan larangan Nabi saw., mengenai
dua penjualan atas satu produk ialah seseorang mengatakan, “saya menjual
rumahku kepadamu dengan harga sekian dengan syarat kamu harus menjual
anakmu dijual kepada saya, maka pasti rumahku dijual kepadamu”.
Penjualan semacam ini berbeda jauh dengan jual beli yang tidak
ditentukan harganya sehingga dari masing-masing dari pihak penjual dan
pembeli tidak tahu pasti akad jual beli mana yang dipilih”.
Ada
juga yang menafsirkan bahwa maksud dari hadis tersebut bukanlah
mengumpulkan dua akad dalam satu transaksi, seperti yang dipahami oleh
orang yang mengharamkannya, melainkan mengenai jual beli ‘inah,
yang maksudnya adalah larangan mengumpulkan dua akad dengan maksud lepas
dari riba. Seperti seseorang menjual barang dagangannya kepada orang
lain dengan harga yang sudah diketahui, diangsur sampai batas waktu
tertentu. Kemudian ia membelinya kembali dari pihak pembeli dengan harga
yang lebih murah.
Pendapat ulama yang membolehkan.
Pendapat
yang mengatakan boleh dikemukakan oleh jumhur ulama. Karena merupakan
konsekuensi dari nilai harga yang dihutang, dan akadnya mirip dengan
akad memakai salam, yaitu pemesanan barang dengan sistem pembayaran
terhutang. Seandainya pembelian tunai tentu uangnya dapat diputar
kembali dan dapat keuntungan lagi, karena pembelian kredit otomatis
uangnya macet di tangan pengkredit.
Oleh
karena itu, secara akal tidak ada larangan untuk memungut nilai tambah
dari harga benda dengan syarat nilai tambahan tersebut tidak memberatkan
dan bernilai ekonomis bagi si pemberi dan si penerima kredit. Jika
nilai tambahan tersebut dilarang, maka dikuatkan praktek riba (al-fakhisy sangat memberatkan karena bunganya akan terus berbunga) akan semakin marak.
Para
ulama membolehkan jual beli tersebut, mengemukakan banyak dalil yang
diambil dari ayat-ayat al-Qur’an, Sunnah dan Qiyas. Semua ayat al-Qur’an
yang menghalalkan bai’ dijadikan sebagai dalil sah dan bolehnya akad jual beli kredit, misalnya firman Allah :
الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا“Orang-orang yang memakan (harta) riba, tiada berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang dibantingkan oleh syaithan karena gila. Demikian itu karena mereka berkata: Jual beli itu hanya seperti riba. Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba…”.
Wajh al-istidlal-nya
dari ayat di atas, bahwasanya jual beli barang secara kredit dengan
tambahan harga merupakan satu bagian dari jual beli pada umumnya, dan
ini bisa dipahami dari keumuman ayat di atas. Hukum syar’i juga
membolehkan semua muamalah kecuali memang ada dalil yang melarangnya
secara khusus.
Munaqasyah al-adillah
dari ayat di atas adalah keumuman ayat di atas yang membolehkan jual
beli secara umum sangat mungkin sekali untuk ditakhshiskan. Bisa saja
jual beli yang pada dasarnya halal berubah menjadi haram.
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ ...“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan hendaklah kamu menuliskannya….”.
Hal
ini dimaksudkan agar pelaksanaan isi perjanjian dagang itu sesuai
dengan isi perjanjian yang telah disepakati, baik mengenai jumlahnya,
waktu pembayaran dan lain sebagainya. Dalam hal ini kedua belah pihak
diberi kebebasan untuk memilih penulis yang mereka sukai, sehingga si
penulis tidak akan mengurangi atau menambah jumlah utang-piutang
tersebut. Adanya penulisan utang-piutang tadi mendatangkan manfaat
kepada penjual dan pembeli.
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan (jual beli) yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu…”.
Sunnah Nabi saw., Adapun hadis-hadis dan atsar yang membolehkan jual beli dengan kredit dengan tambahan harga pada selain sil’un ribawiyah sangat banyak, diantaranya:
فبما ثبت أنه عليه الصلاة والسلام : اشترى من يهودى طعاما الى أجل ورهنه درعا من الحديد
Hadis
shahih yang diriwayatkan dari Nabi Saw., bahwa Nabi pernah membeli
makanan (secara berhutang) kepada seorang Yahudi dan jaminannya baju
perang dari besi.
Wajh al-istidlal hadis
di atas menunjukkan bahwa Nabi sendiri pernah melakukan jual beli
kredit dengan orang yahudi dengan berhutang dan pembayarannya dilakukan
kemudian.
Munaqasyah al-adillah, bahwa
memang hadis tersebut menunjukkan bolehnya jual beli dengan harga yang
ditangguhkan namun tidak ada tanda-tanda kebolehan tambahan harga. Apa
yang pernah dilakukan Nabi itu bukanlah dalam konteks jual beli utang
dengan penambahan harga. Antara harga kontan dengan utang tidak ada
perbedaannya, hanya saja Nabi melakukan jaminan dengan cara menggadaikan
baju besinya untuk sementara waktu.
فبما روى أنه عليه الصلاة والسلام : أمر عبد الله بن عمرو بن العاص أن يجهز فكان يشبرى البعير بالبعير الى أجل
Hadis
shaheh yang diriwayatkan dari Nabi, bahwasanya Nabi pernah
memerintahkan Abdullah bin Amar bin Ash r.a. supaya membekali pasukan
perangnya dengan onta yang kuat, dengan cara membeli satu ekor onta
secara kredit dibayar dengan dua dua onta.
Wajh al-istidlal-nya
adalah bahwa Abdullah bin Amar bin ‘Ash pernah membeli seekor onta
secara kredit, kemudian dia membayarnya dengan dua ekor onta, ini
merupakan perbuatan sahabat Nabi, dan Nabi sendiri tidak mengingkarinya.
Munaqasyah al-adillah terhadap
dalil tersebut bahwa sanad hadis ini yaitu Muhammad bin Ishaq adalah
orang yang dipertentangkan tentang keadilannya. Kemudian hadis tersebut
juga sangat bertentangan dengan hadis yang diriwayatkan oleh Hasan bin
Samirah, bahwasanya Nabi Saw., melarang jual beli hewan dengan hewan
dengan ditangguhkan.
Diriwayatkan
dari Ibnu Abbas r.a katanya, bahwa tatkala Nabi Saw., memerintahkan
agar bani Nadhir diusir dari Madinah, datanglah kepada Nabi Saw.,
beberapa orang di antara mereka, lalu berkata: Sesungguhnya kami
mempunyai banyak tanggungan hutang yang belum dilunasi. Maka, jawab Nabi
Saw.,
ضعوا وتعاجلوا (رواه الدراقطنى)“Tinggalkanlah (harta bendamu) dan segeralah berangkat”.
Begitu juga jika ditilik dari sudut qiyas, ia termasuk jual beli yang disyariatkan Allah, misalnya: sama dengan jual beli salaf.
Hukumnya Tafshil (antara Haram dan Halal)
Bagi
kelompok ini, hukumnya halal jika memenuhi syarat-syarat tertentu,
yaitu apa yang telah dijelaskan di atas oleh pendapat kedua, adalah
tidak memberatkan dan saling menguntungkan. Hukumnya haram, jika
memenuhi unsur riba, yaitu tambahan yang sangat memberatkan sehingga
tidak ada unsur saling tolong menolong. Dalil-dali yang mereka gunakan
dalam memutuskan halal/haramnya jual beli kredit dengan tambahan harga
menggunakan dasar pendapat pertama dan kedua di atas.
Syaikhul
Islam Muftil Anam Ahmad bin Abdul Halim yang dukenal dengan sebutan
Ibnu Taimiyah, berkata: “Saya pernah ditanya perihal seseorang yang
perlu kepada pedagang kain. Ia berkata kepada pedagang kain tersebut,
“juallah kepada saya sepotong kain ini!” Jawab si pedagang, saya membeli
kain ini tiga puluh real dan tidak akan saya jual, melainkan dengan
harga lima puluh real secara kredit”. Apakah jual beli yang demikian itu
boleh atau tidak?”
Saya jawab, bahwa pembeli terbagi menjadi tiga bagian. Pertama, pembeli membeli barang dengan tujuan untuk dimanfaatkan sendiri, misalnya untuk dimakan, diminum, dikenakan dan sebagainya. Kedua,
dengan tujuan untuk diperdagangkan. Bagian pertama dan kedua di sini
sama-sama boleh berdasarkan ayat al-Qur’an, Sunah shahih dan ijma’
ulama, sebagaimana tertera dalam firman Allah yang artinya :
“…Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba….” (al-Baqarah/2: 275)
“…Kecuali dengan jalan perniagaan yang berlangsung suka sama suka di antara kamu…”. (al-Nisa/4: 29)
Bentuk
perdagangan di atas harus memperhatikan dan memenuhi syarat-syarat yang
ditetapkan syara’. Oleh karena itu, apabila si pembeli merasa terpaksa,
maka tidak boleh menjual kepadanya, kecuali dengan harga yang biasa
berlaku. Contoh orang yang terpaksa harus membeli makanan, ternyata ia
tidak mendapati makanan yang dimaksud, kecuali pada toko si Fulan. Maka
si fulan tersebut harus menjual kepadanya dengan harga yang biasa
berlaku. Apabila ternyata pihak penjual menjualnya dengan harga yang
lebih tinggi, maka berarti pihak pembeli akan menerima barang tersebut
dengan terpaksa. Ketiga, pembeli hendak bermaksud untuk memiliki
uang, misalnya untuk membayar hutang kepada orang lain. Dia telah
membeli sesuatu kepada seorang pedagang dengan syarat pihak penjual
harus meminjamkan uang kepada pemberi sebesar 120 dinar untuk membayar
hutang. Maka jual beli ini terlarang. Jika keduanya sepakat agar pihak
pemberi mengembalikan barang yang dibeli si penjual, maka inilah yang
disebut dengan bai’atain fi bai’atin yang dilarang Nabi saw.
***
Kepustaakaan:
Ibnu Manzhur, Lisan al-Arab, Beirut: Dar al-Fikr, t.th. Sayyid Sabiq, Fikih al-Sunah, Beirut: Dar al-Kutub al-Arabi, 1971. Hendi Suhendi, Fikih Muamalah, Jakarta: Rajawali Press, 2002. Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, Beirut: Dar al-Ihya al-Kutub al-‘Arabiah, t.th. Al-Amien Ahmad al-Hajj Muhammad, Hukmu Baiy’ bit-Taqsith, Makkah: Dar as-Salafiyah li an-Nasyr wa at-Tawzi’, 1414 H. Alih Bahasa Ma’ruf Abdul Jalil, Jual Beli Kredit Bagaimana Hukumnya, Jakarta: Gema Insani Press, 1998. Muhammad Aqlah Ibrahim, Majalah asy-Syariah wa al-Dirasah al-Islamiyah, Kuwait: Fakultas Syariah, 1407. Anwar Iqbal Qureshi, Islam dan Teori Pembungaan Uang, Jakarta: Tintamas, 1985. Imam al-Hafizh Abu Dawud Sulaiman bin Asy’ats, Sunan Abi Dawud, kitabul
buyu’, no. 3461, jilid 3, di Tahqiq oleh Muhammad Muhyiddin Abdul
Hamid, Mekkah: Dar al-Baz, t.th. Muhammad bin Ali bin Muhammad
Asy-Syaukani, Nail al-Authar, Riyadh: al-Risalah al-Ammah li al-Darat al-Buhuts al-Ilmiyah wa al-Ifta’, t.th. As-Syaikh Nashirudin al-Albani, As-Shahihah, Riyadh: Maktabah al-Ma’arif, t.th. Abu Isa Surah bin Isa, Sunan Turmudzi, Beirut: Dar al-Ihya’ al-Turats al-Arabi, t.th.
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
1 komentar:
Tolong dimuat link sumbernya http://referensimakalah.com migrasi dari http://surgamakalah.com
Posting Komentar